Menu

Mode Gelap

OPINI · 26 Sep 2023 11:00 WIB ·

Menjadikan Bank Sampah Sebagai Social Entrepreneur 


Menjadikan Bank Sampah Sebagai Social Entrepreneur  Perbesar

oleh : MUNIRI FAQOD

Di sekitar kabupaten Bangkalan, beberapa titik lokasi seringkali terdapat timbunan sampah, membuktikan bahwa pengelolaan sampah di Bangkalan masih carut marut. Di sisi lain juga menjadi bukti bahwa prilaku membuang sampah sembarangan kerap dilakukan oleh warga Bangkalan. Misalnya tempat pembuangan sampah di area pasar Ki Lemah Duwur. Hasil pengamatan kami menunjukkan timbunan sampah dan berbau dibiarkan berhari-hari tidak diangkut oleh petugas kebersihan. Timbunan sampah juga terlihat di samping jalan raya Klampis. Terlihat juga sisa timbunan sampah yang dibakar di stadion Bangkalan.

Bukti masih carut marut penanganan sampah di Bangkalan tidak hanya di tiga titik lokasi yang disebutkan di atas. Masih banyak titik lokasi yang mengindikasikan bahwa pihak Dinas Lingkungan Hidup (DLH) kurang serius menanganinya. Warga Bangkalan juga perlu merubah perilakunya yang mayoritas (masih) bersikap semaunya saat membuang sampah.

Terlihatnya tumpukan sampah yang berdekatan dengan rumah warga, pinggir jalan raya, dan tepian pantai sekitar Bangkalan mengindikasikan bahwa warga Bangkalan masih belum menganggap serius (mungkin belum sadar) membiarkan sampah yang menumpuk dan berbau busuk selain merusak pemandangan, mencemari udara, juga dapat mengundang penyakit. Akibat membuang sampah sembarangan, bisa menyebabkan infeksi bakteri mengintai warga yang berada di lokasi timbunan sampah tersebut. Warga sekitar lingkungan yang tidak bersih, berpotensi terjangkit penyakit diare, leptospirosis, demam tifoid, penyakit pes, dan shigellosis. Berdasarkan data Badan Statistik Propinsi Jawa Timur, sepanjang 2021-2022 warga Bangkalan yang mengidap TB Paru Tuberculosis 949, sedangkan Pneumonia 3086. Dua penyakit ini lebih banyak disebabkan karena kebersihan lingkungan tidak terjaga (Alodokter: 2023).

Yuliana salah satu bidan di Puskesmas Kecamatan Bangkalan, menjelaskan bahwa ada tiga penyakit yang dipicu oleh lingkungan yang kotor, yaitu; Diare, ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), dan Tipes. Untuk Diare dibagi menjadi tiga jenis, ada diare tanpa dehidrasi yang tidak butuh penanganan serius, diare dengan dehidrasi ringan tapi harus diobati, dan diare dengan dehidrasi besar yang harus dilakukan opname. Sedangkan ISPA ada tiga jenis juga, batuk biasa (bukan pneumonia), batuk pilek disertai nafas cepat (pneumonia), dan batuk pilek, nafas cepat, tarikan nafas berat-sesak (pneumonia berat). Yang ketiga; Tipes, pemicunya adalah bakteri Thypoide. Nama bakterinya ‘Salmonella Thyphi’. Bakteri ini biasanya ditemukan di air atau makanan yang terkontaminasi.

Berdasarkan data rekap pengunjung Puskesmas Bangkalan untuk pasien balita berumur 1 – 11 bulan, 1 – 4 tahun, dan 5 – 9 tahun yang pernah menderita tiga penyakit yang disebutkan di atas, memang menunjukkan angka yang signifikan. Hal ini, sangat mungkin disebabkan karena lingkungan yang kotor akibat tumpukan sampah yang baunya menyengat dan asap dari sampah yang dibakar setiap hari tanpa sengaja terhirup oleh balita dan anak-anak. Berikut rekapannya;

NoNama penyakitJumlah Penderita Perbulan
AprilMeiJuni
1Pneumonia15 balita dan anak23 balita dan anak 
2Batuk bukan pneumonia6 balita dan anak15 balita dan anak9 balita dan anak
3Diare7 balita dan anak17 balita dan anak13 balita dan anak
4Susp Thypoide5 balita dan anak17 balita dan anak13 balita dan anak

Data di atas, tidak termasuk balita dan anak penderita akut dan ringan. Jika level akut maka dirujuk ke rumah sakit. Jika level biasa cukup dirujuk ke Polindes setempat. Kemungkinan kalau direkap semua akan lebih banyak lagi jumlahnya, ujar Yuliana. Saat ditanyakan hubungan jumlah penderita tiga jenis penyakit ini dengan lingkungan yang kotor, Yuliana menjawab dengan tegas bahwa sangat berhubungan antara intensitas tiga jenis penyakit di atas dengan lingkungan yang kotor, sampah menumpuk dan bau, dan asap dari pembakaran sampah.

Melihat hubungan lingkungan dengan kesehatan sebagaimana yang dijelaskan Yuliana di atas, maka menjaga kebersihan lingkungan sangat penting dilakukan oleh semua pihak, dan bukan hanya tugas DLH saja. Semua pihak wajib melibatkan diri, khususnya merubah kebiasaan membuang sampah sembarangan. Kebiasaan buruk ini, terlihat jelas dari beberapa titik lokasi hasil pengamatan tim peneliti Konsensus Bhiruh Dheun bahwa darurat sampah di Bangkalan sangat berhubungan dengan prilaku membuang sampah tidak pada tempatnya. Misalnya, tumpukan sampah di stadion Bangkalan ternyata lokasi Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) berjarak kurang lebih 65 meter. Demikian juga sampah yang menumpuk di perkampungan Junok, letak TPS-nya sekitar 95 km. Tapi anehnya, warga masih membuang sampah dekat dengan rumahnya sendiri.  

Yuliana menambhakan bahwa kebiasaan membuang sampah sembarangan sebaiknya dirubah. Lebih baik lagi, warga terbiasa mengumpulkan sampah berdasarkan sifatnya. Warga perlu memahami beberapa kelompok pembagian sampah berdasarkan sifat, ada organik, anorganik, dan B3 (bahan berbahaya dan beracun). Berdasarkan bentuknya ada dua, sampah padat dan cair. Berdasarkan sumbernya ada tujuh, sampah manusia, alam, hewan, konsumsi, limbah radioaktif, dan tambang. Karena kalau tidak dipahami sifat, bentuk, dan sumber sampah dan potensi dampak jika dicampur baurkan saat dibuang di Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) maka saat akan cendrung bau dan menjadi sarang bakteri. Selain itu juga, akan mempermudah dalam pengelolahan dan daur ulang sampah serta meminimalisir sampah yang akan berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Tentu merubah kebiasaan dari membuang sampah sembarangan ke membuang sampah pada tempatnya sangat mudah, hanya butuh komitmen yang kuat dengan diri sendiri. Lebih-lebih bagi orang-orang yang terlibat langsung menangani pengolahan sampah memang harus melawan rasa jijiknya. Mereka harus bisa mengendalikannya untuk tujuan yang baik dengan cara memberikan empati pada sesuatu yang menjadi pemicu rasa jijik. Pada saat rasa empati mereka meningkat, maka kepedulian mereka terhadap kebersihan lingkungan akan mengalahkan rasa jijik pada sampah. Dengan sendirinya, mereka akan lebih termotivasi dalam mengawali, memikirkan dan mencarikan solusi atas problem lingkungan akibat sampah tersebut.

  Selain empati yang memicu kepedulian, tentu ada faktor lain yang dapat memicu seseorang bisa merubah perasaan jijik pada sampah berubah drastis, yaitu saat tahu ternyata ‘sampah bisa dikonversi menjadi uang’. Tapi mengubah sampah menjadi uang, tidaklah gampang. Butuh keseriusan, konsistensi dan mental yang kuat bagi siapapun yang tertarik mengelola sampah. Keseriusan akan melahirkan konsistensi. Sedangkan konsistensi akan terjaga, ketika seseorang mempunyai mental yang kuat dalam menjalani sebuah pekerjaan. Seperti yang dilakukan Supyani misalnya, ia salah satu orang yang berempati dengan problem sampah sekitar rumahnya di Perumahan Lavender Bangkalan. Pada waktu Perumahan Lavender sedang mengalami permasalahan sampah. Warga merasa resah karena sudah seminggu sampah menumpuk di depan rumah warga karena sampah tidak segera diangkut oleh petugas kebersihan. Dan kejadian ini berulang-ulang. Merasakan keadaan seperti itu, Supyani dan Ibu-ibu Perum Lavender sering membicarakan tentang persoalan sampah di forum pengajian DAWIS (Dasa Wisma/kelompok pengajian Ibu Rumah Tangga di Perumahan Lavender).

Suka duka Supyani dan Kawan-Kawan Membentuk Bank Sampah 

Sebuah perjuangan seringkali melewati ujian dan masalah yang hadir tiap harinya. Pejuang harus menghadapi semua itu dengan usaha maksimal, konsisten dan selalu menjaga semangat, selebihnya biarkan Tuhan yang membantu memudahkan segalanya. Emak-emak di kelompok pengajian Dasa Wisma (DAWIS) memberikan contoh yang baik dalam menjaga konsistensi dan selalu menjaga semangat juang dalam menyelesaikan sampah di perumahannnya.

Kelompok Ibu-ibu tersebut memanfaatkan forum pengajian Dawis untuk membicarakan tentang persoalan sampah. Lalu, lahir gagasan agar menyampaikan permasalahan sampah ke Pak RT setempat. Supyani ditunjuk Ibu-ibu yang lain untuk menyampaikan ke pihak RT. Saat dikonfirmasi, Pak RT mengaku tidak bisa berbuat banyak karena gerobak yang biasanya dijadikan untuk mengangkut sampah sedang rusak dan tidak bisa beroperasi. Satu sisi, masalah sampah yang menumpuk di depan rumah warga harus segera diatasi. Supyani berinisiatif meminta bantuan kepada Ibu PKK agar menyampaikan kendala tersebut, dan agar segera disampaikan kepada warga, dengan meminta warga membuang sendiri sampah rumah tangganya ke tempat yang sudah disediakan. 

Karena selalu berulang, akhirnya Supyani dan pengurus DAWIS mencari solusi lain yaitu mengajukan proposal pembinaan tentang Pengelolaan Sampah kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bangkalan. Namun, sampai tiga kali, proposal yang diajukan oleh Supyani dan pengurus DAWIS tidak mendapatkan respon dari DLH. 

Sela-sela waktu menunggu respon dari pihak DLH, Supyani searching di “mbah Google” dan menemukan ide tentang “Bank Sampah”. Ide ini digagas oleh “Indonesia Gemah Ripah Loh Jinawi” di Jogya. Ada juga ide dari “Bank Sampah Malang (BSM)” di Malang. Supyani mempelajari cara-cara mengatasi sampah dengan membuat bank sampah melalui web mereka. Setelah dirasa cukup belajarnya dan paham idenya. Dengan bermodal nekat dan keyakinan yang kuat Supyani membentuk Bank Sampah yang beranggotakan 22 orang.

Setelah Bank Sampah terbentuk, Supyani mencoba lagi menghubungi pihak DLH. Akhirnya pucuk dicinta ulampun tiba, ia dipertemukan dengan Pak Yugo yang ahli dalah pengolahan sampah. Dari Pak Yugo, dan kawan-kawan mendapatkan pelatihan pembinaan pengelolaan sampah tanpa dimintai proposal karena mempertimbangkan Bank Sampah yang digagas Supyani dan kawan-kawan dianggap aktif dan produktif, dan ia merasa perlu menyampaikan keberadaan Bank Sampah milik Supyani dan kawan-kawan untuk dilaporkan kepada DLH. Kepala DLH waktu itu adalah Pak Hasan Bukhori. Seminggu kemudian, Supyani dipanggil oleh Pak Hasan dan diminta membuat komunitas yang bergerak dalam bidang pengelolaan sampah. Setelah beberapa bulan berjalan sejak terbentuknya komunitas itu, berhasil mendapatkan bantuan dari DLH berupa mesin jahit untuk kegiatan daur ulang, mesin pencacah sampah organik dan anorganik, dan dibangunkan gudang di Perumahan Lavender.   

Selain empati yang dimiliki Supyani untuk menyelesaikan problem ‘sampah’, ia mendapatkan kekuatan batin tambahan yaitu; ‘dorongan uang’. Ternyata dari sampah bisa menghasilkan uang. Keseriusan Supyani dalam menangani sampah secara konsisten, dan bekal mental yang kuat dalam menjalani sebuah pekerjaan yang masih dipandang sebelah mata oleh banyak orang menjadi kekuatan tersendiri baginya. Tanpa sadar ia telah mewujudkan dua hal, yaitu sadar bahwa pekerjaannya untuk kebaikan bersama, dan sadar bahwa yang dikerjakan akan menghasilkan uang dan keuntungan lainnya.

Tidak hanya Supyani dan nasabah bank sampahnya yang merasakan manfaat dari sampah. Warga desa Banangkah juga merasakan manfaat dari sampah. Setelah mendapatkan edukasi tentang pemanfaatan sampah organik sebagai pupuk oleh mahasiswa Universitas Turnojoyo (Unijoyo) Madura saat praktek Kuliah Kerja Nyata (KKN), warga antusias dengan ide bank sampah untuk membuat pupuk organik dan mendapatkan uang dari itu. Hanya saja, mahasiswa KKN Unijoyo berhenti diupaya desiminasi tentang manfaat bank sampah saja. Zamnurdin Ma’arif Al-Ghaffar salah satu mahasiswa KKN Unijoyo saat dihubungi oleh tim peneliti Konsensus Bhiruh Dheun, menjelaskan respon positif dari warga desa Banangkah terkait ide bank sampah. Dan menurut Zamnurdin, seandainya waktu KKN masih panjang waktu itu, kelompok KKN-nya ingin menerapkan konsep bank sampah seperti di Kota Yogyakarta. Di sana, ada salah satu kecamatan yang nyaris perkelurahan ada bank sampah dan jumlah nasabah yang banyak sekali.

Ternyata memang ada kecamatan yang bank sampahnya sangat aktif dan didukung oleh pemerintah, salah satunya di Kemantren Wirobrajan. Jumlah bank sampah 34 dengan total nasabah 617. Sebanyak 11 bank sampah di wilayah kelurahan Pakuncen dengan 195 nasabah, 10 bank sampah di kelurahan Patangpuluhan dengan nasabah 196 nasabah, dan 13 bank sampah di kelurahan Wirobrajan 226 nasabah. Bank sampah ini, diharapkan ada di setiap RT, kemudian setiap rumah sudah memilah sampah anorganik dan organik. Semua bank sampah didata oleh pemerintah setempat untuk memudahkan dalam kegiatan operasional dan dukungan anggaran maupun fasilitasi dari Pemerintah Kota Yogyakarta agar semakin menguatkan dalam menangani sampah.

Program bank sampah di Bangkalan mestinya bisa meniru Kota Yogyakarta. Dapat dijadikan program kabupaten mengingat problem sampah di Bangkalan masuk kategori akut. Menurut Supyani ada 4 bank sampah di Bangkalan yang sedang beroperasi secara mandiri, tapi kondisinya tidak begitu maksimal karena belum mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah. Padahal Anang Yulianto saat diwawancarai mengakui peran bank sampah bisa menangani ± 10% sampah di Bangkalan. Seandainya dikembangkan lebih maksimal, tentu tidak hanya membantu menangani problem sampah, melainkan juga bisa menambah pemasukan ekonomi warga Bangkalan kendati tidak seberapa nilainya.  

Dari sisi pemilik bank sampah, misalnya bank sampah milik Supyani yang sudah bisa dikategorikan lumayan karena dedikasi yang dibangun selama ini. Melalui bank sampah yang dirintis dengan teman-temannya, ia mendapatkan omset yang lumayan. Dari korversi sampah menjadi uang, ia bisa mencukupi kebutuhan keluarganya, membiayai pendidikan anak-anaknya, bahkan mampu membeli mobil. Dari penjualan bank sampah dalam satu bulan ia mendapatkan omset penjualan sampah sebesar Rp. 11.346.732,00 dari pembelian sampah senilai Rp. 6.924.900,00. Keuntungan kotor Rp. 4.421.832,00; setelah dikurangi biaya angkut Rp. 1.200.000,00; biaya kuli Rp. 1.300.000,00; total keuntungan bersih (rata-rata) berkisar Rp. 1,9 juta/bulan.

Keuntungan yang diperoleh Bank Sampah milik Supyani dan kawan-kawan, tidak terlepas dari nasabah yang berjumlah ± 300 orang.  Para nasabah juga mendapatkan keuntungan finansial walaupun tidak seberapa dengan cara menabung sampah ke bank sampah milik Supyani. Para nasabah dibuatkan buku tabungan, setiap proses penimbangan dicatat sesuai jumlah berat sampah yang ditimbang. Tabungan sampah nanti diuangkan dan dapat diambil saat menjelang lebaran Idul Fitri. Perorang beda-beda hasil tabungan sampahnya, berkisar 600 ribu hingga 1 juta. Ini diakui oleh Febriyanti Nur Aini salah satu bidan di Puskesmas Bangkalan yang menjadi nasabah sekaligus pengurus bank sampah Supyani sejak tahun 2017.

Febri mengakui kalau dilihat dari keuntungan sebenarnya sangat sedikit, pertahun ± 1 juta,  tapi sebenarnya ada hal yang lebih penting dari hanya sekedar uang yaitu menjaga kebersihan lingkungan sejak dari hulu, yaitu sampah rumah tangga. Ia meyakini bank sampah bisa mengatasi problem sampah di Bangkalan jika dikembangkan lebih luas lagi. Selaras dengan Febri, adalah Ummi Salicha salah satu Penyuluh Pertanian di Arosbaya. Ia juga sebagai nasabah dan pengurus bank sampah Supyani. “Kalau hitungannya uang jumlahnya kecil sekali. Saya sendiri hanya mendapatkan ± Rp.600.000,00 pertahun, tapi nilai lebihnya saya bisa mengedukasi diri sendiri dan keluarga agar disiplin berurusan dengan sampah”, ujarnya. Saat ditanya bentuk edukasi kepada anaknya terkait sampah, Ummi menjelaskan bahwa ia memberi saran ke anaknya agar bisa menimalisir menghasilkan sampah, misalnya saat beli sesuatu di toko yang biasanya diberi kantong plastik, selama bisa dibawa dengan tangan sebaiknya jangan mau diberi plastik. Kalau yang dibeli banyak sebaiknya membawa kantong dari rumah, agar tidak membawa sampah plastik ke rumah. Ia menambahkan, manfaat lain yang tak kalah penting adalah membuat lingkungan lebih bersih, sehingga bisa menyadarkan warga akan pentingnya kebersihan.

Pada titik ini, secara sosiologis Bank Sampah bisa berperan menjadi social enterpreneur bagi warga dalam mengedukasi, mengubah perilaku khususnya pengelolaan sampah di sumber (rumah tangga) sekaligus yang berhubungan dengan ekonomi sirkular. Sehingga melalui Bank Sampah warga tidak hanya mendapatkan manfaat lingkungan namun juga manfaat ekonomi. Menyadari peran ini, sangat wajar sejak istilah bank sampah muncul di 2008 hingga tahun 2021 data dari KLHK (Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) RI menunjukkan jumlah Bank Sampah di seluruh Indonesia sebanyak 11.556 unit tersebar di 363 kabupaten/kota. Dengan 419.204 orang nasabah, dan omset bulanan kurang lebih sebesar 2,8 miliar rupiah per Juli 2021.

Peran Bank Sampah terbukti membantu mengurangi tumpukan sampah walaupun cuma 10% dari keseluruhan debit sampah yang dihasilkan warga se kabupaten Bangkalan, yaitu 427 ton perhari. Hanya saja, bank sampah di kecamatan Bangkalan cuma 4 jumlahnya. Tentu kalau konsep Bank Sampah ini dikembangkan, maka disamping mengurangi tumpukan sampah, sisi lain mengajak warga untuk menjalankan konsep social enterpreneur (prinsip kewirausahaan) sekaligus dalam menyelesaikan masalah sampah.

Mempertimbangkan peran positifnya bagi masyarakat. Konsep Bank Sampah perlu diperhatikan dan perlu dikembangkan pengelolahannya dan memerlukan perhatian serta konstribusi dari seluruh pihak dengan mempertimbangkan sumbangsihnya dalam menjaga kelestarian lingkungan. Dengan mengoptimalkan program bank sampah akan membantu mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan memberikan dampak yang besar bagi lingkungan, khususnya yang berhubungan dengan blue green economy (BGE).[]

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 0 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Tidak Ada Makan Siang Gratis 

12 February 2024 - 13:29 WIB

Prosfektif Peningkatan Ekonomi Rakyat dari Berbagai Pendekatan, Madura Layak Jadi Provinsi

18 December 2023 - 08:20 WIB

Anomali Putusan, MK Milik Siapa ?

17 October 2023 - 14:37 WIB

Lo Punya Uang, Lo Punya Kuasa

16 October 2023 - 18:13 WIB

Pro dan Kontra Batas Usia Capres dan Cawapres

13 October 2023 - 06:00 WIB

Menyoal Komitmen KPU Dalam Menerapkan Affirmatif Action

10 October 2023 - 10:01 WIB

Trending di OPINI