Anomali Politik
Sebagai contoh pada Pemilu Gubernur Jawa Timur tahun 2018 lalu. Khofifah yang tidak diunggulkan saat itu, bisa memenangkan kontestasi pilgub tersebut. Jawa Timur yang identik dengan nilai-nilai tradisionalnya, seperti patron pada tokoh-tokoh agama maupun masyarakat, membuat khalayak mengunggulkan Gus Ipul karena yang notabene lebih dekat dengan Kyai dan Pesantren sebagai lumbung suara potensial di Jawa Timur
Ada satu hal menarik yang dilakukan oleh Khofifah, yaitu memilih Wakil dari kalangan muda yaitu Emil Dardak dengan target ceruk pasar milenial di Jawa Timur.
Jumlah DPT di Provinsi Jawa Timur sekitar 30 juta pemilih, dengan pemilih milenial mencapai 30% atau sekitar 10 juta pemilih. Emil Dardak saat itu dianggap sebagai simbol muda dan pembaharu bagi kelompok-kelompok milenial di Jawa Timur. Dengan berbagai bentuk kampanye gagasan inovatif dan kreatif dari pasangan Khofifah dan Emil Dardak, berhasil mematahkan prediksi banyak pihak. Hasil pilgub di Jawa Timur menyisakan dua pertanyaan besar : Apakah karakter pemilih di Jawa Timur sudah bergerak kearah yang lebih modern? dan juga Apakah segmen milenial telah mampu menjadi motor perubahan bagi kalangan non milenial di Jawa Timur ?
Kabupaten Sidoarjo adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang memiliki fenomena serupa. Penelitian Indekstat tahun 2019 menunjukkan bahwa corak masyarakat yang kental dengan nilai-nilai tradisionalnya, kini sudah mulai bergeser menjadi lebih modern, dimana mereka tidak lagi hanya memandang faktor- faktor sosiologis seperti agama dan keturunan dalam menetukan pilihan politik. Masyarakat di Sidoarjo sudah mulai melihat beberapa faktor lain seperti kompetensi tokoh hingga paras kandidat yang bertarung. Pergeseran karakter pemilih banyak sedikitnya mulai dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti arus urbanisasi, keterbukaan informasi dan berbagai keinginan untuk mulai melakukan perubahan kepemimpinan yang lebih baik. Selain itu, tidak sedikit pula yang beranggapan bahwa pergeseran perilaku pemilih ini juga dipengaruhi oleh kaum milenial. Pada era globalisasi ini, keterbukaan informasi sudah mampu menembus batas-batas komunikasi yang selama ini tidak mampu dilakukan.
Pola perilaku (tren) generasi milenial ini cenderung mampu mempengaruhi gaya hidup generasi-generasi sebelumnya. Tentu kita sudah tidak aneh melihat orang-orang tua (generasi sebelumnya) sudah sangat sibuk berkomunikasi melalui smartphone mereka atau bahkan aktif mengkonsumsi berita secara online maupun melalui media sosial. Perubahan pola perilaku masyarakat ini yang justru pada akhirnya berdampak kepada perubahan cara komunikasi setiap stakeholder politik dalam menyampaikan gagasan-gagasan politiknya serta berbagai komunikasi atraktif dan kreatif guna menarik simpati dan kedisukaan dari masyarakat.
Sebagai salah satu wilayah dengan corak demokrasi paling baik dan kuat di Jawa Timur, dan cenderung sudah mulai berpikir rasional dalam kehidupan politik praktis, namun tidak membuat pergeseran tersebut sudah mulai merata tersebar di setiap pelosok wilayah Sidoarjo. Faktor-faktor nilai tradisional seperti patron tokoh masih sering ditemui di wilayah tertentu. Hal ini tentu tidak bisa dipungkiri bahwa di Sidoarjo, masih banyak pondok pesantren dan kyai-kyai kultural yang tersebar hingga ke kampung-kampung. Budaya politik yang dipengaruhi oleh patron ini telah mengakar dan membuat tidak semua masyarakat di wilayah Sidoarjo memiliki perilaku rasional dalam menentukan pilihan politik. Patronase tokoh masih menjadi kunci dalam mempengaruhi masyarakat, terutama di wilayah-wilayah pedesaan, dan pinggiran kota atau perbatasan.
Masih kuatnya faktor-faktor tradisional seperti penjelasan di atas menunjukan bahwa pendidikan politik belum masif. Masyarakat di wilayah pinggiran (pedesaan) cenderung masih rendah pendidikan politiknya dan mudah untuk di pengaruhi oleh patron-patron yang ada. Hal ini karena masyarakat disana tidak dapat merasakan manfaat secara langsung bila menggunakan hak pilihnya kepada salah satu partai politik. Oleh karena itu, masyarakat di wilayah pinggiran cenderung pragmatis, siapa yang mampu memberikan uang serta didukung oleh tokoh panutannya, maka dukungan politik pun akan diberikan hingga di bilik suara. Disamping itu, partai politik yang ada juga gagal dalam menawarkan gagasan inovasi sosial bagi masyarakat sekitar, guna mampu meyakinkan mereka dalam menjawab berbagai tantangan lokal hingga global saat ini.