Menu

Mode Gelap

KELAKAR · 27 May 2017 07:45 WIB ·

KENISCAYAAN PRESIDENTIAL THRESHOLD NOL PERSEN


KENISCAYAAN PRESIDENTIAL THRESHOLD NOL PERSEN Perbesar

OLEH : MOH. NIZAR ZAHRO
(ANGGOTA PANSUS RUU PEMILU)

Dalam RUU Pemilu di pasal 190 disebutkan mengenai aturan Presidential Thereshold. Bunyi dari PASAL 190 : Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya.
Pasal ini tentu menimbulkan perdebatan dikalangan para anggota pansus yang merupakan perwakilan dari para Anggota Fraksi di DPR RI. Dalam perkembangan politiknya, 7 Fraksi Yakni Fraksi Gerindra, Fraksi Demokrat, Fraksi PAN, Fraksi PKB, Fraksi PKS, Fraksi PPP dan Fraksi Hanura mengusulkan besaran Presidential Thereshold, Nol Persen. Sedangkan 3 Fraksi lainnya yakni Fraksi PDIP, Fraksi Golkar dan Fraksi Nasdem tetap ngotot besaran PT sama seperti sebelumnya yakni 20 persen jumlah kursi DPR RI atau 25 persen dari suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.
Alasan dari Fraksi Gerindra sendiri mengusulkan PT (Presidential Thereshold) 0 persen dalam pemilihan capres – cawapres diantaranya :
UUD 1945
Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Sebagai konstitusi tertinggi dinegara ini, UUD ini tidak mengharuskan adanya besaran persentase untuk presidential threshold (PT). UUD 1945 memberikan ruang bebas kepada seluruh masyarakat untuk berpartisipasi baik memilik maupun dipilih dalam pemilihan umum presiden.
Karenanya, jangan sampai RUU pemilu memberikan syarat persentase besaran thereshold dalam pemilihan presiden. Sebab, akan memberikan diskriminasi terhadap warga Negara yang memiliki kompetensi untuk menjadi calon presiden maupun calon wakil presiden. Oleh sebab itulah, RUU Pemilu jangan sampai menjadi alat diskriminasi terhadap warga Negara.
PILPRES DAN PILEG DI GELAR SERENTAK
Di Pasal 190 RUU Pemilu besaran PT didasarkan pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya. Ini menimbulkan tanda tanya, sebab pilpres dan pileg pada tahun 2019 akan digelar secara serentak. Jadi, frase berdasarkan pileg sebelumnya, tidak bisa dijadikan acuan untuk mengusung capres – cawapres. Sebab.
Pilpres dan pileg serentak tersebut merupakan putusan dari mahkamah konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013. Maka dari itu, dengan digelarnya pemilu legislative (pileg) dan pilpres secara serentak menjadikan aturan presidential threshold lemah secara konstitusional bila dipaksakan besarannya seperti sebelumnya yakni 20 persen kursi legislative atau 25 persen suara pileg.
Apalagi sebelumnya, hasil pemilu anggota DPR tahun 2014, sudah dijadikan dasar besaran presidential thereshold pada pilpres tahun 2014 yang memunculkan dua pasangan calon Yakni : Prabowo Subianto – Hatta Rajasa dan Joko Widodo – Yusuf Kalla. Apa mungkin, hasil pileg tahun 2014 kembali dijadikan acuan besaran Presidential Thereshold pada tahun 2019? Jelaslah tidak mungkin. Sebab, dalam lima tahun terakhir dari 2014 hingga 2019, bisa saja telah terjadi pergeseran pilihan masyarakat dari satu parpol ke parpol lainnya sehingga perolehan suara pun akan juga berubah. Karena itulah, ketiadaan PT merupakan keniscayaan bila pileg dan pilpres digelar serentak pada tahun 2019.

PT MENIMBULKAN DISKRIMINASI TERHADAP PARTAI POLITIK
Pemilihan Presiden – Wakil Presiden haruslah menjadi sarana untuk memunculkan negarawan – negarawan yang berkontribusi bagi bangsa dan negara. Dan partai politik sebagai wadah untuk melahirkan pemimpin – pemimpin bangsa, memiliki kewajiban moral. . Apalagi adanya besaran presidential thereshold merupakan bentuk dari diskriminasi terhadap partai – partai kecil. Diskriminasi juga terhadap warga Negara.
Jika membaca Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 dan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dengan teliti dan bijak, maka pasangan calon presiden-wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Jika membaca dan menganalisis ketentuan tersebut, sesungguhnya konstitusi memberikan kesempatan yang sama terhadap setiap partai yang telah dinyatakan menjadi peserta pemilu untuk mengusung pasangan calon presiden-wakil presiden. Oleh karena itu, menurut penulis, ketentuan pembuatan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dalam UU Pilpres (UU Nomor 42 Tahun 2008) sudah kehilangan relevansinya. Logika frasa “diusulkan oleh partai atau gabungan partai peserta pemilu” seharusnya diterjemahkan bahwa setiap partai yang telah lolos sebagai peserta pemilu memiliki kewenangan yang sama untuk mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden di Pilpres tanpa disuguhi syarat berupa presidential threshold.
Jika seandainyapun pembuat UU ‘memaksakan’ adanya presidential threshold, maka akan sangat sulit mencari dasar penghitungannya. Memang ada yang berpendapat bahwa penghitungan presidential threshold dapat didasarkan pada hasil perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik pada pemilu sebelumnya, hemat penulis, hal ini juga tidak relevan dan tidak logis karena kontestasi politik pada masing-masing pemilu sangat berbeda. Selain itu, harus dipahami juga bahwa dalam makna pemilu serentak yang sesungguhnya adalah tidak bisa menjadikan hasil pemilu sebelumnya menjadi dasar atau syarat dalam pemilu berikutnya. Apalagi adanya besaran presidential thereshold merupakan bentuk dari diskriminasi terhadap partai – partai kecil.
Kesimpulan
Ketiadaan Besaran Presidential Thereshold merupakan solusi dari perdebatan perlu tidaknya besaran presidential thereshold. Manfaat dari ketiadaan PT lebih besar daripada kerugiannya. Apalagi dengan pilpres dan pileg serentak, aturan 20 persen kursi legislative atau 25 persen suara pileg, sudah tidak relevan lagi. Besaran PT tersebut telah menimbulkan ketidaksetaraan politik bagi warga Negara dan bagi partai politik. Karenanya, berdasarkan UUD 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, sudah selayaknya besaran PT ditiadakan. Dengan tidak adanya besaran PT, maka akan banyak capres – cawapres alternative yang muncul. Masyarakat pun memiliki banyak alternative pilihan dalam menentukan hak politiknya.

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 0 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Kakatua Jambul Kuning (Cacatua sulphure Abboti) : Satwa Endemik Pulau Masakambing – Sumenep Yang Kini Tercancam Punah

21 March 2024 - 12:39 WIB

Kerupuk Teripang ‘Rung-terung’ dan ‘blonyo’: Sisa Kearifan Tradisional Madura?

6 March 2024 - 07:58 WIB

Potensi Keracunan Makanan Pada Saat Udara Panas dan Perlindungan Pada Anak-anak Sekolah

9 October 2023 - 13:13 WIB

Antisipasi Dampak Panas Ekstrim Bagi Anak-Anak

4 October 2023 - 11:29 WIB

Berbagai Lomba Meriahkan Perkemahan Galang Van Java

14 November 2022 - 20:36 WIB

Pentingnya Peran UPT Bidang K3 dalam Melindungi Hak Dasar Pekerja

12 August 2022 - 08:45 WIB

Trending di KELAKAR