Oleh: Jamil*
Batasan Usia Calon Wakil Presiden menjadi viral seiring dengan permohonan uji materi (judicial review) Pasal 169 huruf q UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang membatasi usia Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden paling rendah 40 tahun. Pasal tersebut merupakan amanah dari Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 yang menyerahkan kepada pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) untuk mengatur syarat-syarat calon preisden dan wakil presiden melalui undang-undang.
Atas dasar itu pula banyak kalangan ahli hukum yang mengatakan bahwa MK tidak memiliki kewenangan untuk merubahnya, karena konstitusi sudah menyerahkannya kepada pembentuk undang-undang (open legal policy). Dengan kata lain, MK tak perlu ikut-ikutan menjadi Lembaga pembentuk undang-undang karena kewenangan MK hanya sebatas membatalkan undang-undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi (negative legislator).
Namun demikian, masih banyak kalangan masyarakat yang ragu atas konsistensi MK menfungsikan dirinya sebagai negative legislator serta menjadikan pengaturan batas usia Capres dan Cawapres sebagai Open legal policy. Keraguan tersebut setidaknya karena beberapa alasan baik yang bersifat normative maupun empiris. Alasan yang bersifat normative, dintaranya adalah:
MK sering tidak konsisten dalam menerapkan konsep open legal policy seperti yang terjadi dalam judicial review atas Pasal 29 huruf e UU KPK yang mengatur batas usia pimpinan KPK, meskipun hanya digugat oleh seorang wakil ketua KPK yaitu Nurul Gufron dan hanya dapat dimanfaatkan oleh penggugat (Pemohon) seorang yang tentunya bertentangan dengan prinsip erga omnes yang menjadi karakter dari setiap putusan MK (Putusan No. 112/PUU – X X/2022).
MK juga sering tidak konstisten dalam memfungsikan dirinya sebagai Lembaga negative legislator. Seperti yang terjadi dalam putusan Nomor 12/PUU-XXI/2023 dimana MK telah mengatur syarat pencalonan anggota DPR yang pernah melakukan tindak pidana dengan ancaman lima tahun atau lebih.
Sedangkan alasan yang bersifat empiris adalah, posisi ketua MK yang nyata-nyata merupakan Paman dari Gibran Rakabuming Raka yang tak lain Walikota Solo yang digadang-gadang akan menjadi calon Wakil Presiden dari Prabowo Subianto yang didukung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM). Relasi kekeluargaan ini menjadikan banyak kalangan ragu terhadap independensi MK dalam memutus judicial review atas Pasal yang mengatur batasan usia Capres dan Cawapres.
Filosofi Usia 40 Tahun
Penulis tidak memiliki data mengenai perdebatan antara pembentuk undang-undang pemilu (resio legis) selama membahas batas usia calon presiden dan wakil presiden (law making process), akan tetapi kalau dalam literatur islam usia 40 tahun merupakan usia yang sangat bersejarah karena pengangkatan Muhammad sebagai Nabi diusia 40 tahun.
Usia 40 tahun juga temaktub secara expressis verbis sebagai usia dewasa (Al-Ahqoof ayat 15).
Namun bukan tidak mungkin MK berpandangan berbeda, mengingat tranformasi zaman sudah sangat berubah dibandingkan dengan zaman dimasa Nabi Muhammad. Ukuran kedewasaan seseorang tidak bisa dipatok secara paten diukuran 40 tahun karena perubahan peradaban juga ikut berkontribusi dalam membentuk tumbuh kembangnya seseorang.
Bahkan dalam Naskah Akademik UU Pemilu yang ditulis oleh Kemeterian Dalam Negeri hanya mensyaratkan sekurang-kurangnya 35 tahun dan Naskah Akademik yang diajukan oleh Perludem hanya 31 tahun setara dengan syarat batas usia Kepala Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Sehingga sangat mungkin MK mengabulkan judicial review atas batas usia capres dan cawapres.