Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti berbagi tips sukses. Bagaimana dia yang cuma dropoutan kelas II SMA bisa jadi pengusaha ikan, kemudian bikin Maskapai Susi Air dan kini jadi Menteri.
“Banyak membaca,” begitu tips sukses ibu Susi yang saya baca di sebuah media online.
Maka, meski sekolahnya tak beres, pengetahuan ibu Susi tetap luas dengan membaca. Seorang bos atau manager, katanya, perlu tahu banyak hal, agar bisa memimpin para karyawan yang rata-rata berpendidikan tinggi dan bagus.
Tentu ada faktor lain yang membuat ibu Susi sukses. Tapi agaknya, membaca buku menjadi faktor utama.
Ketika masih menjabat presiden RI ke 4, saya kerap mendengar KH Abdurrahman Wahid disebut tidak layak jadi presiden karena keterbatasan penglihatan. Para pengejek itu tidak tahu bahwa mata Gus Dur sudah minus sejak kecil.
dan kondisinya kian parah, salah satunya karena keseringan membaca. Mulai sejak di pesantren hingga kuliah di Kairo juga Baghdad, hidup Gus Dur tak pernah jauh dari buku.
Maka meski secara fisik kekurangan, tapi pikiran-pikiranya sangat cemerlang. Pengetahuan Gus Dur yang luas, membuat masalah berat bisa dihadapi dengan enteng dan ringan lewat humor dan candaan.
Dua tokoh beda generasi ini, telah mencontohkan bahwa membaca bisa menjadi salah satu prasarat wajib untuk sukses, apa pun profesi yang kelak ditekuni.
Para pendiri Bangsa, agaknya pun demikian: gila membaca. Muhammad Hatta, Syahrir juga Tan Malaka adalah para pecinta buku yang akut.
Ketika ditangkap Belanda dan diasingkan ke Digul lalu ke Banda Neira pada 1934. Hatta membawa serta berpeti-peti bukunya. Hatta sampai dianggap sombong oleh kawan-kawan sepengasingan karena tak mau diganggu oleh siapa pun bila sedang membaca buku dalam kamarnya.
Bahkan karena buku, Hatta pernah tak bertegur sapa dengan Syahrir. Setelah seorang murid Syahrir menumpahkan sesuatu dan mengotori buku milik Hatta. Syahrir menganggap sikap Hatta itu berlebihan. Tapi begitulah cara Hatta mencintai buku-bukunya.
Syahrir sendirinya jugalah seorang pecinta buku. Ketika diasingkan Belanda ke Banda Neira dengan Hatta, dia juga membawa sepeti buku. Namun, ketika masa pengasingannya selesai, dia terpaksa meninggalkan buku-bukunya di pengasingan.
Sebab, ketika pesawat penjemput datang, telah penuh oleh penumpang dan muatan. Syahrir harus memilih antara membawa buku itu atau membawa seorang muridnya yang sudah dijanjikan Syahrir akan dibawa serta. Dan Syahrir memilih muridnya itu. (Mustofa Aldo)