OPINI, Lingkarjatim.com – Dalam suatu kesempatan, saya terlibat diskusi tentang pertentangan Ahli fiqh dan kaum Sufi. Ahli fiqh menyangsikan amaliah yang dilakukan oleh kaum Sufi yang konon katanya banyak menyimpang dari ketentuan al-Qur’an dan Hadits. Dalam diskusi tersebut, ada satu teman yang rupanya menyangsikan amaliah kaum Sufi, pertanyaan mendasarnya berkaitan dengan “siapa yang seharusnya diikuti, Nabi Muhammad atau kaum Sufi?” padahal sudah jelas kaum Sufi semuanya beragama Islam dan sudah barang tentu pengikut Nabi Muhammad, sedangkan Nabi Muhammad sendiri menganjurkan bahwa al-Qur’an dan Hadits sebagai petunjuk amaliyah ta’abbudiyah.
Salah satu teman menanggapi, bahwa sebenarnya pertanyaan tersebut, telah menjadi debat panjang antara Ibnu Athaillah Assakandary dengan Ibnu Taimiyah, keduanya sama-sama kuat dalil aqli maupun naqlinya, sampai akhirnya Ibnu Taimiyah mengaku kalah ketika Ibnu Athaillah Assakandary bisa menebak apa yang akan dilakukan Ibnu Taimiyah, padahal belum dilakukan, masih hanya sebatas rencana yang tinggal dilaksanakan. Namun, bukan berarti pengakuan kalah Ibnu Taimiyah lantas otomatis argumentasinya dalam debat “salah”. Justru, mereka berdua menemukan kata sepakat, bahwa berbicara amaliyah ta’abbudiyah kembali kepada individu masing-masing, yang yakin dengan jalan fiqh silahkan, demikian yang yakin dengan jalan Sufi juga silahkan.
Salah satu teman memperkuat argumentasi kaum Sufi, dengan menyampaikan bahwa dalam al-Qur’an ada empat kalimat tauhid, diantaranya yaitu; Laa ilaha Illa Allah (tiada Tuhan selain Allah), Laa ilaha Illa Huwa (Tiada Tuhan selain Dia), Laa ilaha Illa Anta (Tiada Tuhan selain Engkau), dan yang terakhir Laa ilaha Illa Ana (Tiada Tuhan selain AKU).
Kalimat-kalimat tersebut, jika dikaji secara bahasa, tentu sebagaimana arti yang sudah dituliskan di atas. Namun, bagi kaum Sufi, kalimat-kalimat di atas, menjadi sesuatu yang bermakna luar biasa, yang berkenaan dengan kondisi ruhiah seseorang yang mengalami ektase ilahi. Karena sudah waktunya bubar, teman saya hanya berhenti disitu penjelasannya.
Cukup lama saya terngiang-ngiang kalimat tauhid di atas, hingga saya mencoba mengkaji sendiri, sambil mengumpulkan referensi dari teman-teman saya yang sudah menjalani kehidupan Sufi. Sebenarnya, dalam al-Qur’an tidak dijelaskan urutan pertama yang muncul dari sekian kalimat-kalimat Tauhid tersebut. Tapi, berdasarkan hasil diskusi, saya mencoba menyimpulkan bahwa susunannya jika disesuaikan dengan pengalaman spiritual yang dialami oleh pejalan Sufi, kurang lebih sebagaimana tertulis di atas.
a. “Laa ilaha Illa Allah”
Kalimat tauhid ini, merupakan penghayatan pertama bagi pejalan Sufi, dengan menghayatinya akan beranggapan bahwa meng-Esakan Allah adalah hal pertama yang perlu dilakukan, penisbian atas selain Allah sehingga diri benar-benar haq al-yaqin bahwa tiada Tuhan selain Allah. Hingga seseorang berkeyakinan, hanya Allahlah Sang Pencipta, Pemberi, dan Pengatur segala yang ada di alam semesta. Tentulah, bagi orang yang berkeyakinan seperti ini, ia hanya takut dan berharap kepada Allah. Bagi orang ini, sangat tegas batas antara Pencipta dan yang diciptakan, Allah lebih diproyeksikan sebagai dzat yang Maha Menghukum bagi pelaku kejahatan, dan disisi yang lain sebagai dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang bagi pelaku kebaikan. Sangat jelas pula, mana baik menurut Allah, dan mana yang buruk menurut Allah, dan semua manusia harus mengikuti ketentuan tersebut.
b. “Laa ilaha Illa Huwa”
Orang yang sudah sampai pada penghayatan kalimat ini, penggambaran tentang Allah berbeda dengan yang sebelumnya, proyeksi tentang Allah menjadi kabur, tetapi Allah menjadi sesuatu dzat yang pasti “ada’, namun dalam level perwujudnya, hanya Allah yang tau. Karena hanya Allah yang tau tentang dirinya, maka Allah suci dari proyeksi pikiran manusia. Anggapan tentang Allah, sebagaimana menurut Ibnu Araby, bahwa sucinya Allah adalah kondisi dimana Allah hanya dapat ditunjuk dengan kata “Dia” (Huwa) yang sendiri, “Dia” yang keberadaan dan kesendiriannya tidak dapat dilukiskan karena kemenyendirian-Nya, sehingga “Dia”, satu-satunya, yang berhak memiliki wujud dan disebut sebagai wujud, sementara yang selainnya hanyalah maujudaat.
c. ”Laa ilaha Illa Anta”.
Orang yang sampai pada penghayatan kalimat tauhid ini, memandang semua yang ada di alam semesta ini adalah Allah, baginya Allah benar-benar hadir, dan kehadiran Allah benar-benar nyata dirasakan oleh kesejatian ruhnya. Dalam setiap entitas ada Allah, tidak pandang apa wujudnya, benda yang kelihatan hidup, maupun yang kelihatan mati, yang kelihatan indah maupun yang terlihat buruk, dan yang tampak mulya maupun yang dianggap berada dalam kehinaan. Al-hasil, orang yang sudah sampai pada penghayatan kalimat tauhid ini, meyakini bahwa semua yang ada di alam semesta semuanya dalam “kesatuan”, dan meyakini pula bahwa satuan wujud ternampak yakni, benda, tersusun dari satuan terkecil yang bernama molekul, satuan terkecil dari molekul adalah atom, kemudian partikel merupakan satuan terkecil dari atom, dan satuan terkecil dari partikel adalah realitas quanta, dan yang paling halus yakni quark, semakin kecil susunannya, getarannya justru lebih konsisten dan cepat. Orang ahli fisika mengatakan bahwa alam semesta adalah realitas energi yang menyatu dan sama-sama mempunyai getaran energi magnetik, fakta getaran energi ini dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa di Langit dan di Bumi semuanya bertasbih menyebut nama Allah.
d. “Laa ilaha Illa Ana”
Sebuah titik penghayatan yang paling dalam tentang Allah. Konon Al-Hallaj mengatakan “Ana al-Haq” dan Syek Siti Jenar mengatakan “Manunggaling Kaulo Gusti”, yang ia katakan ketika mengalami puncak ektase kesatuan dengan Allah. Sebuah perkataan yang paradok pada zamannya, hanya untuk menjelaskan “aku dalam Allah, dan Allah dalam aku”.
Dalam hadits Qudsy dikatakan, “ana inda dzonni ‘abdy” (Saya menurut apa yang hambaku sangkakan), dengan demikian jika “sangkaan” manusia yang menjadi barometer proyeksi tentang Allah, secara otomatis manusia sudah menarik konsep Allah pada level “Ana” (Saya). Maka, sebagaimana hadits Qudsy tersebut, sebenarnya manusia sendirilah yang mendisien mau seperti apa Allahnya dalam pikiran dan rasanya, dari disien pribadi tentang Allah inilah yang menentukan cara berpikirnya, disadari atau tidak cara berpikirnya menjadi penentu cara pandang, dan dari cara pandang inilah, perjalanan hidup manusia ditentukan.
Laa ilaha Illa Ana, bisa jadi kalimat tauhid ini, menjelaskan bahwa “Ana” (saya) inilah yang menjadi lokus kesadaran, sebuah kesadaran yang bermuara pada “diri”, dengan beranggapan seperti itu, akhirnya manusia tidak lagi menyalahkan Allah dan juga manusia lain. Jika mengalami sebuah kejadian yang tidak menguntungkan dirinya, maka seharusnya yang dilakukan adalah segera telaah apa yang ada dalam pikiran dan perasaannya. Yang demikian inilah, kita menyebutnya “kesadaran diri’, yakni kesadaran yang berasal dari “jati diri”. Orang yang menemukan dan mengetahui jati dirinya, maka ia akan menemukan dan mengetahui Allah, sebagaimana ungkapan “man ‘arafa nafsahu, faqod ‘arafa rabbahu” (Barang siapa mengetahui jati dirinya, maka ia telah mengetahui Rabb-nya).
Titik Balik; Menemukan Jati Diri
Ibaratkan seorang pendaki gunung, tentu setelah sampai puncaknya seseorang akan merasakan nikmat proses pendakian, dan menikmati keindahan puncak gunung, sembari memandang ke segala arah, memandang ke semua objek dengan rasa syukur yang tiada terkira, kurang lebih seperti itulah rasa syukur seseorang yang sudah menemukan jati dirinya.
Selanjutnya, tibalah waktunya untuk turun kembali, dengan kualitas pengalaman dan rasa syukur yang berbeda dengan sebelumnya. Setelah seseorang menemukan jati dirinya (Laa Ilaha Illa Ana), titik baliknya akan lebih selaras dengan “anta” (Laa Ilaha Illa Anta), sebagaimana anta kata ganti dari entitas yang berada di depan kita, yang dekat dan terlihat langsung, nyata sifatnya secara fisik, analogi anta ini berkaitan dengan entitas tanpak yang ada di alam semesta. Dilanjutkan pada kata “huwa” (Laa Ilaha Illa Huwa), yang mana dalam bahasa Arab huwa merupakan sebuah kata ganti ketiga tunggal, kata huwa adalah analog dari penjelasan tentang keberadaan entitas yang tidak tanpak secara fisik. Dengan demikian, orang yang mengetahui ke-saya-annya berkecendrungan selaras dengan sesuatu yang tampak maupun yang tidak tampak. Keselarasan yang sedemikian rupa, menjadi sebuah bukti bahwa orang tersebut telah/sudah selaras dengan kesadaran ilahi, diri yang utuh secara universal, keterhubungan, meliputi dan menyeluruh, semua dalam Allah dan Allah dalam semua, Laa Ilaha Illa Allah. Dari rangkaian ana, anta, huwa secara subtansial inilah, makna dari Man ‘arafa nafsahu, faqod ‘arafa rabbahu sepertinya berasal.
Dari ulasan di atas, sepertinya sangat benar, kenapa ulama terdahulu mengedepankan ajaran “Tauhid” sebagai pengetahuan pertama yang harus dipelajari, sebagaimana dalam sebuah sya’ir dalam kitab Az-Zubad, “Awwalu wajibin ‘ala al-insani # ma’rifat al-ilahi bistiqani (kewajiban paling awal, bagi setiap manusia adalah mengenal dan mengetahui Tuhannya). Dengan memahami ilmu tauhid seperti yang dijelaskan di atas, dan menarik konsep Allah pada level “Ana” (saya) sebagai puncak kesadaran diri, akan memberikan dampak positif terhadap kepribadian manusia, dalam tugasnya sebagai khalifah di Bumi, yang selalu memberikan kedamaian di Bumi, serta berakibat pula pada terwujudnya keseimbangan alam semesta. Aaamiiin
Allahu a’lam bi al-shawaab.
Bangkalan, 01 Juni 2014