MENONPARTAIKAN ANGGOTA DPD

  • Oleh: Jamil,SH.,MH

Lingkarjatim.comOpini – Masuknya anggota DPD kedalam pengurus dan keanggotaan Partai Politik, menjadi sorotan banyak kalangan khususnya pemerhati Ilmu Hukum Tata Negara. Banyak yang menyayangkan bergabungnya sebagian besar anggota DPD ke Partai Politik, karena hal itu akan menciderai konsep bikameral sistem yang menjadi filosofi terbentuknya anggota DPD.

Diantara pakar tata negara yang memperotes keras atas masuknya anggota DPD ke Partai Politik adalah Dr. Rafli Harun. Menurutnya lembaga DPD itu didesign sebagai refresentasi daerah bukan sebagai refresentasi Partai politik “Kita melihat kita sedang melakukan dua desain kelembagaan, kalau mayoritas berasal dari satu partai politik maka hakikat DPD hilang, ya nggak ada gunanya DPD,” Pendapat Refly dalam sebuah diskusi.(http//m.detik.com).

Dua desain kelembagaan yang dimaksud Refli adalah konsep bikameral dalam tubuh lembaga parlemen. Lembaga DPD diproyeksikan sebagai salah satu kamar parlemen yang merefresentasikan daerah sedangkan kamar sebelahnya dihuni oleh DPR sebagai refresentasi rakyat yang diusulkan melalui partai politik.

Sebenarnya tidak semua ahli Hukum Tata Negara mengamini sistem bikameral ini. Dengan mendalilkan pada Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, Hakim Mahkamah Konstitusi baru pengganti Patrialis Akbar, Saldi Isra berpendapat, bahwa kurang tepat menggunakan istilah bikameral untuk menjelaskan sistem perwakilan ditubuh parlemen. Hasil kajian guru besar Hukum Tatanegara Andalas ini menemukan bahwa perubahan UUD 1945 menghasilkan lembaga legislatif tiga kamar (Tricameral) dengan menempatkan MPR menjadi salah satu kamar lembaga perwakilan rakyat. (Harian Kompas 6 April 2017)

Terlepas dari perdebatan istilah Bicameral dan Tricameral sistem ditubuh parlemen, pertanyaan terbesar dari upaya menonpartaikan anggota DPD adalah “Sudahkah konsep perwakilan berdasarkan kamar-kamar yang berbeda dinormakan dalam perundang-undangan kita?”.

Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 menyatakan, “ Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorang”. Kata perseorang dimaknai bahwa keanggotaan DPD tidak dari partai politik. Hal ini membedakan dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) “ Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Partai Politik”.

Kata “Perseorangan” yang diartikan anggota DPD bukan dari keanggotaan partai politik pernah disetujui oleh Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 63 UU Pemilu tersebut, melarang anggota DPD menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon. Namun pada UU Pemilu selanjutnya, baik UU. No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR,DPD dan DPRD, dan UU. No. 8 tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, tidak ditemukan pasal yang mensyaratakan anggota DPD tidak boleh dari pengurus/anggota partai politik.

Atas ketiadaan syarat tersebut sejumlah anggota DPD dan aktifis mengajukan Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi dengan permintaan (Petitum) mengembalikan syarat tidak berpartai bagi anggota DPD dengan menyatakan bahwa Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) sepanjang tidak mengandung syarat harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau pengurus partai politik.

Terhadap gugatan tersebut mahkamah berpendapat bahwa syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD bukan merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.” Kandungan norma yang tercantum dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 adalah bahwa untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD, perseorangan harus ‘mencalonkan’ dirinya sendiri sebagai peserta Pemilu, bukan dicalonkan oleh Parpol. Hal itu berbeda dengan calon anggota DPR, perseorangan yang ingin menjadi anggota DPR harus dicalonkan oleh Parpol yang merupakan peserta Pemilu.(Putusan MK No.10/PUU-VI-2008).

Putusan mahkamah konstitusi di atas, pada dasarnya hanya menyatakan bahwa tidak ada norma larangan dalam konstitusi bagi anggota DPD untuk menjadi anggota Partai politik, oleh karenanya mahkamah tidak dapat memberi larangan sebagaimana yang diminta oleh pemohon. Hal ini berbanding lurus dengan kewenangan mahkamah sebagai negative legislator yang artinya Mahkamah hanya bisa memutus sebuah norma dalam UU yang bertentangan konstitusi, tanpa boleh memasukan norma baru ke dalam undang-undang. Oleh karenanya mahkamah tidak dapat memunculkan norma syarat non partai bagi anggota DPD sepanjang tidak dinormakan dalam UUD 1945.

Setelah putusan MK tersebut, kini tidak ada lagi peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar bahwa anggota DPD tidak boleh menjadi pengurus atau anggota Partai Politik, harapan satu-satunya adalah terletak pada kenegarawanan para anggota DPR RI beserta lembaga eksekutif untuk mengembalikan norma syarat menonpartaikan anggota DPD dalam rancangan pemilu yang sekarang sedang dibahas.

*Dosen Fakultas Hukum UBHARA Surabaya dan Pengurus LPBH NU Jatim.

Leave a Comment