Akhir-akhir ini masa jabatan kepala desa mulai diprotes oleh sebagian kepala desa yang merasa pengaturan masa jabatan 6 tahun perlu ditambah menjadi 9 tahun. Isu ini menjadi perhatian para elites politik khususnya beberapa partai politik di lembaga legislatif yang merespon positif tuntutan itu dengan cara mengawal agar revisi UU Desa masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas Prioritas) 2023.
PDI Perjuangan yang sebelumnya sangat konsisten menolak perpanjangan masa jabatan presiden dan menolak penundaan pemilu juga mendukung usulan itu.
Presiden Joko Widodo menyetujui usulan masa jabatan kepala desa (kades) selama sembilan tahun dengan alasan perpanjangan karena pemilihan kades membuat polarisasi di tingkat desa cukup berkepanjangan sehingga dengan memperpanjang masa jabatan menjadi 9 tahun, maka diharapkan pembangunan desa menjadi lebih maksimal.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar (23/01/23) mengatakan, “mengubah masa jabatan kepala desa bukan merupakan perkara sulit.” Argumentasi yang dibangun adalah penambahan masa jabatan menjadi sembilan tahun tidak akan memengaruhi total masa jabatan secara keseluruhan. Hanya bedanya, kalau ditambah (masa jabatan) menjadi sembilan tahun berarti hanya dua periode, yang sebelumnya bisa sampai tiga periode.
Dukungan dari legislatif dan eksekutif mempunyai peran besar dalam memuluskan perubahan UU desa. Kekuatan politik elites desa nampaknya menjadi momok politik menakutkan bagi pembangunan demokrasi local sekaligus menjadi instrumen politik yang efektif bagi kelompok kepentingan yang akan berkompetisi khususnya dalam pemilu 2024.
Dengan dukungan politik yang luar biasa itu, pengesahan perubahan UU Desa hanya menunggu waktu setelah ada pembahasan dan persetujuan antara pemerintah dan DPR.
Tentu dukungan elites politik di tingkat nasional menjadi angin segar bagi elites politik lokal dengan bertemunya kepentingan dalam melanggengkan kekuasaan lebih lama walaupun tidak bisa dikatakan kekuasaan absolut untuk saat ini karena pastinya inkonstitusional.
Akan sangat berbeda jika yang menuntut perpanjangan masa jabatan adalah presiden akan langsung bertentangan dengan UUD 1945 pada Pasal 7, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
Berbeda dengan masa jabatan kepala desa yang diatur dalam UU Desa pada Pasal 39 Ayat 1 UU Nomor 6 Tahun 2014, dengan lama masa jabatan kepala desa adalah enam tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.
Pertanyaannya, apakah polarisasi dan konflik di desa yang disebabkan oleh pemilihan kepala desa menjadi alasan mendasar dari isu perpanjangan masa jabatan atau sengaja dimunculkan untuk menyembunyikan agenda terselubung di balik itu? Mungkin elites politik lupa bahwa pemilu itu adalah arena kontestasi yang pastinya menjadi konflik yang terlembaga. Jadi mengapa harus ambigu dengan konflik?
Belajar dari Masa Lalu
Presiden Soekarno dengan demokrasi terpimpin menjabat selama 22 tahun. Presiden Soeharto menjabat 32 tahun di masa orde baru hingga terpaksa harus lengser setelah ada Gerakan reformasi mahasiswa 1998 yang diawali oleh krisis moneter.
Sejarah itu menjadi pengalaman kelam tetapi berharga dalam perjalanan demokrasi. Kekuasaan yang absolut dan terlalu lama cenderung represif, otoriter dan cenderung korup. Bahkan sebelumnya, di abad 18 fenomena ini sudah menjadi kredo khususnya bagi pemerhati politik, “Power tend to corrupt absolute Power Corrupt absolutely.”
Upaya melanggengkan kekuasaan menjadi sangat wajar bagi setiap pihak yang berkuasa termasuk dalam memperpanjang masa jabatan baik seperti perpanjangan periode masa jabatan atau waktu masa jabatan yang saat ini digulirkan melalui aksi kepala desa. Bagaimana dengan kebebasan dan hak politik dan sipil yang harus dijamin oleh negara melalui pelembagaan demokrasi untuk mencegah kekuasaan yang cenderung otoriter dan korup melalui pembatasan masa jabatan pejabat publik yang dipilih oleh rakyat?
Sebelum ada UU Desa, demokrasi politik desa tidak berjalan dengan baik. Walaupun masa jabatan kepala desa sudah selesai, kenyataannya banyak kepala desa yang menjadi pejabat sementara agar bisa tetap berkuasa dan memerankan diri sebagai kepala desa dengan cara mendapatkan surat keputusan dari pemerintah daerah setempat. Tentu dalam pelaksanaannya sangat berpotensi KKN.
Bahkan di sebagian daerah, beberapa kepala desa menghalang-halangi terselenggaranya pemilihan kepala desa yang sudah habis masa jabatannya karena tidak ingin ada yang mengusik kekuasaan baik dengan cara halus dengan membujuk atau memberikan kemudahan-kemudahan dalam pengurusan keperluan warga maupun dengan cara kasar seperti ancaman-ancaman mental dan fisik.
Untuk membuka pemilihan kepala desa, warga desa tidak mudah dan harus memperjuangkannya melalui aksi yang tidak menutup kemungkinan terjadi pertikaian fisik karena lemahnya pengaturan pemilihan kepala desa antara kelompok yang menginginkan perubahan kepemimpinan dan pendukung kepala desa yang tidak ingin diusik kekuasaannya. Fakta empiris itu tentu tidak bisa diabaikan dalam merumuskan regulasi yang berdampak luas bagi masyarakat.
Dengan logika sederhana, jika presiden saja dengan tugas dan wewenang yang sangat besar secara sektoral dan kewilayahan mempunyai masa jabatan hanya 5 tahun mengapa kepala desa yang secara teritorial jauh lebih kecil harus melampui masa jabatan presiden?
UU Desa dan Prospek Pelembagaan Demokrasi Lokal
Enam tahun masa jabatan kepala desa merupakan waktu yang lebih dari cukup melebihi masa jabatan presiden walaupun dengan sektor dan kewilayahan yang jauh lebih kecil. Apalagi dengan adanya dana desa dan penguatan kelembagaan desa dapat mengakselerasi pembangunan desa melalui peningkatan social ekonomi desa, pengembangan inovasi pendirian BUMDes dan pemberdayaan masyarakat desa. Itu bisa dibuktikan secara empiris sebagai perbandingan lima tahun pembangunan desa sebelum adanya UU Desa dengan lima tahun pasca pemberlakuannya. Bahkan secara politik, pemilihan kepala desa yang awalnya penuh ketidakpastian mulai diperbaiki dengan pemilihan kepala desa secara periodik dan serentak sehingga memberikan pendidikan politik bagi rakyat.
Sebaliknya, kekuasaan dijadikan tantangan untuk memberikan yang terbaik di waktu yang relatif singkat dengan tidak menghilangkan spirit demokrasi yaitu kekuasan dari, oleh dan untuk rakyat sehingga kekuasaan harus dibatasi dari sisi kewenangan dan waktu. Walaupun banyak yang perlu diperbaiki dalam implementasi UU Desa, wajah pembangunan desa sudah banyak berubah.
Apakah dengan perubahan masa jabatan kepala desa akan mendukung atau membawa kemunduran bagi pembangunan desa? Dengan kata lain, apakah isu perpanjangan masa jabatan kepala desa merupakan isu yang sengaja digulirkan oleh elites politik yang berdampak besar bagi perubahan desa atau hanya kompromi kepentingan elites untuk melanggengkan kekuasaan lebih ‘lama’ dari sebelumnya? Mari simak Bersama perkembangannya.
*Alumni Magister Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya, Pemerhati Sosial-Politik dan Kebijakan Publik