Oleh: Dinara Maya Julijanti*
Dalam sebuah kehidupan, pelaksanaan pernikahan merupakan ibadah yang didambakan bagi setiap manusia. Meskipun pernikahan yang dilaksanakan tidak semua dilakukan dengan cara tradisi yang ada. Masyarakat Madura mengadakan pernikahan dengan mempertimbangkan bulan-bulan baik dan hari baik bahkan minta petunjuk para kyai yang dianggap mempunyai ilmu yang lebih mumpuni untuk mengetahui hari dan bulan baik tersebut. karena mayoritas penduduk di pulau Madura adalah agama islam umunya mereka memiliki keyakinan bahwa bulan Syawal, Dzulqo’dah, dan Dhulhijjah merupakan bulan baik untuk melangsungkan hajat pernikahan.
Untuk meramaikan hajatan pernikahan, masyarakat Madura punya tradisi tersendiri, yang biasa dikenal dengan Abhubu. Bhubu (pesse bubuhan) adalah…uang sumbangsih dalam acara resepsi pernikahan (kamus bahasa Madura). Sedangkan Abhubu adalah memberikan sejumlah uang kepada tuan rumah sebagai rasa ingin menghormati pada saat hadir ke sebuah resepsi pernikahan, bahkan sebagian orang menilai bahwa Abhubu menunjukkan nilai ekonomi atau strata sosial masyarakat Madura, Oleh karenanya biasanya dalam hajatan mantenan pemberian uang dari tamu akan dicatat oleh tuan rumah untuk kemudian dijadikan sebagai acuan apabila si pemberi nantinya memiliki hajatan.
Bagi orang Madura Abhubu atau bubhu sangatlah membawa harkat dan penghormatan, jadi apabila pernah diundang namun ternyata tidak bisa hadir… rasanya tidak menghargai/ tidak menghormati tuan rumah. Bahkan ada konsensus yang tidak tertulis, orang Madura mempunyai tradisi nompange yaitu melebihkan uang yang diberikan sebelumya kepada tuan rumah. Masyarakat Madura sangat menjungjung tinggi harga diri.
Prinsipnya orang Madura tidak mau Malo (Malu. red) dengan besaran nominal abhubu ini bahkan sebagian masyarakat Madura rela pinjam uang kepada sanak keluarga bahkan tetangga demi harga diri/ beban moril mereka dihadapan yang mengundang pernikahan.
*Salah satu dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya UTM