Oleh: Jamil Jurist* (01/05/24)
Tahapan pemilu serentak tahun 2024 kini telah memasuki tahapan penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) untuk Calon anggota DPR, DPD dan DPRD di Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan laman MK perkara PHPU yang masuk sebanyak 299, dua dari jumlah tersebut ditolak sehingga tersisa sebanyak 297 perkara.
Atas 297 perkara tersebut MK telah menggelar pemeriksaan pendahuluan. Setelah pemeriksaan pendahuluan, MK masih akan Jawaban Termohon, Keterangan Pihak Terkait dan Keterangan Bawaslu serta Pengesahan Alat Bukti Para Pihak sebelum akhirnya MK akan memutus apakah perkara tersebut lanjut dalam persidangan berikutnya ataukah tidak lanjut (dismiss).
Jika melihat Pasal 6 PMK No. 2 Tahun 2023, maka terdapat tiga tahapan penting dalam PHPU di MK, Pertama adalah pengajuan permohonan oleh pemohon. Pengajuan ini akan ditangani oleh Panitera untuk memeriksa kelengkapan permohonan. Jika dianggap tidak lengkap perkara dapat ditolak.
Kedua adalah pemeriksaan aspek formal dari permohonan yang biasanya dikenal dengan istilah dismissal process. Dalam dismissal process ini yang dinilai oleh MK adalah aspek formal dari permohonan seperti legal standing, kompetensi (Wewenang ) MK, dan juga kejelasan alur dari permohonan. Jika MK menilai permohon tidak memiliki legal standing, atau MK tidak memiliki kewenangan menangani perkara aquo, atau MK menilai alur dari permohonan tersebut tidak jelas (obscuur libel) maka MK akan memutus bahwa permohonan tersebut tidak dapat dilanjutkan, namun bila MK menilai semua aspek formal sudah terpenuhi MK akan melanjutkan ke persidangan berikutnya.
Legal Standing Pemohon
Dari aspek formal yang sering dipersoalkan dalam PHPU Calon anggota DPR dan DPRD adalah aspek legal standing pemohon. Berkaitan dengan asas hukum yang sering digunakan adalah Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah Partai Politik.
Pasal ini kemudian dikuatkan Kembali oleh Pasal 1 ayat (27) UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu). Berdasar kedua asas hukum tersebut dalam Pasal 3 PMK No. 2 tahun 2023 MK mengatur tentang legal standing pemohon sebagai berikut: a. Partai Politik Peserta Pemilu untuk pengisian keanggotaan DPR dan DPRD, b. Perseorangan calon anggota DPR dan DPRD dalam satu Partai Politik yang sama yang telah memeroleh persetujuan secara tertulis dari ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lainnya dari Partai Politik yang bersangkutan dan dinyatakan dalam permohonannya, c. Partai Politik Lokal peserta Pemilu untuk pengisian keanggotaan DPRA dan DPRK, dan d. Perseorangan calon anggota DPRA dan DPRK dalam satu Partai Politik Lokal yang sama yang telah memeroleh persetujuan tertulis dari ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lainnya dari Partai Politik Lokal yang bersangkutan dan dinyatakan dalam permohonannya.
Dalam PMK tersebut masih memungkinkan perseorangan calon anggota DPR/DPRD mengajukan permohonan PHPU sendiri meskipun harus menyertakan persetujuan tertulis dari Partai Politik pengusungnya. Pengaturan legal standing dalam PMK tersebut, sebenarnya sudah lebih progresif daripada ketentuan legal standing yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 Tentang MK karena dalam Pasal 74 hanya Partai Politik yang memiliki legal standing mengajukan permohonan PHPU.
Perluasan legal standing dari Partai Politik ke Perseorangan untuk calon anggota DPR/DPRD ini sudah ada sejak pemilu tahun 2009 yaitu diatur dalam Pasal 2 PMK No.1 Tahun 2014, namun dalam PMK tersebut, masih diharuskan Partai Politik yang mengajukan permohonannya.
Lalu menjadi lebih longgar dalam pemilu tahun 2019 dan pemilu tahun 2024, karena dalam kedua pemilu tersebut perseorangan dapat mengajukan sendiri permohonannya meskipun masih “diharuskan” menyertakan persetujuan tertulis partai politik. Dari kronologi perluasan legal standing, MK telah menjembatani kebutuhan hukum (rechtsvinding) atas peristiwa yang sering terjadi di lapangan, dimana perselisihan hasil pemilu yang banyak terjadi bukan antar calon DPR/DPRD di Partai Politik yang berbeda tetapi justru antara Calon DPR/DPRD di Partai Politik yang sama.
Namun demikian, terobosan hukum (rechtsvinding) yang telah diberikan MK tersebut masih belum mampu menyelesaikan masalah secara tuntas, karena di lapangan banyak yang memanfaatkan surat persetujuan Partai Politik untuk menjegal competitor se-Partainya agar tidak memiliki legal standing dalam mengajukan permohonan PHPU di MK. Atas dasar itu penulis berpendapat bahwa MK perlu menafsikan status legal standing secara lebih fleksibel (lentur) dengan mempertimbangkan hal-hal berikut ini.
Keterpilihan Anggota DPR/DPRD dan kekuasaan Pertai Politik.
Secara normatif, Pasal 1 UU Pemilu memaknai pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota DPRD, yang dilaksanakan secara LUBER dan JURDIL dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pemilu pada hakikatnya berkaitan erat dengan hak memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be a candidate). Keduanya merupakan bagian dari Hak Konstitusional Warga Negara (HKWN) yang dijamin oleh UUD 1945 (Jimly Asshiddiqqie, 2010), dan bahkan menurut Baumi Syaibatul Hamdi, (2018) Hak memilih (right to vote) dan hak dipilih (right to be a candidate) seharusnya merupakan hak yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights).
Artinya keterpilihan seorang calon anggota DPR dalam pemilu murni harus didasarkan pada pemberian hak memilih oleh para pemilik DPT (daftar pemilih tetap) pada saat proses pencoblosan dan tidak dapat dikurangi sekalipun oleh kekuasaan Partai Politik. Logika tersebut, segaris (inline) dengan Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 yang menentukan keterpilihan Calon anggota DPR/DPRD berdasarkan suara terbanyak (Proporsional Terbuka).
MK sebagai Pelindung Hak Pilih dan Hak dipilih
Sengketa dalam PHPU, hakikatnya adalah sengketa dalam ranah hukum public, bukan sengketa yang ada dalam ranah hukum privat (Perdata). Hal tersebut terkonfirmasi dari kesamaan karakter antara sengketa administrasi negara dengan PHPU di MK. Objek sengketa (Perselisihan) dalam PHPU di MK adalah Keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah (KPU) yang dikenal dengan istilah beschikking.
Atas dasar itu penyelesaian atas sengketa tersebut lebih familiar dengan istilah Perlindungan hukum daripada penegakan hukum (rechtsbescherming van de burgers tegen de overheid/legal protection of the individual in relation to acts of administrative authorities).
Implikasi dari penggunaan istilah perlindungan hukum tersebut, MK diharapkan lebih aktif dalam memberikan perlidungan kepada pemohon baik dari tindakan penyalahgunaan kewenangan (obuse of power) penyelenggara pemilu maupun dari belenggu kekuasaan Partai Politik. Lebih dari itu, MK juga diharapkan menerapkan teori dominus litis dalam membuktikan adanya kecurangan dalam pemilihan umum. Dengan kata lain, MK sebagai pengawal konstitusi (The Guardian of The Constitution) menjadi tumpuhan dan harapan bagi terwujudnya keadilan pemilu.
*Dosen FH Ubhara dan Pengurus APHTN-HAN Jatim