18 Oktober tahun lalu, Bupati Bangkalan mendeklarasikan program Universal Health Coverage (UHC) bersama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Bangkalan.
Pada saat itu pula Bupati Bangkalan R. Abd. Latif Amin Imron mengatakan tidak boleh ada lagi masyarakat yang sakit tidak bisa berobat hanya karena tidak punya biaya karena mulai saat itu semua sudah ditanggung oleh pemerintah melalui program UHC BPJS kesehatan.
Senada, Kepala BPJS Kesehatan Madura, Munaqib juga dengan lantang beberapa kali menegaskan bahwa dengan diterapkannya program UHC di Bangkalan, pelayanan kesehatan sudah tidak membeda-bedakan strata sosial baik itu keluarga pra sejahtera maupun sejahtera.
Syarat nya pun cukup mudah, dengan hanya menunjukkan identitas kependudukan maka layak dan berhak untuk mendapatkan layanan kesehatan secara gratis di semua fasilitas kesehatan baik negeri maupun swasta yang bekerjasama dengan BPJS, tidak hanya di Bangkalan namun di seluruh Indonesia.
Kabar baik tersebut tentu mendapat respon positif dari berbagai kalangan. Masyarakat beruforia seakan merdeka dari berbagai keluhan kesulitan dan persyaratan yang kerap kali menjadi kendala di lapangan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, termasuk kesulitan administrasi maupun biaya.
Namun faktanya, kurang lebih 3 bulan program UHC diterapkan, berbagai permasalahan masih saja kerap muncul dan ditemui di lapangan.
Berbagai kemudahan yang digembar-gemborkan oleh Munaqib selaku kepala BPJS di Madura baik pada saat deklarasi maupun diberbagai kesempatan kepada media tidak ubahnya hanya lips service alias basa-basi belaka.
Mengapa demikian ?? Karena hingga saat ini masih terjadi masyarakat sakit yang harus pulang dan gigit jari karena tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan gratis melalui program UHC.
Alasannya cukup menyedihkan, hanya karena alamat KTP berbeda kecamatan dengan faskes yang dikunjungi. Lalu bagaimana dengan yang katanya di daerah manapun di seluruh Indonesia dengan menunjukkan KTP Bangkalan bisa langsung dilayani karena Bangkalan sudah UHC ?
Bahkan sedihnya lagi, petugas Faskes juga mengatakan bahwa setelah dilakukan penginputan baru akan aktif setelah 4 hari, hemmmmmm…….. gregetan memang tapi mau apa lagi, kan gak boleh anarkis, he….
Sebelumnya juga sempat terjadi bahwa jika tidak rawat inap kurang dari 24 jam walaupun UHC tetap harus bayar. Haduh … Capek deh.
Belum cukup sampai disini, setelah dilakukan konfirmasi terhadap berbagai kejanggalan tersebut, tidak ada tindakan yang menunjukkan keseriusan dari para pemangku kebijakan untuk benar-benar memperbaiki pelayanan, walaupun berbagai kejanggalan diatas jelas tidak benar dan merupakan kesalahan dari pihak faskes.
Misalnya, dengan memberikan teguran atau peringatan atau apalah itu kepada petugas yang melakukan kesalahan sebagai hukuman agar tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama untuk berikutnya, atau mungkin hukumannya bersifat internal sehingga tidak diketahui oleh masyarakat, entahlah…….
Alih-alih memberikan hukuman, yang terjadi malah pembelaan yang dilakukan, mencari celah sedemikian rupa agar kesalahan yang dilakukan terlihat kabur dan dianggap hanya sebuah keteledoran saja.
Memang, Munaqib selaku kepala BPJS Madura pada saat deklarasi program UHC yang dilaksanakan di pendopo agung Bangkalan beberapa bulan yang lalu sudah mencium aroma tak sedap ini.
Dirinya mengatakan bahwa tugas berat setelah program ini diterapkan adalah bagaimana memastikan setiap faskes bisa memberikan pelayanan terbaik sebagai ujung tombak dari pelaksana program UHC tersebut.
Dan ternyata, hal tersebut memang benar-benar menjadi tugas yang maha berat….. Karena merubah prilaku manusia memang tidak bisa langsung begitu saja, butuh waktu yang cukup lama.
Seperti yang disampaikan oleh Maxwell Maltz melalui buku Psychi Cybernetics pada tahun 1960, dia mengatakan bahwa untuk merubah prilaku atau kebiasaan buruk manusia membutuhkan waktu antara 18 hingga 254 hari, dan hal tersebut juga masih sangat bergantung pada masing-masing individu, walaupun rata-rata memerlukan waktu 66 hari.
Teori diatas tentu tidak berlaku bagi individu yang memang tidak mau berubah karena merasa sudah nyaman dengan sistem yang ada saat ini atau memang merasa apa yang dilakukan bukanlah merupakan kesalahan.
Penulis sengaja tidak mencantumkan tempat faskes dan nama petugas yang melakukan kesalahan, karena penulis memiliki keyakinan kesalahan tersebut tidak hanya terjadi di satu tempat faskes saja, hal tersebut berdasarkan informasi yang masuk kepada penulis ternyata terjadi di beberapa tempat, dengan gaya dan modus yang sama, sehingga tulisan ini bisa menjadi evaluasi bersama.
Dengan tulisan ini, penulis memiliki beberapa harapan, pertama semua individu yang menjadi petugas layanan kesehatan di masing-masing faskes bisa betul-betul berbenah, menunjukkan keseriusan dalam melaksanakan program yang sudah di deklarasikan dengan seksama oleh pemerintah kabupaten Bangkalan sebagai upaya untuk meningkatkan drajat taraf hidup masyarakat Bangkalan melalui layanan kesehatan yang menyentuh semua lapisan.
Kedua, adanya hadiah (reward) dan hukuman (panisment) bagi siapapun yang terbukti dengan sengaja melakukan kesalahan dalam melaksanakan tugasnya.
Ketiga, karena program UHC ini merupakan program Universal kolaborasi antara pemerintah Bangkalan dan BPJS maka harus ada Standar Operasional Prosedur (SOP) yang menjadi rujukan Setipa petugas Faskes dalam melaksanakan tugasnya.
Keempat, BPJS dan Pemerintah Bangkalan harus lebih masif untuk melakukan sosialisasi dengan berbagai cara yang efektif, baik dengan menggunakan media maupun tatap muka langsung di berbagai forum dengan masyarakat agar masyarakat lebih bisa memahami dan tidak mudah di “bodohi” oleh oknum petugas yang tidak mengindahkan SOP. Termasuk salah satu yang wajib dilakukan adalah menempelkan SOP tersebut diseluruh Faskes yang menerapkan program UHC di Bangkalan.
Terakhir, jika SDM dari petugas di masing-masing faskes tidak memiliki kepedulian dan nilai kemanusiaan yang tertanam bahwa tugas sebagai pelayan kesehatan merupakan tugas kemanusiaan, tentu sebagus apapun sistem, sebaik apapun SOP nya, akan sangat tidak bermanfaat apa-apa, layaknya komputer canggih namun rusak memorinya, layaknya rumah mewah tapi keropos pondasinya, layaknya mobil listrik tapi rusak batrainya, sehingga segala upaya yang dilakukan hanya ibarat mendorong mobil mogok. Maka dari itu peningkatan SDM menjadi hal yang wajib untuk dilakukan agar bisa mempelajari, memahami, dan melaksanakan setiap apa yang sudah menjadi ketentuan dalam sebuah pekerjaan.
Jika kelima upaya tersebut sudah dilakukan, sisanya kita hanya bisa berdoa, semoga ada setitik cerah untuk bisa menjadi harapan pelayanan kesehatan untuk terus lebih baik dan lebih baik lagi. Karena seyogiyanya manusia hanya bisa berusaha dan berdoa selebihnya biarlah pemilik alam semesta yang punya kuasa untuk menentukan.
*pimpinan redaksi media Lingkarjatim