Menu

Mode Gelap

OPINI · 17 Oct 2023 14:37 WIB ·

Anomali Putusan, MK Milik Siapa ?


Anomali Putusan, MK Milik Siapa ? Perbesar

oleh : Jamil*

Mahkamah Konstitusi kembali membuat kehebohan ditengah tahapan pemilihan umum, yaitu melalui putusan yang membolehkan Calon Presiden/Wakil Presiden (Capres/Cawapres) berusia dibawah 40 tahun asal pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Putusan ini merupakan pembatalan bersarat (conditionally constitutional) atas Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 yang mematok batas Usia Capres/Cawpres paling rendah 40 tahun. 

Atas putusan tersebut, banyak kalangan Masyarakat mengait-ngaitkan dengan hubungan kekeluargaan antara Ketua MK yang tak lain adik Ipar Presiden Jokowi dan Paman dari mas Gibran yang digadang-gadang bakal digandeng sebagai calon Wakil Presiden oleh Calon Presiden Prabowo Subianto, hingga memplesetkan nama MK dengan “Mahkamah Keluarga”. 

Kehebohan ini sebenarnya bukan yang pertama kali, sebelumnya MK juga pernah membuat kehebohan ditengah tahapan pemilu yaitu melalui putusan MK nomor 22-24/PUU-XX/2008 yang memberlakukan system proporsinal terbuka berbasis suara terbanyak. Namun kehebohan ditengah tahapan pemilu tahun 2009 tersebut, justru menumbuhkan kepercayaan (trust) besar dari masyarakat.

Berbeda dengan Putusan No.90/2023 ini, yang justru banyak mendapatkan hujatan dari Masyarakat (netizens) yang tentunya akan semakin melemahkan kepercayaan public terhadap lembaga yang dulu sangat harum dan berwibawa ini. 

Anomali Putusan

Persepsi miring kepada MK bukan tidak beralasan, banyak kejanggalan dalam putusan MK No. 90/2023 ini, bahkan kejanggalan (keanehan) tersebut diungkapkan langsung oleh hakim MK sendiri melalui forum sidang resmi yaitu saat membacakan perbedaan pendapat (dissenting opinion) atas putusan yang dikeluarkan oleh lembaga yang dipimpimnya. 

Beberapa kejanggalan tersebut antara lain adalah: Pertama, inkonsistensi hakim MK dalam memutus perkara yang sama yang dimohonkan oleh pemohon yang berbeda. Diawal putusan, sembilan (9) hakim MK begitu gagahnya menyatakan bahwa permohonan aquo adalah bersifat opened legal policy sehingga menjadi domain pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) untuk mengubahnya, namun dalam memutus permohonan yang diajukan oleh seorang Mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A., tiba-tiba hakim MK terutama YM. Anwar Usman, YM Guntur Hamzah, dan YM Manahan Sitompul, menjadi berbalik arah mengabulkan meskipun dengan embel-embel sebagian.

Kedua, terdapat ketidak singkronan antara amar putusan dengan jumlah pendapat mayoritas dari hakim MK sebagaimana diilustrasikan dengan diagram venn oleh YM Saldi Isra dalam isi dissenting opinion-nya. Jika mengambil Voting atas pendapat mayoritas, maka seharusnya yang boleh mencalonkan Presiden/Wakil Presiden dibawash usia 40 tahun hanyalah yang pernah terpilih menjadi Gubernur melalui pemilihan umum (elected official), sedangkan dalam amar putusan semua yang terpilih sebagai kepala daerah baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota boleh mencalonkan Presiden/Wakil Presiden meskipun usianya dibawah 40 Tahun, padahal hal tersebut hanya diputus oleh 3 orang Hakim saja. 

Ketiga, tidak ada argumentasi yang memadai kenapa tiba-tiba hakim MK berubah pandangan dari yang semula tidak mau ikut-ikutan mengatur usia Calon Preisden/Wakil Presiden karena Opened Legal Policy  kemudian mau mengaturnya dengan menambahi kalimat “pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. 

Alasan yang dikemukan majelis hakim dalam putusannya hanyalah karena alasan pemohon (Almas Tsaqibbirru Re A) lebih spesifik menyangkut jenis jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, sedangkan dalam Permohonan sebelumnya mengaitkan dengan semua jabatan public yang pernah didudukinya, sehingga dianggap terlalu general. Keempat, sangat menarik bila memperhatikan isi dissenting opinion. 

Dissenting opinion yang biasanya berisi bantahan atas argument yang mengabulkan, namun dalam dissenting opinion  kali ini, isinya lebih banyak curhat atas kondisi yang terjadi selama pembahasan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Sangat tergambar kekesalah 4 hakim yang mengajukan dissenting opinion atas kondisi MK (Quovadis MK) dan hasil putusan dalam perkara aquo. 

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 51 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Merasa Tidak Pernah Menjadi Anggota Partai Namun Dicatut Tanpa Izin, Bagaimana Secara Hukum? 

23 September 2024 - 06:55 WIB

Memperluas Perspektif dalam Membaca Putusan MA Terkait Batasan Usia Cakada

3 June 2024 - 08:45 WIB

Memaknai Kalimat “Pj Bupati Bukan Tukang Sulap”

15 May 2024 - 13:48 WIB

Tak Punya Surat Persetujuan Partai, Bisakah Calon DPR/DPRD “GUGAT” di MK ?

2 May 2024 - 14:55 WIB

Tidak Ada Makan Siang Gratis 

12 February 2024 - 13:29 WIB

Prosfektif Peningkatan Ekonomi Rakyat dari Berbagai Pendekatan, Madura Layak Jadi Provinsi

18 December 2023 - 08:20 WIB

Trending di OPINI