Oleh. Salim*
KELAKAR, lingkarjatim.com – Akhir-akhir ini dunia pendidikan seringkali dirundung musibah, mulai dari kekerasan di lingkungan sekolah, pencabulan terhadap siswa, hingga yang baru ini kasus narkoba yang melanda salah satu pesantren (yayasan) di Bangkalan Madura, pada 22 Januari 2020. Sungguh peristiwa yang mengejutkan, sekaligus sangat disayangkan, kok, bisa-bisanya terjadi di lingkungan pesantren yang seharusnya steril dari obat-obatan terlarang, bahkan celakanya yang menjadi pengedar adalah oknum guru yang dengan gampangnya berpendapat bahwa narkoba halal karena tidak ada dalil Al-Quran yang mengharamkannya, dan lebih parahnya lagi anak didik turut menjadi konsumen, innalillahi!
Meskipun pada akhirnya diklarifikasi bahwa tersangka bukanlah tenaga pengajar pesantren melainkan hanya guru di suatu yayasan (timesindonesia.co.id/25/01/2020), hal itu bukan satu-satunya alasan bahwa dunia pesantren di Bangkalan aman-aman saja dari ancaman narkoba, justru peristiwa di atas mengindikasikan bahwa lingkungan pendidikan non-formal, seperti yayasan, pesantren, madrasah diniyah dan langgar ngaji Al-quran, sudah mulai berani disentuh oleh pihak pengedar obat-obatan terlarang, karena selain masyarakatnya masih awam terhadap narkotika dan gejala pemakainya, lingkungan tersebut masih tergolong aman bagi pecandu dan pengedar. Oleh karena itu, harus ada upaya secara tepat untuk mengatasi kekhawatiran di atas sebelum terlambat.
Dakwah
Baiklah, penulis tidak akan membahas tentang dalil keharaman narkotika atau tentang metode qiyas dan juga isthimbat hukum menurut pakar ilmu ushul fikih sebagai solusi, melainkan peran kiai sebagai figur utama di dalam dunia pesantren (Greetz: 1960: 245), bahkan di dalam mengayomi masyarakat, harus menjadi jalan keluar untuk mengatasi kepelikan ini.
Selama ini, bila diamati, materi dakwah beberapa tokoh agama, (sebagian) kiai atau guru ngaji/ustadz di Bangkalan, jarang sekali menyentuh realitas persoalan kahidupan masyarakat yang setiap harinya bekerembang tanpa diduga-duga. Dakwah di lapangan lebih banyak mengarah terhadap perdebatan aliran ini dan itu, Aswaja, Wahabi, Syi’ah dan kecaman-kecaman lainnya terhadap keberagaman pemahaman yang ada di tengah masyarakat. Padahal, pemahaman, sudut pandang aliran dan madzhab adalah ruang privat perseorangan yang tidak perlu diperdebatkan (Komarudin Hidayat: 1998: 126).
Sedangkan nahi munkar (mencegah kemungkaran) menyangkut bahaya narkotika dan sejenisnya, jarang disinggung oleh para kiai, baik di mimbar masjid, pengajian umum dan arena dakwah lainnya. Padahal, bila direnungi sejenak, narkotika dan sejenisnya adalah masalah yang amat vital (dharuriyah) yang menjadi pangkal masalah di tengah masyarakat; mulai dari pembegalan, Curanmor (Pencurian Motor), kumpul kebo tidak jelas, melawan terhadap orang tua, putus sekolah dan pencemaran terhadap mental peserta didik di sekolah atau madrasah. Dan mungkin, hal itu sudah jauh hari terjadi di masyarakat sebelum peristiwa di atas terjadi, hanya saja tidak tertangkap oleh media dan para tokoh agamapun abai.
Andai saja tokoh agama atau kiai satu langkah mengkampanyekan perang terhadap narkotika, maka pemahaman tentang sabu dan pilkoplo tidak ada dalilnya di dalam Al-Quran, tidak akan meracuni peserta didik, apalagi kalangan pemuda yang notabenenya santri. Dan secara otomatis, masyarakat akan tercerahkan dan teredukasi oleh dakwah para kiai dan pemuka agama yang memang dimakmumi sampai saat ini oleh warga Bangkalan.
Organisasi Santri
Selain mengandalkan peran kiai atau tokoh agama, para santri yang tergabung di dalam organisasi ke-santrian juga mempunyai peran. Organisasi ini efektif bila sedikit keluar dari logika mainstream (kebiasaan) yang hanya mengadakan kegiatan ceramah ubudiyah saja, ke agenda yang lebih realistis dan menyentuh terhadap persoalan narkotika yang merongrong jati diri masyarakat, karena santri hingga hari ini masih menjadi figur pemuda di tengah warga Bangkalan.
Maka, tidak ada salahnya bila santri selangkah lebih dekat untuk menularkan etika pergaulan yang sehat terhadap para pemuda. Sehingga apabila nantinya ada oknum yang mengaku kiai atau ustadz mendakwahkan narkotika hukumnya halal, maka tidak akan ditelan mentah-mentah.
Tes Urine
Pesantren ibarat bengkel bagi siapapun yang datang untuk memperbaiki diri, ada kalanya pemuda yang memasuki pesantren bukan hanya orang baik saja, bisa saja mantan narapidana dan mantan pemakai sabu, karena di jaman teknologi komunikasi yang sudah canggih ini, untuk mendapatkan barang haram tersebut bukanlah suatu hal yang sulit lagi.
Dan juga, pesantren bukanlah lembaga pendidikan yang tertutup, banyak yang berdatangan ke pesantren, mulai orang tua yang menjenguk puteranya hingga teman sepergaulan dengan alasan hanya ingin sekedar bertandang. Celah ini merupakan suatu kesempatan yang bisa dimanfaatkan oleh pihak di luar pesantren yang tidak bertanggung jawab untuk menyusupkan obat-obatan terlarang.
Sudah saatnya pesantren berbenah diri mewaspadai segala kemungkinan yang dapat mencemarkan almamater pesantren, tidak ada salahnya sebagai langkah objektif pihak pesantren mengadakan tes urine kepada semua santri demi terciptanya lembaga pendidikan yang suci, dan, tindakan itu akan lebih sempurna lagi bila di setiap sudut pesantren dilengkapi CCTV sebagai langkah preventif.
*Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, aktif di KMBY (Keluarga Mahasiswa Bangkalan Yogyakarta)
Tulisan ini adalah kiriman dari pembaca, isi tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.