I. Latar Belakang
Organisasi dunia dibidang Kesehatan (WHO) telah menetapkan covid 19 (corona) sebagai Pandemi Global sejak tanggal 11 Maret 2020. Dan pada tanggal 2 maret 2020 President Joko Widodo juga sudah mengumumkan adanya dua orang warga Indonesia yang positif terpapar penyakit covid 19. Dua warga negara Indonesia yang positif covid 19 tersebut, mengawali penyebaran covid selanjutnya karena berdasar pemeriksaan RSPI Sulianti Saroso ditemukan lagi 3 orang yang positif covid 19 atas hasil penelusuran terhadap siapa-siapa saja yang telah melakukan kontak langsung dengan dua pasien covid sebelumnya. Entah bagaimana alur kronologi penyebaran selanjutnya yang jelas berdasarkan data yang disampaikan juru bicara Achmad Yurianto per 9 April 2020 yang terpapar virus covid 19 sudah mencapai 3.293 orang dan menyebar disebagian besar daerah di Indonesia.
Dalam hal menanggulangi sebaran virus covid 19 tersebut pemerintah pusat membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) melalui Keppres Nomor 7 Tahun 2020 sebagaimana dirubah dengan Keppres Nomor 9 Tahun 2020, namun Gugus Tugas tidak dapat berbuat banyak dalam mempercepat penanganan Virus Covid 19 tersebut karena tidak dibekali kewenangan yang memedai. Akhir maret 2020 pemerintah pusat akhirnya mengeluarkan tiga produk hukum sekaligus yaitu Keppres Nomor 11 Tahun 2020, Perppu Nomor 1 Tahun 2020, dan PP Nomor 21 Tahun 2020. Terhadap tiga produk hukum yang dikeluarkan pemerintah tersebut, tidak sedikit yang mengkritik terutama kalangan ahli hukum Tata Negara.
Beranjak dari hal di atas, penulis ini ingin memberikan pandangan yang mungkin akan dapat memperkaya khazanah keilmuan dibidang Hukum Tata Negara Darurat. Tulisan ini akan berangkat dari beberapa pertanyaan penting terkait dengan isu-isu hukum yang berkembang atas kebijakan formal pemerintah dalam menangani covid 19 yaitu :
- Apakah Keppres 11/2020 merupakan kualifikasi dari pemerintah atas kondisi negara dalam kedaaan bahaya ?
- Apakah Perppu No. 1/2020 dapat dibenarkan baik dilihat dari segi bentuk maupun dari segi muatan isinya ?
- Apakah kebijakan daerah yang sudah mendahului PP No. 21/2020 dapat dibenarkan dari perspektif UU Pemerintahan Daerah ?
II. Status Negara Darurat dalam Virus Covid 19
Penulis dapat memahami apa bila deklarasi Presiden atas status keadaan darurat kesehatan masyarakat melalui keppres No 11/2020 menuai banyak kritikan dari para ahli hukum, karena kasus ini tidak pernah ada preseden sebelumnya. Indonesia memang sudah banyak sekali memberlakukan status negara darurat atau negara dalam keadaan bahaya tetapi tidak terkait dengan wabah penyakit seperti virus covid 19 ini, melainkan berkaitan dengan politik seperti adanya pemberontakan,Kerusuhan, peralihan kekuasaan, dan bencana alam. Sedangkan untuk wabah penyakit seperti yang dialami negara Indonesia saat ini tidak pernah ada presenden yang dapat kita jadikan pijakan ketatanegaraan sebagai hukum kebiasaan (konvensi ketatanegaraan).
Sedangkan dari aspek dasar hukum formal atas status negara darurat (dalam keadaan bahaya) juga sudah banyak yang dikeluarkan diantaranya adalah: Pertama, UU No. 6/1946 yang dalam Pasal 1 ayat (2) mengkualifikasi negara dalam keadaan bahaya apa bila terjadi: a) serangan, b). bahaya serangan, c). pemberontakan atau perusuhan, hingga dikhawatirkan pemerintah sipil tidak sanggup menjalankan pekerjaannya, dan d). bencana alam. Kedua, UU No.74/1957 yang dalam Pasal 1 mengkualifikasi status negara dalam keadaan bahaya apa bila:
- keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
- timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Indonesia dengan cara apapun juga.
Dan yang Ketiga adalah UU No.23 Prp/1959. Undang-undang ini masih berlaku karena tidak ada undang-undang yang lahir kemudian mencabutnya sedangkan dua UU Kedaan bahaya sebelumnya sudah dicabut. Dalam pasal 1 UU Tersebut mengkualifikasi status negara dalam keadaan bahaya apabila:
- keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
- timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;
- hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan- keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala- gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.
Dalam kualifikasi yang diatur dalam UU No. 23 Prp/1959 tersebut tidak secara jelas menyebut wabah penyakit, namun dalam butir c terdapat kualifaikasi yang masih bersifat abstrack yang bisa ditafsiri dengan berbagai keadaan-keadaan khusus termasuk wabah penyakit seperti virus covid 19 ini dengan syarat terdapat kekhawatiran atau terdapat gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup negara.
Sebagaimana yang telah diketahui bersama, bahwa virus covid 19 ini sudah ditetapkan sebagai pandemi global oleh WHO dan implikasinya tidak hanya persoalan kesehatan masyarakat ansich tetapi juga bisa membahayakan ekonomi dan juga politik negara. Oleh karenanya kondisi saat ini sudah cukup untuk dikualifikasi sebagai negara dalam keadaan bahaya.
Namun demikian UU No. 23 Prp/1959 hanya menjelaskan negara dalam keadaan bahaya atas tiga keadaan yaitu darurat sipil, darurat militer dan darurat perang, sedangkan darurat kesehatan sama sekali tidak diatur dalam UU tersebut ? Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa tiga hal itu merupakan hal-hal yang dapat diprediksi akan sering terjadi menimpa suatu negara tetapi bukan berarti membatasi status negara dalam keadaan bahaya hanya terdiri dari tiga keadaan itu saja, oleh karenanya hal-hal yang belum terprediksi secara kongkrit diatur secara abstrak sebagaimana bunyi Pasal 1 butir c diatas. Hal tersebut sebagai antisipasi atas sifat hukum yang terus hidup dan berkembang (the living law/the living constitution).
Hal lain yang menjadi pertanyaan banyak pihak adalah kenapa dalam Konsideran mengingat Keprres No. 11 Tahun 2020 tidak mendasarkan pada Pasal 12 UUD 1945 ? Berkaitan dengan hal ini menurut penulis hal yang bersifat procedural dalam pembentukan undang-undang tersebut tidak terlalu kuat untuk disimpulkan bahwa keluarnya Keprres No. 11/2020 tidak berkaitan dengan Pasal 12 UUD 1945. Jangankan hanya tidak mencantumkan Pasal 12 UUD 45 sebagai dasar hukum dalam konsideran, seandainya tidak ada deklarasi tentang status darurat tetapi kondisi negara sudah memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai negara dalam keadaan darurat (bahaya), maka hal tersebut masih bisa diterima dari aspek teori hukum tatanegara darurat yang oleh Jimly disebut sebagai emergency de facto bukan emergency de jure.(Jimly Asshiddiqie,2007:30). Jadi sekali lagi penulis berpendapat bahwa adanya pandemi covid 19 yang menyerang negara Indonesia saat ini, sudah cukup memenuhi syarat bagi pemerintah untuk menetapkan negara dalam kedaan bahaya.
III. Keabsahan Perppu No. 1/2020
Banyak juga yang mempersoalkan keabsahan Perppu tersebut baik secara formil maupun materiil. Secara formil perppu tersebut dianggap tidak memenuhi syarat kegentingan yang memaksa sebagaimana disyaratkan dalam pasal 22 UUD 1945 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 138/PUU-VII/2019 yang menterjemahkan makna dari kegentingan yang memaksa meliputi:
- adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
- Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
- kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UndangUndang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan
Sebenarnya paparan dalam sub tema “Status Negara Darurat dalam Virus Covid 19” di atas, sudah cukup menjawab soal status kegentingan yang memaksa karena apa bila status negara dalam keadaan bahaya sudah pasti memiliki sifat kegentingan yang memaksa, meskipun tidak semua keadaan kegentingan yang memaksa berada dalam keadaan negara dalam bahaya.
Namun bila alasan di atas masih dianggap terlalu sederhana, mari kita kupas syarat kegentingan yang memaksa yang ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi.Pertama adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. Menurut banyak keterangan dan fakta-fakta yang terjadi dibeberapa negara, Pandemi Virus Covid 19 ini merupakan jenis virus yang memiliki kecepatan dan kemudahan dalam penularannya, sehingga dalam menghadapinya juga membutuhkan kecepatan, oleh karenanya, Perppu tersebut dikeluarkan, karena memang sudah tidak memungkinkan lagi untuk menunggu undang-undang. Justru tidak sedikit kalangan yang memandang pemerintah terlambat dalam merespon Virus Covid 19 ini.
Kenapa muatan materi dalam perppu tersebut tidak mengatur tentang penanganan covid 19 tetapi yang diatur justru membicarakan tentang keuangan ? menurut penulis Perppu yang secara khusus mengatur tentang penanganan wabah virus tidak dibutuhkan karena sudah ada Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU KK), oleh karenanya agar UU KK tersebut dapat dioperasionalkan pemerintah mengeluarkan PP No.20/2020. Perppu No.1/2020 merupakan dampak adanya virus yang membutuhkan kebijakan dengan segera sebagaimana pemerintah juga membutuhkan Perppu penundaan Pilkada sebagai ekses atas terjadinya wabah virus yang melanda Indonesia.
Hal lain yang menjadi objek kritik atas muatan materi Perppu adalah Pasal 27 yang memberikan hak imunitas kepada pemerintah, KSSK serta lembaga-lembaga yang mengurus keuangan dari tuntutan Pidana, Perdata maupun adminsitrasi. Atas hal tersebut, mari kita cermati ketentuan Pasal 27 ayat (2) Perppu 1/2020.
“Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan”.
Dalam ketentuan tersebut, masih ada syarat untuk tidak dituntut secara pidana dan perdata yaitu jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Jadi tidak sepenuhnya bebas dari tuntutan pidana dan perdata. Sedangkan hak Imunitas dari gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, menurut penulis hal ini juga diatur dalam Pasal 49 UU No. 5/1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara:
“Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
- dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku”.
Jadi, pengecualian objek gugatan dalam hal-hal tertentu dalam rezim hukum administrasi itu sudah hal yang lumrah dan tidak perlu diperdebatkan.
IV. Wewenang Pemerintah Daerah dalam Penanganan Covid 19
Problem hukum lain yang juga menjadi perdebatan seru dikalangan akademisi hukum adalah, adanya kebijakan pemerintah daerah dalam menangani covid 19 sebelum turunya PP No.20/2020. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah hal tersebut memang menjadi urusan pemerintah daerah berdasarkan hak otonomi daerah ?
Sebagaimana yang sudah jamak diketahui, bahwa UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) membagi urusan pemerintahan atas: Urusan absolute, urusan konkuren dan urusan pemerintahan umum. Pasal 12 UU Pemda menggolangan beberapa bidang urusan sebagai urusan konkuren wajib, yaitu meliputi: Pendidikan, kesehatan, Pekerjaan umum, Penataan ruang, Perumahan rakyat dan Kawasan Permukiman, Ketenteraman, Ketertiban Umum, dan Pelindungan Masyarakat, dan Sosial.
Apa yang di lakukan oleh pemerintah daerah dalam hal penanganan covid 19 berkaitan dengan kesehatan, pendidikan, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat yang merupakan urusan konkuren wajib bagi pemerintah daerah sesuai kewenangannya. Justru kalau pemerintah daerah tidak melakukan apa-apa dan hanya menunggu kebijakan pusat, maka pemerintah daerah dapat dianggap lalai dalam memberikan perlindungan pada rakyat yang secara langsung telah memilihnya melalui event Pilkada.
Jadi kebijakan pemerintah daerah dalam penanganan covid 19 yang mendahului kebijakan pusat masih tetap dalam koridor UU Pemda yaitu memberikan perlindungan kepada masyarakat didaerahnya dimana hal tersebut bukan hanya menjadi wewenang konkuren wajid pemerintah daerah an sich tetapi juga harus diposisikan sebagai hukum tertinggi. “Salus populi suprema lex esto”.
*Dosen Hukum Tata Negara Universitas Bhayangkara Surabaya
Tulisan ini adalah kiriman dari pembaca, isi tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.