Riwayat kebangsaan Indonesia tidak akan pernah bisa dilepaskan dari dedikasi kaum santri. Bahkan sebelum republik ini berdiri, kaum santrilah yang menyemai bibit-bibit yang berbuah menjadi kebangsaan Indonesia. Hal itu tertoreh dalam riwayat kebangsaan kita, saat Ulama’ Madura Bangkalan, yakni Syaichona Moh Cholil menjadi guru dari pilar keislaman moderat di Indonesia.
Dari ujung Barat Pulau Madura (Bangkalan) Kyai Moh. Kholil menggembleng santri-santrinya yang diantaranya adalah KH Hasyim Asy’ari sebagai pendiri NU. Sejarah ini adalah gerbang pembuka tumbuhnya spirit kebangsaan yang bersanding dengan perawatan etos kesantrian yang toleran dan merangkul seluruh elemen kebangsaan.
Dalam konteks hari santri ke-7 yang dirayakan pada hari ini (22 Oktober tahun 2022) persandingan antara membangun jiwa kebangsaan dan spirit kesantrian perlu ditegaskan kembali. Mengingat Indonesia saat ini tengah memasuki pusaran politik menuju Pilpres 2024, yang salah satu tantangannya ialah merebaknya antagonisme politik identitas.
Kelapangan hati dalam menerima segenap perbedaan atau sikap tasamuh dalam khasanah adab kesantrian menjadi energi utama dalam membendung benturan antar golongan yang dapat membelah kebangsaan kita. Namun demikian menyemai sikap tasamuh dalam kancah kebangsaan tidak dapat dikerjakan dalam waktu semalam. Oleh sebab itu dibutuhkan perhatian segenap elemen anak bangsa untuk menyuburkannya dengan memberi perhatian terhadap pesantren, sebagai pusat edukasi nilai-nilai kesantrian dalam ruang kebangsaan kita.
Edukasi Kemanusiaan Pesantren
Apabila pendiri republik kita Presiden Sukarno menyatakan,”My nationalism is humanity” atau kebangsaanku ialah kemanusiaan, maka dalam perjalanan praktikalnya ajaran-ajaran para kyai dalam adab kesantrianlah yang kerapkali memberikan makna nilai-nilai humanitas dalam kiprah kebangsaan kita.
KH Hasyim As’ari pendiri NU misalnya menyerukan Resolusi Jihad untuk menggerakkan kaum santri dan seluruh rakyat Indonesia untuk mengusir Belanda yang hendak menjajah lagi. Esensi dari semangat itu menegaskan bahwa hanya dalam suasana kemerdekaan kita, maka nilai-nilai kemanusiaan dan usaha rakyat untuk mengembangkan kemanusiaannya dapat terealisasi. Untuk memperjuangkannya, kalangan santri bersedia mengorbankan dirinya bagi kemanusiaan warga Indonesia dengan ridho Allah SWT.
Kearifan seperti ini setara dengan ujaran pahlawan India yakni Mahatma Gandhi dalam Nasionalism v. Internationalism, “perjuanganku dan rakyat India bukanlah dituntun kebangsaan yang picik, melainkan untuk kemerdekaan India yang didalamnya nilai-nilai kemanusiaan bersemi dan dapat memberi sumbangsih lebih besar bagi kemanusiaan, maka itu nyawa dari pendukung kemerdekaan India akan kami korbankan”.
Baik KH Hasyim Asy’ari maupun Mahatma Gandhi adalah inisiator pendidikan spiritual di negerinya masing-masing. KH Hasyim Asy’ari dalam bimbingan Kyai Syaikhona Moh. Kholil Bangkalan mengembangkan pesantren untuk menggembleng akhlak dan pengetahuan bagi kalangan santri Muslim, sementara Mahatma Gandhi mengembangkan Ashram (institusi Pendidikan tempat penggemblengan spiritual dan pengetahuan bagi kalangan muda Hindu). Di Indonesia nilai-nilai kebangsaan tasamuh diterangi oleh produksi pengetahuan dan adab pesantren, sementara di India nilai-nilai kebangsaan manusiawi disinari oleh ajaran-ajaran dari Ashram.
Kiprah pesantren dalam memperjuangkan nilai-nilai kebangsaan yang terbuka terus berlanjut. Ketika Indonesia berada pada posisi kritis dalam detik-detik awal kelahirannya, KH Wahid Hasyim sebagai representasi dari wakil kelompok Islam dalam BPUPKI menjadi penengah dengan kelapangan hati bersedia untuk kata Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya diganti dengan kata Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu membuktikan bahwa tokoh santri bersedia mengganti politik formalisme menuju politik substansi bagi tumbuhnya kebersamaan diantara warga Indonesia tanpa membedakan satu dengan yang lainnya.
Komitmen nilai-nilai kesantrian yang berpijak pada bumi ajaran pesantren dalam membimbing perjalanan kebangsaan kita terus berlanjut. KH Abdurrahman Wahid menorehkan kembali tinta emas sumbangan adab kesantrian dalam perjalanan demokrasi kita. Adab santri itu mewujud dalam nilai-nilai pluralisme kewargaan, perlindungan HAM terhadap mereka yang rentan dan keadaban politik yang menjadi nafas utama bagi demokrasi kita.
Menuju Pilpres 2024
Lukisan indah dalam kanvas kebangsaan kita penting tidak saja untuk dikenang tapi juga diamalkan dalam tahun-tahun penentuan menuju Pilpres 2024. Pelajaran politik yang kita hadapi semenjak prosesi elektoral Pilpres pada tahun 2014 sampai Pilpres 2019 memperlihatkan antagonisme politik identitas yang mengeras.
Fenomena tersebut berpotensi menghantam tenun kebangsaan yang telah disumbangkan rangkaian pengabdian adab santri pada tanah air kita. Dalam konteks adab santri, momen politik seperti ini membutuhkan apa yang selalu diajarkan oleh para kyai yaitu kemampuan Hifdzul Qolbi (menjaga hati) dan Ibda’ Binafsik (introspeksi diri).
Secara konkret dalam badai benturan politik identitas, adab ini mewujud pada kesadaran bahwa politik identitas itu tidak selalu bermakna buruk, namun akan menjadi buruk ketika mereka yang berpolitik atas nama identitas misalnya menjadikan kalangan yang lain sebagai musuh yang harus dihabisi. Politik dalam pusparagam identitas harus saling menghormati dengan hati yang teduh bahwa perbedaan politik tidak menghilangkan persaudaraan sebagai sesama warga Indonesia.
Meminjam nasehat Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra, bahwa meskipun kita tidak satu iman, tapi kita bersaudara dalam kemanusiaan. Ini merupakan formula kesantrian yang membimbing kita mengarungi guncangan badai berbagai bentuk efek negative dalam momen politik elektoral.
Berbagai bentuk amarah politik terhadap identitas yang berbeda, ujaran kebencian terhadap yang lain (hate speech) yang berpotensi membelah keindonesiaan kita sesungguhnya didasari kealpaan kita bahwa mereka yang berbeda orientasi politik dengan kita ialah saudara kita sebangsa yang kebetulan berbeda pilihan politik saja.
Pada konteks itulah semestinya Hari Santri Nasional menjadi refleksi dalam perjalanan politik kebangsaan kita. Menjadi santri merupakan proses pengabdian dalam kehidupan berbangsa, ibarat lautan yang lapang, yang menerima segala macam yang datang kepadanya dan menetralisasi amarah serta kesombongan menjadi energi yang menghasilkan hujan yang menyuburkan kehidupan kebangsaan dan kemanusiaan kita.
*Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya
Dan Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Sarjana Santri Syaichona Cholil Bangkalan (IMASS)
*Artikel diatas juga tayang di Media Indonesia