SURABAYA, lingkarjatim.com – Pakar Hukum Pidana UINSA Surabaya, Priyo Handoko punya cerita menarik terkait rusuh yang terjadi di sejumlah kota di Provinsi Papua. Pria yang juga menjadi dosen luar biasa Universitas Merdeka Malang itu pun menelisik muasal kerusuhan kepada sumber-sumber utama.
Dari berbagai informasi yang didapat, Prio menyimpulkan demo mahasiswa yang menuntut kemerdekaan sebagai sebuah tindakan makar. Dalam Undang-undang Pertahanan hukum makar bisa hukuman mati dan pelakunya baik perorangan ataupun kelompok harus ditangkap.
Demo berujung ricuh mahasiswa Papua di Malang pada 15 Agustus, disusul kericuhan di Asrama Mahasiswa Papua bertepatan dengan hari kemerdekaan dua hari kemudian adalah bibit rusuh yang melanda papua.
Lewat seorang mahasiswa Papua di UNMER yang mengikuti demo ricu di Balaikota Malang, Priyo mendapat cerita bahwa Salah satu tuntutan demo adalah untuk meninjau kembali perjanjian New York 16 Agustus 1962 antara Republik Indonesia dan Belanda yang difasilitasi oleh Amerika Serikat sebagai negiosator yang menyepakati adanya penentuan pendapat rakyat (Referendum).
Awalnya kata Priyo, saat mereka menyampaikan aspirasi berjalan damai kemudian terjadi bentrok dengan sebagian warga karena pendemo blokir jalan sehingga pendemo ada yang terluka kemudian disusul keesokan harinya terjadi tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.
“Mereka memblokade jalan, dan memukul warga yang melintas. Sehingga mereka bentrok dengan warga. Tapi saat terjadi cheos para mahasiswa papua memframing seperti dianak tirikan rasis. Orang malang menerima mahasiswa papua dengan terbuka,” ujarnya
Sedangkan bentrok di Surabaya menurut Priyo berawal pada 14-18 Agustus, saat itu ketua RT/RW meminta pada mahasiswa Papua untuk masang bandera Merah Putih, karena mereka tidak mau masang bendera akhirnya masyarakat sana yang memasang tapi keesokan hari bendera tersebut tidak terlihat di tiang bendara, saat di check malah ada di selokan.
“Meskipun tidak ada bukti gambar atau video siapa yang membuang bendera itu keselokan, tapi masyarakat sana menduga pelakunya anak Papua,” kata Priyo.
Menurutnya Dua kejadian tersebut dijadikan kesempatan oleh kelompok tertentu ingin memisahkan diri dari NKRI. Padahal jika konteks dari demonstrasi dan pengibaran bintang kejora minta merdeka itu makar, ancaman dalam UU pertahanan keamanan bisa sampai hukuman mati.
“Barang siapa yg makar baik perorangan atau kelompok, itu harus di tangkap, Tapi pemerintah masih minambang dampak politik dan ekonomi bila melakukannya,” ungkapnya (Suryadi)