Oleh : Firman Syah Ali*
KELAKAR, Lingkarjatim.com – Saat ini publik tanah air sedang menyaksikan akrobat para elit politik tanah air, tak terkecuali elit NU, sebab walaupun bukan partai politik, NU memiliki bobot politik yang luar biasa, bahkan bisa melebihi bobot partai politik.
Akrobat pertama, Presiden Joko Widodo yang selama 5 tahun terakhir berseberangan secara diametral dengan Prabowo Subianto tiba-tiba bersatu-padu dalam apa yang mereka sebut sebagai Kabinet Indonesia Maju. Tentu saja beberapa mantan pendukung fanatik dan buzzer kedua-belah pihak kebingungan, hilang arah dan komentar ngalor-ngidul. Namun para pendukung rasional bisa langsung menyesuaikan dengan situasi terkini.
Akrobat kedua, NU yang yang para elit strukturalnya selama ini terang-terangan berpolitik praktis mendukung Joko Widodo, tiba-tiba tidak masuk jajaran kabinet. Mahfud MD yang setahun lalu divonis “bukan NU” oleh beberapa elit struktural NU, malah diangkat jadi orang nomor 3 dalam Kabinet, yaitu Menkopolhukkam, Menko yang membawahi triumvirat. Ini tentu sangat menyebalkan, sebab walaupun jelas-jelas Mahfud MD itu NU dan keturunan NU, namun sudah terlanjur disabdo bukan NU oleh tokoh struktural pemegang kekuasaan Organisasi.
Yang lebih ekstrim, pos Jabatan Menteri Agama yang sejak jauh hari sebelumnya terang-terangan diinginkan oleh NU dan pernah disampaikan dalam Harlah Muslimat NU oleh Ketua Umum PBNU, sekarang malah diberikan kepada sosok yang dinilai bukan NU, dan setelah ditrack ternyata memang sesepuh ormas lain, yaitu Mathla’ul Anwar. Mathla’ul Anwar adalah sesama ormas Aswaja dengan NU, sesama pelaku bid’ah, namun beda genre politik. Ormas Aswaja ahli bid’ah di Indonesia memang bukan hanya NU, tapi ada Jamiat Kheir, Al-Washliyah, PERTI, Mathla’ul Anwar, Nahdlatul Wathan, Al-Khairaat dan Front Pembela Islam. Mereka Amaliyah sama dengan NU, tapi siasiyah tidak pernah seiring-sejalan.
Elit NU-pun berakrobat, Habib Rizieq Shihab yang dulu dimusuhi sekarang dipuji-puji, gagasan-gagasan Menteri Agama dalam menanggulangi radikalisme juga terus-menerus dimentahkan.
Belum lagi Partai Nasdem yang Ketua Umumnya pernah dipermalukan oleh Megawati dengan cara tidak disalami alias dikacangi, sekarang semakin mesra dengan PKS.
Yang tampak stabil hanya keluarga Gusdur, walaupun tidak masuk kabinet namun tetap menyerukan simpatisannya untuk tidak ikut-ikutan menyerang Jokowi.
Nahdlatul-Ulama adalah Ormas Islam yang bisa memainkan equalizer politik, bisa digeser ke kanan dan bisa digeser ke kiri sesuai kepentingan. Kalau tombol equalizer digeser ke kanan maka NU akan sangat dekat dengan kelompok islamis (kelompok eksoteris yang menjadikan islam sebagai baju politik), dengan alasan sama-sama Islam.
Tapi kalau suatu saat dikecewakan oleh kelompok islamis, maka equalizer digeser ke kiri, menjadi pluralis dan nasionalis dengan jargon “islam itu yang penting substansinya”, tentu saja dengan alasan demi NKRI.
Agar equalizer politik NU tidak mudah dipermainkan seenaknya sesuai dengan kekecewaan terkini, maka para masayikh NU pernah merumuskan NU kembali ke Khittah, politiknya adalah politik kebangsaan, tombol equalizer standdby di tengah, tidak ke kanan dan tidak ke kiri, disegani dan dihormati dalam kondisi dan situasi apapun.
NU itu Ormas terbesar, kurang baik kalau sampai menanggung malu politik gara-gara terjebak dalam pusaran politik lima tahunan yang bersifat teknis, operasional dan sesaat. Tapi semua sudah terlanjur terjadi, mari selamatkan marwah kita se-elegan mungkin.
* Penulis adalah warga NU, keturunan NU
Tulisan ini adalah kiriman dari pembaca, isi tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.