Bagi saya, itu adalah kekejian sebab di saat Herman sudah tak berdaya, masih “dihajar” lagi dengan peluru.
Anggota Polisi yang melakukan penembakan itu, sepertinya tidak memahami secara detil tentang penggunaan senjata api sesuai Perkapolri 08/2009 tentang Implementasi Prinsip dan standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian RI. Di Perkapolri ini, jelas diatur bahwa senjata api hanya digunakan dalam keadaan terpaksa dan untuk mencegah, menahan dan/atau menghentikan suatu kejahatan.
Herman sudah terkapar di aspal, terhenti dari tindakan apa pun dan tidak mengancam siapa pun, eh, malah “dihajar” lagi dengan peluru sampai kepalanya tersungkur di aspal.
Di dalam Perkapolri 01/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, pun diatur soal senjata api boleh digunakan bila dalam kondisi sangat terpaksa. Itu artinya, senjata api tindakan paling akhir dan situasinya sudah sangat memaksa dan betul-betul darurat.
Kini, setelah semuanya bergulir, yang perlu menjadi fokus perhatian dan perlu dilakukan pengawalan adalah, pemeriksaan Div. Propam POLDA Jatim terhadap Anggota Polres Sumenep yang terkonfirmasi melakukan penembakan terhadap Herman itu. Kepolisian harus transparan dalam menjelaskan hasil pemeriksaan terhadap anggotanya tersebut.
Saya rasa, polisi yang melakukan penembakan, utamanya atas penembakan setelah Herman terkapar di atas aspal, harus diseriusi. Sebab, hal itu, menurut saya, bukanlah pencegahan dengan melumpuhkan terduga pelaku kejahatan, tapi tindakan yang dapat saya duga sebagai upaya pembunuhan terhadap Herman yang diduga begal.
Hukum harus betul-betul ditegakkan walaupun langit runtuh. Memang, menegakkan hukum terhadap anggota sendiri tidak mudah, tapi harus dilakukan untuk pelajaran ke khalayak publik, bahwa hukum di republik ini berlaku untuk semua, tidak hanya untuk rakyat jelata dan lemah seperti Herman.