Oleh : Jamil*
Batasan usia calon dalam pemilu, kembali ramai menjadi pembicaraan. Polanya pun tak jauh berbeda dengan pemilu nasional tahun 2024 kemarin, yaitu dimulai dengan adanya permohonan judicial review (agar mudah difahami selanjutnya saya gunakan kata umum yaitu gugatan) ke pengadilan. Dalam tahapan pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang sudah hampir separuh berjalan ini, objek gugatannya adalah Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU No. 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Keempat Atas PKPU No. 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
Karena objek gugatannya aturan dibawah undang-undang maka gugatan diajukan ke Mahkamah Agung (MA) sebagai pengadilan yang berkompeten menguji aturan yang hierarkinya ada di bawah undang-undang (Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, Jo. Pasal 20 ayat (2) huruf b UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Terhadap gugatan tersebut, MA tetap berpatokan pada batas usia ideal bagi calon kepala daerah (cakada) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016, yaitu 30 tahun untuk cakada Provinsi dan 25 untuk cakada Kabupaten/Kota. Namun keterpenuhan batas usia ideal tersebut oleh MA diubah dari yang semula dihitung sejak ditetapkan menjadi sejak dilantik. Artinya mundur beberapa bulan dari ketentuan yang ditetapkan oleh KPU melalui PKPU No. 9 Tahun 2020.
Atas putusan MA ini banyak kalangan yang mensinyalir adanya motif politik (Judicial Politicization). Sinyalemen tersebut didasarkan pada beberapa keanehan diantaranya adalah, MA memutuskannya sangat cepat yaitu tiga hari sejak adanya permohonan, Permohonan inline dengan issu pencalonan ketum PSI (Kaesang Pangarep) yang tak lain anak kandung Presiden, yang mengajukan gugatan adalah Ketum Partai Garuda (Ahmad Ridha Sabana) yang tak lain adik Kandung salah satu pimpinan Partai Gerindra (Reza Patria), memiliki pola yang sama dengan putusan MK Nomor 90 Tahun 2023. Berdasarkan beberapa indikator tersebut banyak yang meyakini adanya politisasi peradilan (judicial Politicization) atas putusan MA aquo.
Perspektif Normatif
Bila hanya bersandar pada aspek normative ansich, maka akan sangat mudah menemukan alasan pembenar atas putusan MA tersebut. Pertama, dari aspek kewenangan. MA memang memiliki wewenang menguji peraturan dibawah undang-undang. Kedua, aspek substansi yaitu dasar pertimbangan MA atas gugatan aquo. Dasar pertimbangan hukum dalam putusan aquo dapat diterima baik dari segi teori maupun logika hukum, meskipun ada yang memberi catatan karena MA menjadikan UUD 1945 sebagai batu uji, padahal seharusnya MA cukup menguji peraturan dibawah undang-undang ke undang-undang saja.
Disamping itu, dasar UUD 1945 khususnya Pasal 6 ayat (2) yang dijadikan batu uji dengan mendalilkan bahwa penghitungan seseorang menjadi pejabat, adalah ketika dia sudah definitive memegang jabatan di lembaga tertentu -sehingga hal tersebut, menjadikan MA memiliki pandangan bahwa batas usia seseorang seharusnya dihitung semenjak dia memegang dan menjalankan wewenang sebagai pejabat negara (sejak dilantik)- adalah logika yang terkesan sangat dipaksakan dan dihubung-hubungkan.
Penulis sendiri dapat memahami mengapa KPU menghitung sejak mendaftar atau sejak ditetapkan sebagai calon, karena KPU perlu memastikan bahwa cakada sudah memenuhi syarat batas minimal usia sejak dalam tahapan pendaftaran bukan setelah tahapan pendaftaran. Hal tersebut sudah sangat lumrah di berbagai pendaftaran pengisian jabatan ataupun pendaftaran pencarian pekerjaan dan bukankah syarat itu memang harus selalu ada sebelum hal yang dipokok dilaksanakan? Ketiga, aspek legal standing dan objek gugatan, Penggugat adalah Partai politik peserta pemilu yang tentunya memiliki hak untuk ikut mencalonkan cakada dan objek gugatan adalah peraturan yang hierarkinya berada di bawah undang-undang.
Beranjak dari tiga aspek tersebut putusan MA tidak memiliki problem normative. Namun bila orang hukum hanya menggunakan perspektif normatif dalam membaca isu-isu hukum yang berkembang, maka betapa sempit dan sederhananya ilmu hukum itu dan bagaimana ilmu hukum dapat diharapkan memperbaiki hukum manakala cara pandangnya hanya berkutat pada aspek normatif saja? oleh karena itu perlu ada upaya memperluas perspektif dalam membaca isu-isu hukum yang berkembang.
Perspektif Realisme Hukum
Perspektif ini diajarkan oleh guru besar Universitas Brawijaya yaitu Muhammad Ali Safa’at melalui naskah pidato pengukuhan guru besarnya. Realisme hukum tentunya berbeda dengan fakta hukum, karena fakta hukum identic dengan bukti-bukti dalam persidangan sedangkan realisme hukum adalah suatu pola dan kondisi sosial politik yang ikut mempengaruhi kebijakan hukum.
Oleh karena itu dalam perspektif ini hukum tidak dibatasi hanya pada norma (hukum positif), teori dan konsep hukum saja, namun juga meliputi pola dan kondisi sosial politik di mana norma tersebut dibentuk dan berlaku serta saling mempengaruhi. Atas dasar perspektif ini menjadi sangat wajar manakala keanehan-keanehan dalam putusan MA sebagaimana telah dijelaskan di atas, dijadikan variabel oleh para ahli hukum (Jurist) untuk mencurigai adanya proses yang menyimpang dalam putusan tersebut (Judicial Politicization).
Beranjak dari perspektif tersebut, seorang jurist harus memperluas dan mempertajam analisis hukumnya tidak hanya melihat fakta hukum, perbuatan hukum, produk hukum (hukum positif) serta teori dan konsep hukum saja tetapi juga harus dilengkapi dengan mempertimbangkan realisme hukum yang ada. Seorang jurist juga harus berani bersuara dan menyatakan bahwa hal tersebut merupakan salah satu problem hukum yang harus dicarikan solusinya. Dengan demikian, seorang jurist akan mampu melihat adanya politisasi peradilan (Judicial Politicization) dalam sebuah putusan peradilan (David L.Weiden, 2010).
*Dosen FH Ubhara dan Mahasiswa Program Doktor Universitas Brawijaya