Oleh: Made Supriatma
Pada tahun 1973, dunia dilanda krisis minyak. Saat itu negara kecil, Israel, yang didukung oleh negara-negara Barat melakukan invasi dan menduduki wilayah Palestina. Perang itu dinamakan Perang Yom Kippur karena dilakukan bertepatan dengan hari raya agama Yahudi.
Tindakan Israel melakukan agresi itu memancing kemarahan negara-negara Arab. Mereka memiliki satu senajta untuk membalasnya, yaitu minyak. Negara-negara Arab melakukan embargo minyak terhadap negara-negara yang dianggap mendukung Israel — khususnya terhadap Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
Akibat dari krisis itu adalah harga minyak naik 400% dari US$3 ke US$12 per barrel. Harga US$12 per barrel pada saat ini masih dianggap murah sekali. Namun tidak ketika itu. Skala ekonomi dunia masih jauh lebih kecil dari saat ini. Kebutuhan akan minyak pun tidak begitu besar. Namun jelas, negara-negara industri membutuhkan minyak. Sejak saat itulah minyak menjadi senjata andalan dalam politik internasional. Dia tidak lagi semata-mata ekonomi.
Sejak saat itu pula, harga minyak beranjak naik. Dunia kembali dilanda krisis minyak pada tahun 1979. Ketika itu, suplai minyak dunia terganggu akibat Revolusi Iran. Kita tahu bahwa ketika itu Iran memiliki sumbangan yang sangat signifikan untuk konsumsi minyak dunia. Harga minyak dunia naik hampri 100% menjadi sekitar $40 per barrel. Harga ini tentu berlipat-lipat dibandiingkan dengan harga tahun 1973.
Sejak saat itu, harga minyak melambung tinggi. Kartel negara-negara penghasil minyak, OPEC, yang Indonesia pernah menjadi anggota, menjadi penentu kebutuhan energi dunia. Arab Saudi sebagai produser minyak paling besar menjadi pemain utama dalam kartel ini.
Harga minyak sejak saat itu naik terus. Pada tahun 2008, harga minyak pernah mencapai US$148/barrel. Ketika itu, Amerika Serikat menghadapi resesi ekonomi akbar (the great recession). Negara-negara pengekspor minyak, yang telah lama mengalami bonanza ekonomi karena minyak ini, semakin menikmati berkah itu.
Namun keadaan berubah dengan cepat. Sejak saat itu, Amerika Serikat mengejar ketertinggalan. Sejak dulu, Amerika selalu berpendapat bahwa mereka tidak perlu terlalu agresif memproduksi minyak.
Pola pikir itu berubah dengan cepat. Amerika dengan agresif mengejar ketertinggalan untuk menjadi mandiri dalam energi (energy independence). Anda mungkin masih ingat sepuluh tahun lampau, salah satu bencana ekologis terbesar di dunia terjadi di negara bagian Florida di Amerika. Itu adalah ketika “Deep Water Horizon” sebuah kilang minyak lepas pantai meledak dan terbakar serta memuntahkan jutaan barrel minyak mentah ke lautan.
Tentu saja bencana ekologis tetaplah sebuah bencana. Namun ia juga menjadi pertanda bahwa Amerika mulai memproduksi energinya sendiri. Pada masa-masa itu juga, Amerika mulai memproduksi gas alam cair (Liquified Natural Gas atau LNG) dengan teknik ‘shale’. Mereka mengebor bebatuan dan membebaskan gas alam yang terperangkap di bebatuan tersebut dengan menyemprotkan air. Teknik ini membuat produksi LNG Amerika Serikat meningkat tajam.
Produksi minyak Amerika pun meningkat secara spektakular. Amerika pun bertransformasi dari negara konsumen menjadi negara produsen minyak. Pada 2018, Amerika mengekspor 7,8 juta barrel minyak.
Ternyata tidak hanya Amerika yang memproduksi energi. Rusia juga meningkatkan produksinya. Negara ini mulai membangun pipa untuk mengalirkan produksi LNG ke negara-negara Eropa. Rusia juga memakai produksi energinya untuk politik internasional. Berkali-kali Rusia mengancam negara-negara satelitnya dengan memutuskan aliran gas. Ukraina adalah salah satu negara yang mengalami, khususnya ketika negara ini tidak mau tunduk dengan kemauan Rusia.
Negara-negara penghasil minyak pun, terutama Arab Saudi, menggenjot produksinya. Negara ini sedang berperang di Yaman. Ini sebenarnya adalah perang proxy antara Iran dan Saudi. Kebutuhan perang tersebut, yang sebagian dipakai oleh Saudi untuk membeayai serdadu-serdadu bayaran dari negara-negara Afrika timur, telah menguras keuangan negara ini.
Pada bulan Pebruari tahun ini, perang minyak terbuka antara Saudi dan Russia. Kedua negara berkepentingan untuk menurunkan produksi namun ekonomi domestiknya tidak mengijinkan. Rusia sudah lama mengalami kemandegan ekonomi. Sementara Saudi, selain karena perang dan juga karena ingin fokus pada kemandirian ekonomi, membutuhkan modal yang besar. Penguasa baru Saudi, Muhammad Bin Salman Al-Saud, ingin memodernkan Saudi namun tetap menegakkan otokrasi. Beaya untuk itu luar biasa besar.
Dan, disana pula ada Amerika Serikat. Persaingan kedua negara ini nampaknya menyasar Amerika karena negara ini mengubah peta industri minyak dan energi dunia. Amerika semula adalah pengimpor minyak terbesar kini malah menjadi pengekspor.
Persis pada saat bersamaan, datang pula pandemik Covid-19. Wabah ini mendaratkan pesawat-pesawat terbang, mematikan transportasi, dan menutup pabrik-pabrik. Kebutuhan energi dunia merosot tajam.
Apa yang terjadi sekarang ini adalah sesuatu yang sungguh tak terpikirkan sebelumnya. Harga minyak mentah bukan hanya turun secara drastis namun sekarang berharga negatif!
Koran The New York Times memberitakan bahwa pada penutupan hari Senin (20/4), harga minyak mentah US$-37.63 per barrel! Minus! Mengapa ini terjadi? Karena produksi minyak dunia tetap sehingga tidak ada tempat untuk menyimpannya.
Oleh karenanya, untuk pembelian Mei nanti, penjual harus membayar US$30 untuk beaya penyimpanan. Itulah yang membuat minyak bumi menjadi negatif. Negara-negara di dunia sudah mengisi penuh-penuh tempat-tempat penampungan cadangan. Kapal-kapal tanker masih penh berisi muatan karena kilang-kilang minyak tidak bisa mengolahnya menjadi bahan bakar seperti bensin, avtur, solar, dan lain sebagainya karena permintaan merosot drastis.
Tidak ada pihak yang diuntungkan oleh situasi ini. Negara seperti Indonesia yang mengimpor minyak (setelah sempat menjadi menjadi pengekspor) tidak bisa menikmati harga murah karena tidak memiliki tempat untuk menyimpan (storage). Situasinya adalah seperti air liur sudah menetes mau makan nasi Padang yang sudah tersedia, namun mulut tidak bisa dibuka karena sakit gigi!
Kita tidak tahu dimana ini berakhir. Namun yang jelas, ada hal-hal yang sebenarnya bisa dihindarkan. Pandemik jelas membuat keadaan sangat sulit. Namun kesulitan ini diperparah karena tidak adanya kepemimpinan di dunia. Dunia internasional sedang mengalami chaos, anarki. Tidak ada koordinasi dan kerjasama.
Salah satu faktornya adalah Amerika Serikat dibawah Trump yang nationalistik dan mementingkan diri sendiri. Negara-negara dipaksa untuk mengemukakan kepentingannya sendiri. Saling bersaing dan saling berebut. Tidak ada kepercayaan satu sama lain.
Dalam hal minyak, Trump berusaha mendamaikan Saudi dan Russia. Tapi kedua negeri ini pun sadar bahwa dibawah Trump, Amerikalah yang akan mengambil keuntungan paling besar.
Sementara Indonesia? Kita cukup melihat dan menelan liur akan harga minyak yang super murah. Gigi, gusi, dan mulut kita bengkak. Nasi Padang dengan rendang dan gulai kikil hanya bisa kita pandang.
*)Penulis adalah peneliti sosial dan politik dan ahli sejarah militer