Oleh : Siti Nurul Hidayah, S.Si*
KELAKAR, Lingkarjatim.com – Munculnya Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) di masa pandemi covid 19 ini telah banyak menuai kontroversi. Di saat rakyat butuh uluran tangan yang dapat menjamin kelangsungan hidupnya dari para wakil rakyat, tapi kalangan wakil rakyat disibukkan dengan pembahasan yang belum menyentuh masa depan nasib mereka secara langsung.
Tentang kemunculan RUU HIP ini, menurut Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian Dewan Inosentius Samsul mengatakan RUU tersebut merupakan usulan Badan Legislasi DPR RI. “Naskah akademik dan draf pun Baleg yang bikin,” katanya. “Kebetulan di Baleg tenaga ahli cukup banyak, sehingga sebagian besar RUU itu dikerjakan oleh pihak Baleg, termasuk RUU HIP.” (tirto.id, 16 Juni 2020).
Sehingga pada 12 Mei 2020 RUU tersebut telah disahkan sebagai RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna yang menunggu surat presiden (surpres) dan daftar inventarisasi masalah (DIM) untuk pembahasan selanjutnya.
Dalam naskah yang dimuat di RUU HIP halaman 59, dijelaskan tentang tujuannya “sebagai pedoman bagi Penyelenggara Negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila”. Karena disebutkan bahwa saat ini belum ada undang-undang sebagai landasan hukum yang mengatur mengenai Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga diperlukan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila.
Meskipun tertera tujuan sebagaimana tersebut di atas, pembahasan RUU HIP ini disamping dinilai sebagai materi yang kurang urgen dengan kebutuhan rakyat di negeri ini.
Sebagian kalangan juga menganggap tujuan utama perumusan RUU HIP masih belum jelas. Apalagi yang menjadi problem lainnya juga terletak pada redaksional pasal-pasal yang sangat normatif dan multitafsir. Sehingga banyak kalangan mempertanyakan dan mengkritisi rancangan undang-undang tersebut terkait hal-hal substansif.
Respon terhadap RUU HIP
Berbagai respon dari berbagai tokoh di masyarakat, baik dari tokoh ahli, tokoh politik maupun tokoh organisasi kemasyarakatan (ormas) mempermasalahkan keberadaan RUU HIP ini.
Diantaranya menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan “ini berpotensi mengendalikan hak kebebasan berekspresi, persis seperti Orba. Terlihat sekali ada upaya memonopoli tafsir Pancasila” katanya. (tirto.id, 16 juni 2020) Karena dalam pasal 43 ayat 1 berbunyi “Presiden merupakan pemegang kekuasaan dalam pembinaan haluan ideologi pancasila”. Sehingga hal ini menunjukkan Presiden sebagai pemegang kekuasaan haluan Ideologi Pancasila.
Selanjutnya dalam hal menilai isi RUU yang membuat bias Pancasila. Seperti yang disampaikan Wakil Ketua MPR Fraksi Partai Demokrat, Syarief Hasan mengkritik sejumlah pasal, salah satunya Pasal 6 RUU HIP yang menyebutkan ciri pokok Pancasila adalah Trisila yang terkristalisasi dalam Ekasila. Karena istilah tersebut tidak pernah disebutkan dalam lembaran negara, menyebabkan istilah Pancasila menjadi bias.
Menurutnya, Trisila hanya mencantumkan tiga nilai dan Ekasila hanya mencantumkan satu nilai gotong-royong.
Trisila dan Ekasila mengabaikan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan nilai-nilai lain yang telah disebutkan jelas dalam UUD NKRI 1945. (kompas.com, 24 juni 2020)
Disamping itu keberadaan pasal tersebut dinilai oleh banyak kalangan menjadi polemik karena tidak lagi mencantumkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Sehingga muncul kekhawatiran menjadikan peluang bagi partai komunis kembali tumbuh subur di Indonesia. Yang mana telah diketahui bersama tentang sejarah kekejaman partai komunis tersebut telah banyak membunuh para ulama dan santri. Bahkan terbunuhnya sejumlah jenderal TNI juga menjadi fakta kelam sejarah yang menunjukkan kekejaman PKI yang ingin menjadikan komunis sebagai ideologinya.
Sebagaimana disampaikan oleh Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU)
“RUU ini disusun dengan cara yang sembrono, kurang sensitif dengan pertarungan ideologi,” kata Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya PBNU Rumadi Ahmad. (Kompas.com (17/6/2020).
Menyikapi kontroversi RUU HIP ini, telah banyak direspon oleh banyak massa yang melakukan aksi penolakan di beberapa daerah di Jawa Timur, khususnya di wilayah Madura. Sebagaimana di Sampang, ratusan massa dengan mengatasnamakan ulama-Habaib dan tokoh madura menggelar aksi demo di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sampang. Aksi dilakukan untuk memberikan penolakan terhadap muatan yang terkandung dalam RUU HIP.
Menurut Koordinator lapangan (Korlap) aksi KH. Djakfar Sodik mengatakan, Aksinya bertujuan untuk mempertanyakan kejelasan terkait dengan surat penolakan RUU HIP yang sebelumnya sudah dikirimkan kepada DPR RI melalui DPRD Sampang. Korlap mengatakan “kami menilai keberadaan pasal yang menerjemahkan Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila dalam draf RUU HIP itu mereduksi mengooptasi Pancasila, keluar dari amandemen Pancasila dan memberikan peluang bangkitnya komunis di Indonesia,” kata Djakfar Sodik. (petajatim.co, 6 Juli 2020)
Sikap Rakyat dan Pemerintah
Melihat gelombang penolakan yang begitu besar di masyarakat terhadap RUU HIP, hal ini menunjukkan bahwa rakyat tidak menghendaki kelanjutan RUU yang memunculkan banyak tanda tanya ini. Dengan demikian tentunya semua pihak harus bisa peka terhadap kemungkinan terjadinya pertarungan ideologi yang perlu diwaspadai bisa terjadi di negeri ini. Apalagi terhadap RUU yang dapat mengancam keyakinan masyarakat terhadap asas Ketuhanan Yang Maha Esa. Disamping itu, dalam RUU HIP ini ada kekhawatiran di masyarakat akan kembalinya Partai Komunis Indonesia (PKI) yang masih sangat lekat dalam ingatan tentang pengkhiatannya yang dilakukan di negeri ini. Maka wajar jika banyak respon dari masyarakat di negeri ini yang menolak RUU HIP ini untuk dilanjutkan apalagi disyahkan menjadi Undang-undang.
Selanjutnya bagi pihak pemerintah, terutama Presiden sebagai pemimpin di negeri ini, karena RUU HIP ini masih menunggu surat presiden harapannya bisa mendengar segala aspirasi rakyat terkait RUU HIP ini sehingga bisa satu suara dengan rakyat untuk menghentikan dan menolak disyahkannya menjadi undang-undang.
Maka bagi para wakil rakyat di negeri ini hendaknya bisa lebih memperhatikan masalah yang tengah dialami rakyat saat masa pandemi covi-19 yang belum kunjung berakhir ini. Karena saat ini uluran tangan bagi masyarakat khususnya yang terdampak wabah sangat dibutuhkan terutama dalam mengatasi kelangsungan hidupnya menghadapi ekonomi yang makin sulit. Sehingga keberadaan para wakil rakyat bisa benar-benar memberikan peran yang dibutuhkan rakyatnya. (*)
*Guru SMA dan Pemerhati Masyarakat
Tulisan ini adalah kiriman dari pembaca, isi tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.