Oleh: Sulthoni
Di tetapkannya Pak Fachrul Razi adalah kali ke tiga Kementerian Agama di nahkodai militer. Potret sejarah bangsa ini tidak asing dengan pola aturan dan kohesi ala mileteristis.
Sisi lain Menteri Agama mayoritas latar belakang organisasinya Nahdlatul Ulama’, Muhammadiyah dan sebagian kecil Masyumi, organisasi massa besar dengan tingkat intensitas pendidikan Agama dgn out put kader perekat keberagaman, bukan hanya Agama, keduanya seolah menjadi jawaban atas sekelumit agregasi persoalan ideologi bernegara.
Pembagian jatah menteri memang tidak segampang didi kempot menyanyikan lagu pamer bojo lalu saut-sautan kompak cendol dawet sobat ambyar dengan ritme lirik senada pas di telinga.
Idealnya definitif adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Soal jatah, keadilan itu muncul ketika seluruh koalisi merasa dapurnya sudah bisa di pacu, meskipun penempatan posisi tidak sesuai dengan kompetensi.
Dalam disiplin ilmu sosiodemokrasi; ruang – ruang kosong penempatan di tentukan asas musyawarah merekognisi dgn mempertimpangkan aspek sosial. Mayoritas dari kita adalah manusia kosong yang terisi oleh proses benturan sosial dgn bermacam corak yang mendasari terbentuknya karakter. Predikat gus, kyai, ustadz adalah label sosial yang di latar belakangi pendidikan konsen Agama yang oleh sosial di anggap patron yang mampu mengergonomi bidangnya. Pun begitu dgn sosial militer. Prototipe latar belakang keduanya berbeda.
Mari lupakan maintenance pembagian roti menteri, sudah seharusnya pemangku kebijakan harus berkeputusan dgn meminimalkan resiko, menganalisa sebelum menerapkan, mengkaji sebelum memberi solusi.
Setidaknya ada golongan manusia normal yang termarginalkan, mereka kaum bercadar dan bertatto. Di tambah pemerintah rasis mengasumsikan semua terorisme mayoritas bercadar, dan seakan bertatto bentuk simbolis premanisme. Menibulkan keresahan phobia akan keberadaan mereka.
Kehadiran fashion gaya hidup masyarakat adalah keniscayaan di bukanya kran demokrasi 1998. Kebebasan berpendapat dan berekspresi di lindungi oleh undang-undang, Pemerintah dalam hal ini harus bersikap adil sejak dalam hati dan fikiran tidak ada tendensi dalam tindakan.
Pemberantasan benih radikalisme bukan di ukur dgn bagaimana mereka berpakaian. Dalam kaidah fiqh hukum bercadar adalah sunnah. Membukanya hanya dengan muhrim, sunnah bagian dari sistem demokrasi, orang dipersilahkan menentukan pilihan. Tidak ada yang salah dari cara mereka memilih trend mode fashionnya.
Sedang ajaran doktrinasi kajian, majlis taklim yang mendakwahkan pembangkakan dan ujaran kebencian terhadap dasar negara terus beraktivitas tanpa aturan. Tragedi Selandia Baru sampling kekejaman dogma muslim di hantam peluru bertubi-tubi tanpa ampun. Banyak hal yang Inkonsistensi dari gagasan menteri cenderung mempersempit ruang demokrasi masyarakatnya.
Tidak semua harus di seragamkan, biarlah perbedaan itu menjadi warna kekayaan kearifan lokal. Kaum bercadar hadir di kanan kiri hidup berdampingan, tetangga di rumah mendengarkan dentingan musik arabic dan saya tetap setia memilih ringtones kartonyono medot janji.
*) Adalah Komunitas Sahabat Ambyar