Urgensi SE Nomor 5 Tahun 2022
Untuk mengukur urgensitas dari penormaan hukum, maka teori yang disampaikan oleh Friedrich Karl Von Savigny sangat relevan yang dikenal dengan teori volkgeist. Savigny berpendapat bahwa mempositifkan hukum yang hidup dimasyarakat harus memperhatikan keadaan masyarakat pula. Artinya kondisi sosial masyarakat lah yang harus menjadi inspirasi bagi pejabat berwenang untuk mengeluarkan aturan.
Kondisi sosial yang memerlukan aturan tentunya kondisi yang apabila tidak diatur akan berpotensi terjadi ketidak teraturan (disorder), meskipun tidak semua aturan diorientasikan untuk mengatur keadaan masyarakat, tetapi ada juga aturan yang dibuat untuk menjalankan wewenang penyelenggara negara, itulah aturan yang bersifat administratif.
Beranjak dari teori savigny diatas, maka kasus Meiliana dapat mengingatkan kita akan pentingnya aturan penggunaan pengeras suara di Masjid maupun Mushalla. Karena komplain Meiliana terhadap Takmir Masjid kala itu berakibat pada aksi pembakaran dan pengrusakan beberapa vihara dan kelenteng di sumatara utara. Oleh karenanya, SE yang dikeluarkan oleh Gus Menteri dapat menjadi pedoman bagi penggunaan pengeras suara di Masjid dan Mushalla untuk menghindari komflik berbau sara terulang kembali.
SE No. 5 Tahun 2022 hanya bersifat mengatur tanpa ada ancaman sanksi bagi siapapun yang melanggarnya. SE tersebut hanya memerintahkan kepada struktural kementerian agama untuk melakukan pembinaan dan pengawasan, artinya penegakan hukumnya tidak bersifat punitif tetapi persuasif. Bagi pedesaan dan kampung-kampung yang tidak merasa terganggu dengan suara keras dari Masjid atau Mushalla, maka masih bisa menggunakan pengeras suara dengan berpedoman pada SE Nomor: B.3940/DJ.III/Hk.00.7/08/2018 , selama aturan yang dipedomani tidak bertentangan dengan SE No.5 tahun 2022. Semoga mencerahkan dan mengakhiri perdebatan yang hanya akan merusak persatuan.
*Akademisi Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya