Beberapa hari terakhir ini, berbagai platform media sosial gaduh karena pro dan kontra atas Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan Kemeterian Agama yang pada pokoknya mengatur tentang penggunaan pengeras suara di Masjid dan Mushalla. Kegaduhan menjadi semakin tak terkendali pasca keluar pernyataan Gus menteri yang “membandingkan” suara Toa dengan gonggongan anjing, yang kemudian ditafsiri oleh sebagian kelompok bahwa Gus menteri telah membandingkan suara azan dengan gonggongan anjing.
Tulisan ini tidak hendak ikut terseret dalam membicarakan pernyataan Gus Menteri apa lagi memframingnya untuk tujuan-tujuan tertentu, karena hal itu sudah melenceng dari substansi isi SE itu sendiri, tetapi tulisan ini hendak membahas tentang kedudukan SE dalam peraturan perundang-undangan, Muatan SE No.5 Tahun 2022 dan Urgensi SE No.5 tahun 2022.
Kedudukan SE dalam Peraturan Perundang-Undangan
Produk hukum dalam jenis SE banyak digunakan oleh pemerintah sebagai instrumen menjalankan tugas dan wewenangnya. Isi dari SE biasanya mengatur tentang hal-hal yang tidak diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan dan daya ikatnya tidak secara langsung tetapi memeliki relevansi hukum.
SE juga sering digunakan untuk mengatur hal-hal yang menyangkut aktivitas dalam lembaga yang dipimpimnya sehingga daya ikatnya hanya berlaku untuk organ dan individu yang masih dalam kekuasaannya. Demikian juga, untuk mengatur hal-hal yang bersifat mendesak (diskresi), pemerintah sering mengeluarkan kebijakan dalam jenis SE.
Banyak istilah yang digunakan untuk mengidentifikasi produk hukum dalam jenis SE diantaranya adalah Beleidsreges, Policy Rules (Aturan Kebijakan) dan Pseudo Wetgeving (Perundang-Undangan Semu). Aturan kebijakan atau Perundang-Undangan Semu memang tidak harus berjenis SE, karena memang tidak ada aturan yang menentukan jenis hukum apa yang harus digunakan dalam membuat Aturan Kebijakan, tetapi dalam praktek ketata pemerintahan yang paling sering digunakan adalah produk hukum dalam jenis SE.
Terdapat banyak perbedaan antara aturan dalam jenis Aturan Kebijakan dengan Peraturan Perundang-Undangan pada umumnya. Peraturan Perundang-Undangan teknis pembentukannya dan juga jenisnya diatur dalam UU. No. 12 Tahun 2011, sedangkan Aturan Kebijakan belum ada pedoman legal yang secara lengkap dapat dijadikan dasar dalam pembentukan maupun menentukan jenisnya. Peraturan Perundang-Undangan manakala terdapat kesalahan, dapat digugat dipengadilan melalui mekanisme judicial review sedangkan Aturan Kebijakan tidak ada pengadilan yang diberi kewenangan untuk mengujinya.