Oleh: Muniri Faqod*
Sebagaimana kita ketahui, radikalisme atau ektrimisme merupakan bahaya besar yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Tragedi-tragedi kemanusian berlatar belakang isu SARA khususnya di Indonesia harusnya menjadi pelajaran yang berarti, dan berharap tragedi tersebut tidak kembali terulang. Memang radikalisme tidak terjadi dalam situasi vakum, maksudnya disebabkan sudut pandang keagamaan ansich, pasti ada banyak yang melatarinya, situasi makro baik yang berhubungan dengan masalah sosial-ekonomi maupun politik juga memberikan sumbangsih berarti pada lahirnya radikalisme.
Sulit rasanya mengaitkan antara Islam dan radikalisme. Satu sisi Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin sama dengan agama lainnya yang ada di dunia, yang secara taken for granted dipandang sebagai instrumen ilahiah yang mengajarkan hal-hal baik. Oleh karena itu, tidak mungkin kita bisa menjadikan Islam dan radikalisme menjadi satu kesatuan. Islam yang mengajarkan kerendah hatian, sementara radikalisme menuntut cara-cara kekerasan untuk mewujudkan sesuatu yang diinginkan, keduanya sangat kontradiktif.
Meskipun pada tataran teoritis, Islam dan radikalisme tidak dapat dikaitkan, tapi realitas menunjukkan bahwa radikalisme sering dijumpai, dalam ceramah-ceramah keagamaan misalnya. Pada titik ini, kita orang Islam sulit mengingkari adanya wacana-wacana dan tindakan-tindakan radikal yang mengatasnamakan bendera Islam itu sendiri. Padahal sebenarnya, Islam tidak bisa mengakomodir tindakan-tindakan radikal. Islam lebih mengedepankan sikap moderasi dan keseimbangan yang mencakup segala sesuatu, baik dalam hal kepercayaan, beribadah, perbuatan, dan tingkah laku, serta dalam menetapkan hukum Islam.
Sikap moderat dan seimbang harus menjadi semangat ruhut tadayun (semangat mengamalkan ajaran agama), agar agama bernuansa ramah dan membawa kedamaian. Agama juga harus menjadi ruhul wathaniyah (semangat cinta tanah air), dengan menyadari sepenuhnya bahwa keanekaragaman bangsa ini harus dipertahankan. Ruhul wathaniyah harus selaras dengan ruhut ta’addudiyah (semangat menghormati perbedaan) dan menjadikan perbedaan sebagai modal bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar. Alhasil, tiga semangat ini diarahkan pada ruhul insaniyah dengan mendorong setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali untuk menghormati setiap hak manusia tidak peduli latar belakangnya (Acmad Siddiq, 2006).