Menu

Mode Gelap

OPINI · 2 Jun 2021 02:03 WIB ·

Pancasila Bersumber dari Desa


Pancasila Bersumber dari Desa Perbesar

Oleh : Anom Surya Putra

Pancasila telah ratusan tahun lebih eksis pada Dunia-Kehidupan (Lebenswelt) Desa. Pancasila bersumber dari Desa dan diakui pada Sistem kekuasaan negara-Majapahit maupun norma fundamental NKRI. Melalui Deśawarṇana kita mengetahui Pancasila dipegang teguh oleh elit (datu) Majapahit (yatnagegwan i pancaçila krtasaskarabhisekakrama) untuk menghadapi situasi bergolak (zaman kali) di kerajaan (kedatuan). Elit Majapahit menekuni filsafat, ilmu bahasa, agama Shiwa-Buddha, laku utama, dan upacara suci (Pupuh 43 Deśawarṇana).

   Selain itu terdapat teks Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular yang menguatkan sinyalemen tentang situasi yang bergolak di Majapahit. Mpu Tantular menulis kakawin untuk menyatukan masyarakat pengikut Buddha (Hyāng Buddha) dan Shiwa Rajadewa (Çiva rajādeva). Frasa “Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa” merepresentasikan Dunia-Kehidupan (Lebenswelt): solidaritas antara masyarakat pengikut Buddha dan Shiwa di Desa teritorial Majapahit. Frasa tersebut merupakan frasa penutup untuk menyatukan keduanya (Rwāneka dhātu vinuvus vara Buddha Visvā), sehingga tidak mungkin terpisah satu sama lain (Mangka ng Jinatvā kalavan Çivatatva tunggal).

   Sutasoma merupakan tokoh simbolik elit kraton dan  titisan Buddha yang pergi ke hutan untuk menemukan jati dirinya. Sutasoma bertarung mengatasi raksasa berbentuk gajah dan naga maupun harimau yang akan memakan anaknya sendiri. Hutan adalah simbol bagi Deśa (wilayah dan komunitas-organik) dalam Kakawin Deśawarnana, sedangkan hutan dalam Kakawin merupakan simbol dari tempat pertarungan antara pengikut Shiwa dan Buddha di Desa. Setiap tindakan yang dilakukan raja berujung pada perbaikan nilai-nilai kepemimpinan moral bagi dirinya sendiri dan memancar ke Desa.

   Metafor dalam Kakawin Sutasoma menunjukkan upaya integrasi sosial masyarakat Majapahit pada lingkup Etis. Orientasinya adalah mencapai kebaikan bersama (common good) antara pengikut Shiwa dan Buddha demi menguatkan kerajaan Majapahit. Teks Sutasoma setidaknya mengenalkan filsafat komunitarian sebagaimana digagas oleh Aristotle. Masyarakat era Majapahit rawan mengalami konflik antar pengikut agama dan sekaligus berkapasitas untuk melakukan konsensus demi kebaikan bersama. Fenomena konflik antar pengikut agama terus berulang pada era kerajaan Demak dan sampai sekarang. Konflik pengikut agama di Deśa diwarnai persaingan sesama penguasa (Raka atau Rakryan) untuk membangun bangunan suci di Desa.

    Singkat kata, pada masa Majapahit terdapat keragaman Desa di Nusantara. Desa bermakna sebagai wilayah dan komunitas-organik yang mengatur dan memerintah dirinya sendiri. Diskursus Deça mendekati fenomena Desa sebagai komunitas-organik di wilayah administratif yang mandiri. Sedangkan diskursus Thani dan Dhapur mendekati fenomena komunitas-organik pada Desa Adat. Keduanya menyatu dalam skala yang lebih luas di wilayah kerajaan Majapahit. Poros komunikasi antara Negara dan masyarakat secara etis dirumuskan melalui Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa.

   Diskursus Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika turut mewarnai perdebatan ideologis pada masa kemerdekaan. Muhammad Yamin menyusun naskah perdebatan tentang UUD’45 berdasar catatan stenografis dalam persidangan Badan Oentoek Menjelidiki Oesaha-oesaha Persiapan Kemerdekaan (tidak menggunakan tambahan kata “Indonesia”). Naskah Yamin diawali dengan pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 tentang Pancasila. Pidato Soekarno itu menanggapi pidato Soepomo dan Yamin sebelumya. Barulah kemudian Yamin meletakkan transkrip pidatonya sendiri (tanggal 29 Mei 1945) dan Soepomo (tanggal 31 Mei 1945) sesudah pidato Soekarno.

   Pidato Yamin tentang “Azas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia” pada tanggal 29 Mei 1945 menjelaskan diskursus Pancasila dalam perspektif Geopolitik Tata Negara Sriwijaya, Majapahit, dan Asia Tenggara.  Kedaulatan rakyat bersumber dari sejarah kedatuan Sriwjaya dan Trias Politica dari Majapahit. Nasionalisme Indonesia beranjak dari kekuatan sejarah pra-Indonesia yakni negara Indonesia pertama berbentuk Syailendra-Sriwijaya (600-1400). Negara Syailendra-Sriwijaya ditopang dengan dasar kedatuan (kedaulatan magis) dan agama Budha Mahayana. Negara Indonesia kedua berbentuk Kerajaan Majapahit (1293-1525). Negara Majapahit dibangun atas dasar keprabuan dan agama Syiwa-Budha (disebut Tantrayana). Dan negara Indonesia ketiga adalah negara kebangsaan dan berketuhanan.

   Yamin mengajukan pendapat tentang dialektika peradaban rakyat dan Negara Hukum adat bagian bawahan sebagai fundasi ketatanegaraan asli Indonesia. Pemikiran ini dipengaruhi oleh pemikiran Montesquieu yang kritis terhadap kerajaan sehingga Desa di Nusantara dipahami Negara Hukum adat bagian bawahan.

   Diskursus Desa sebagai Negara Hukum adat atau pemerintahan bawahan dibangun oleh Yamin bersumber dari sejarah kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Diskursus yang tersisa dari Negara Hukum adat pada masa pra-sejarah dan kolonial adalah tradisi permusyawaratan. Yamin mengangkat susunan Desa, susunan masyarakat Desa, dan susunan hak atas tanah yang bersandar pada keputusan (kebulatan) bersama atas masyarakat kedalam diskursus permusyawaratan.  Dasar keputusan bersama, kebulatan, atau permusyawaratan mufakat, sama tuanya dengan susunan Desa, negeri, marga dan lain-lain. Nilai-nilai permusyawaratan mufakat tidak lenyap meskipun terdapat pengaruh agama Budha atau Hindu (fundasi agama Negara Sriwijaya dan Negara Majapahit) atau Islam (Negara Demak). Tumbuh suburnya musyawarah dan ajaran keislaman semakin memberi corak kepada rasa ketatanegaraan Indonesia.

Mengapa Yamin menyatakan bahwa permusyawaratan menjadi basis ketatanegaraan Indonesia tetapi Desa menjadi pemerintahan bawahan? Karena Desa diposisikan oleh Yamin sebagai susunan pemerintahan paling bawah dari bangunan Republik, menyatu dengan pemerintah atasan (pemerintah pusat, ibukota negara) dan pemerintah daerah sebagai pemerintahan tengahan yang mengendalikan pemerintah desa dan pemerintah pusat (sic!).

   Pidato Yamin pada tanggal 29 Mei 1945 telah meletakkan struktur tata negara Indonesia dalam diskursus desentralisasi atau dekonsentrasi. Term desentralisasi dan dekonsentrasi yang diajukan oleh Yamin bersifat homonim yakni dua term dengan makna yang sama. Dalam kerangka teoritis desentralisasi atau dekonsentrasi, maka pemikiran Yamin terkategori Desentralisasi Administrasi dan bukan Desentralisasi Politik. Desentralisasi Administrasi adalah pelimpahan urusan dari pemerintahan-atasan ke pemerintahan-bawahan, sedangkan Desentralisasi Politik merupakan devolusi kekuasaan dari Pemerintah ke Pemerintah Daerah. Konsekuensinya, hubungan antara negara dan masyarakat mengalami dilema. Pemerintahan-bawahan bersikap pasif dan gagal mengambil keputusan secara otonom. Desentralisasi memang membentuk otonomi daerah tetapi berpotensi mengkoloni Desa dibawah Pangreh Praja yang pada masa kolonial menjadi kepanjangan tangan pemerintahan-kolonial. Diskursus “Negara Rakjat Indonesia” membuka peluang bagi Pangreh Praja untuk menjalankan kekuasaan administratifnya terhadap Desa.

   Bertolak dari pidato Yamin kita dapat mengetahui awal perdebatan di Indonesia bahwa diskursus Desentralisasi merupakan anti-tesis dari federalisme. Meskipun sebenarnya diskursus Desentralisasi tidak ada hubungan logis dengan Federalisme. Desentralisasi hanya teknik berpemerintahan dan tidak berkaitan langsung dengan sistem Federalisme. Federalisme dimaknai oleh Yamin sebagai perpecahan negara (“perpetjahan negara”; ejaan lama). Desentralisasi dihubungkan dengan fobia federalisme semata untuk menggalang daya kebertahanan (survive) “Negara Rakjat Indonesia”. Konsekuensinya adalah Sistem kekuasaan “Negara Rakjat Indonesia” mengkolonisasi Negara Hukum adat atau Desa sebagai pemerintahan bawahan yang tidak jelas otonominya. Pidato awal dari Yamin memang tidak jelas mengutarakan prinsip-prinsip teoritisnya, karena karya utuh dari Yamin yang membahas penggunaan filsafat liberal-klasik atas fenomena Desa baru terbit 17 (tujuhbelas) tahun setelah UUD’45 dengan judul Tatanegara Madjapahit Sapta-Parwa III.  

   Pidato Soepomo pada tanggal 31 Mei 1945 dalam rapat Badan Penjelidikan untuk Persiapan Indonesia Merdeka disampaikan lebih sistematis dan  kontroversial. Gagasan Yamin tentang faktor-faktor konstitutif (syarat mutlak) terbentuknya negara hanya dipandang dari perspektif hukum formal yakni harus ada daerah, rakyat, dan pemerintah yang berdaulat.  Pandangan ini kita ketahui sebagai praktik diskursif tentang makna “negara” yang melegenda. Menurut Soepomo faktor-faktor konstitutif itu tidak memiliki dasar kemerdekaan suatu negara yang bersifat sosiologis, politik dan pembelaan tanah-air. Pidato Soepomo membuka ruang perdebatan yang lebih maju daripada sejarah normatif dan liberal-klasik dari Yamin perihal kedaulatan negara saja.  

   Berbeda dengan Yamin yang tidak jelas mengutarakan dasar teoritik secara sistematis, Soepomo mengajukan aliran pikiran tentang negara. Pertama, aliran teori individualistis yang diajarkan oleh Hobbes dan Locke, Rousseau, Herbert Spencer, H.J. Laski. Negara adalah masyarakat hukum (legal society) yang disusun atas kontrak antara seluruh individu dalam masyarakat. Individualisme tersebut mendasari negeri Eropa Barat dan Amerika. Kedua, teori pertentangan klas dari Marx, Engels, dan Lenin. Negara adalah alat klas borjuis terhadap proletar. Sebab itu, organisasi Marxis mengorganisir buruh untuk merebut negara dari tangan kapitalis-borjuis melalui revolusi. Ketiga, aliran teori integralistik yang diajarkan oleh Spinoza, Müller, dan Hegel, dan lain-lain pada abad ke-18 dan ke-19). Negara adalah susunan masyarakat yang integralistik. Semua golongan, bagian dan anggotanya berhubungan erat satu lama lain sebagai persatuan masyarakat yang organis.

   Marsilam Simanjuntak mengkritik pandangan Soepomo yang memberikan contoh pemikiran Spinoza, Müller, dan Hegel, sehingga negara-integralistik hanyalah alat otoritarianisme Orde Baru kepada rakyat Indonesia. Disisi lain Gueci meneliti pidato dan karya akademis Soepomo berkaitan erat dengan pemikiran Otto von Gierke pada abad ke-18 dan ke-19. Term integral dan organis pada konsep negara persatuan, negara kekeluargaan, dan negara integralistik yang dinyatakan oleh Seopomo merupakan jalan tengah liberalisme dan komunitarian.

   Penelusuran Rizal Sofyan Gueci menunjukkan bahwa praktik diskursif Genossenschaft meluas pada struktur ketatanegaraan Indonesia dalam UUD’45 dengan menekankan persatuan antara pemerintah, rakyat, dan tanah-air. Dengan tidak memasalahkan kebenaran naskah perdebatan UUD’45 yang ditulis Yamin, maka Soepomo alpa secara teoritis tidak menyebut Gierke sebagai pendiri teori organis. Fundasi pemikiran Gierke tentang Organ atau “organis” ditemukan oleh Gierke pada abad ke-19 melalui gagasan besarnya mengenai komunitas-organik (Genossenschaft) yang relevan dengan masyarakat perdesaan di Jerman. Naskah perdebatan UUD’45 yang disusun Yamin hanya menyebut term sosiologis komunitas (Gemeinschaft) dan asosiasi rasional-instrumental (Gesellschaft) yang mengacu pada Ferdinand Tönnies tetapi tidak ada term komunitas-organik (Genosssenschaft) dari Gierke.

   Soepomo memberi pidato analitis bahwa susunan hukum negara Eropa Barat bersifat perseorangan dan liberalisme dan telah membuat kekacauan di dunia secara lahir dan batin. Dilain pihak terdapat negara Sovyet Rusia dengan struktur sosial diktatur proletariat yang tidak sesuai dengan struktur sosial masyarakat Indonesia. Pendapat kontroversial dari Soepomo terdapat pada pernyataannya tentang negara nasional-sosialis Jerman dan negara Dai Nippon. Persatuan antara pimpinan dan rakyat dan prinsip persatuan dalam negara secara totaliter pada kedua negara itu cocok dengan aliran pikiran ketimuran khususnya mengenai persatuan dan kekeluargaan pada masyarakat Indonesia.

   Suasana persatuan antara rakyat dan pemimpinnya diliputi oleh semangat gotong royong atau semangat kekeluargaan. Soepomo mengutarakan konsep gotong royong atau kekeluargaan bersumber dari kepala Desa yang menyatu dengan rakyatnya. Bertolak dari nagari Minangkabau maka Soepomo menyatakan bahwa Kepala Desa atau kepala rakyat selalu memegang adat, memperhatikan rakyatnya, bermusyawarah dengan rakyat atau kepala-kepala keluarga dalam desanya, agar supaya pertalian batin antara pemimpin dan rakyat terpelihara. Soepomo memperluas semangat kekeluargaan atau gotong royong sebagai konteks bernegara:

   Soepomo mengembangkan fakta sosiologis Desa (Gemeinschaft) pada struktur negara. Negara-integralistik pada intinya tidak ada dualisme negara dan individu, pertentangan susunan negara dan susunan hukum individu, maupun dualisme negara dan masyarakat (Gemeinschaft), sehingga negara bukan badan kekuasaan atau raksasa politik yang berdiri diluar lingkungan suasana kemerdekaan seseorang. Inti pendapat Soepomo yang mewarisi secara kritis prinsip-prinsip regulasi Desa masa kolonial adalah negara akan mengakui dan menghormati golongan masyarakat yang nyata. Negara tidaklah cukup hanya melakukan pengakuan tanpa penghormatan kepada Desa. Pidato ini menegaskan pemikiran Genossenschaft dari Gierke tentang personalitas-kolektif dari komunitas yang nyata.

   Praktik diskursif teori organik Otto von Gierke difungsikan tanpa sadar oleh Soepomo meluas hingga pada teori politik tentang negara dan ekonomi. Setara dengan alur pikir Gierke tentang pengakuan negara atas komunitas nyata sebagai Korporasi (Korporation; Jerman) maka pada lapangan ekonomi negara akan bersifat kekeluargaan. Negara menentukan badan usaha yang tumbuh dari kesadaran kolektif untuk dijalankan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga privat (perorangan). Hak atas tanah dimiliki oleh petani tetapi dikuasai oleh negara supaya petani dan negara bersama-sama menjaga tanah pertanian itu secara kolektif.

   Soepomo mengajukan pendapatnya tentang negara persatuan dihubungkan dengan term pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Negara persatuan lebih tepat digunakan supaya terdapat relasi negara dan masyarakat sebagai kesatuan organik. Term eenheidsstaat yang disepadankan dengan negara persatuan selalu menimbulkan salah paham karena hal ini menjadikan negara menjadi organ yang terpisah dengan masyarakatnya.

   Soepomo sepakat dengan pendapat Hatta bahwa sentralisasi dan desentralisasi tergantung pada waktu, tempat dan masalah yang dibahas. Soepomo menambahkan gagasan doelmatigheid atau kemanfaatan sentralisasi dan desentralisasi dalam Negara Indonesia. Menurut penulis, gagasan persatuan dari Soepomo yang menimbang sentralisasi dan desentralisasi tersebut tidaklah bersifat baku tetapi tergantung kemanfaatan (doelmatigheid), waktu, tempat dan masalah yang dihadapi, termasuk pengakuan dan penghormatan terhadap keistimewaan pada wilayah kerajaan dan Desa. Sebab itu, desentralisasi berkaitan dengan teknis berpemerintahan dan tidak ada hubungan logis untuk dipertentangkan dengan federalisme sebagai susunan negara sebagaimana diajukan oleh Yamin.

   Soepomo menyetujui pendapat Hatta berkaitan dengan desentralisasi, dan itu berarti terjadi sebelum pidato Soepomo dan Yamin dari sisi hitungan waktu pidato. Patut disayangkan bahwa naskah pidato Hatta tidak ada dalam naskah Yamin sebelum tanggal 31 Mei 1945. Sampai sekarang belum terdapat penjelasan meyakinkan tentang ketidaklengkapan ucapan Hatta dalam naskah Yamin.

   Pidato Soepomo diakhiri dengan pendapatnya yang setuju dengan Hatta tentang Kooperasi sebagai salah satu dasar ekonomi Negara Indonesia. Prinsip fundamental persatuan yang integralistik diakhiri Soepomo dengan kewajiban-kewajiban negara dalam Pantja Dharma pada skala nasional dan Asia Timur Raya. Negara persatuan terbentuk secara integralistik, makmur, bersatu dan berdaulat secara adil. Pandangan Soepomo bersifat ke-dalam (inward looking) dan sekaligus ke-luar (outward looking) bahwa negara persatuan yang integralistik itu wajib adil bagi rakyatnya, serta mengemban kewajiban sebagai bagian dari negara Asia Timur Raya.

   Pada waktu yang sama yaitu tanggal 31 Mei 1945 pidato Soepomo direspons oleh Yamin dengan mengusulkan wilayah Negara Persatuan Indonesia. Sumber pengetahuan yang meyakinkan dari Yamin adalah Nāgarakrětāgama masa Majapahit abad ke-14. Daerah kedaulatan negara Republik Indonesia adalah daerah pusaka bangsa Indonesia yang sejak dahulu terdapat pada Pupuh XIII-XV dalam Nāgarakrětāgama. Data sejarah ini memang penting dan terlebih menguatkan pendapat Yamin sebelumnya tentang wilayah atau daerah mana saja yang bisa menjadi kekuasaan pemerintahan-bawahan. Kajian sejarah dan arkeologi yang dilakukan Yamin pada masa penyusunan UUD’45 sudah sejak awal dilandasi perspektif Desa sebagai teritorial bawahan. Yamin tidak memperhitungkan rekognisi dari negara-kerajaan terhadap Desa dalam Nāgarakrětāgama seperti diutarakan peneliti pada bagian dimuka.  

   Ditengah perdebatan yang rumit dan detail tentang susunan negara, Soekarno mengawali pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945. Pidato Soekarno langsung meletakkan fundasi politik kemerdekaan yang mendasar (disebut sebagai Weltanschauung). Soekarno mengkritik susunan negara yang hanya menguntungkan keluarga-feodal dan klas borjuis seperti terjadi di Jerman, Sovyet, dan negara lainnya.

   Soekarno mengutip pemikiran dari Renan dan Bauer yang berbeda aliran dan diutarakan secara dialektis. Pertama, pemikiran Ernest Renan dalam “Qu’est-ce qu’une nation” (Apakah bangsa itu?) bahwa syarat bangsa adalah kehendak akan bersatu (le désir d’être ensemble; Perancis). Kedua, pemikiran Otto Bauer dalam “Die Nationalitätenfrage und die Sozialdemokratie” (Pertanyaan tentang Kebangsaan dan Sosial-Demokrasi). Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib (Eine Nation ist eine aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft; Jerman). Sintesis kehendak bersatu dan rasa persatuan nasib adalah bangsa Indonesia terikat dengan Geopolitik atau cinta tanah-air mulai dari ujung Sumatra sampai dengan Irian (sekarang disebut Papua).  

   Ernest Renan bersikap kritis terhadap feodalisme. Keruntuhan imperium Romawi dan munculnya revolusi di Perancis maupun belahan dunia lain mendorong Renan mempertanyakan suatu identitas yang tidak sekedar dibuat dan diruntuhkan pula oleh sejarah. Renan memberi contoh Desa Saxony dan Lusatia ketika luluh lantak oleh pembantaian rezim imperium akan tetap mempunyai basis identitas yang mempersatukan populasi mereka dengan tanah-kelahirannya atau sebaliknya. Renan menyatakan bahwa ras, bahasa, agama, komunitas kepentingan, geografi, dan kisah heroik pada masa lalu gagal mempersatukan komunitas dalam skala yang lebih luas. Renan mengajukan term bangsa (nation) yang secara metafisik merupakan jiwa-spiritual (soul) dan secara politik merupakan solidaritas dalam skala-luas. Rasa penderitaan yang sama mendorong asosiasi individual untuk menjadi suatu bangsa dan bukan organisme-klasik penyatuan individu dengan kekuasaan raja yang absolutis-feodal.

   Soekarno mencermati pikiran Renan sejak tahun 1920an ketika masih aktif menulis di Suluh Indonesia Muda dan dimuat ulang dalam Dibawah Bendera Revolusi. Tulisannya tentang Nasionalisme, Islamisme, dan Komunisme pada tahun 1926 meletakkan gagasan politik kebangsaan sebagai fundamen politik pergerakan kemerdekaan. Soekarno mengolah gagasan Renan mengenai Geografi menjadi Geopolitik sebagai penyatuan bangsa. Term populer Geopolitik yang dibawakan Soekarno adalah cinta tanah-air diatas peta negara Sriwijaya dan Majapahit. Menurut penulis, pidato Soekarno secara tidak langsung mengambil alih pemaknaan atas usulan Yamin tentang wilayah Negara Persatuan Indonesia pada tanggal 31 Mei 1945.

   Soekarno mengolah gagasan Bauer tentang kebangsaan dan Marxisme selain gagasan kebangsaan dan soslidaritas dari Renan. Pemikiran sosialisme-demokrasi Bauer mempengaruhi Soekarno bahwa kapitalisme telah merusak petani di Desa dan buruh selama masa kolonial. Asosiasi petani-marhaen dieksploitasi oleh tuan tanah. Sistem sewa-tanah telah merugikan dan menghisap tenaga petani. Bauer meradikalisasi karakter kooperatif pada petani yang semula komunitas senasib (Schicksals-gemeinschaften; Jerman) menjadi bangsa (nation) dalam pengertian sebagai Komunitas-karakter (Charakter­gemeinschaften). Konsekuensinya, Soekarno meradikalisasi petani, suku dan kesatuan organik seperti Nagari di Minangkabau dan lainnya, sebagai satu komunitas karakter dan bukan sebagai komunitas kecil yang senasib, satu bahasa dan satu keturunan saja.

   Pemikiran Bauer yang dikutip oleh Soekarno berbatasan dengan pemikiran Gierke dalam Das deutsche Genossenschaftsrecht bahwa Genossenschaft baik asosiasi buruh, tani, masyarakat-perdesaan diluaskan pada teori politik dan susunan negara sebagai satu kesatuan organik. Soekarno secara dialektis meringkas pada pidatonya bahwa Komunitas (Gemeinschaft) membuat kita sibuk berpikir secara lokal sehingga kehilangan fokus pada kesatuan nasional, wilayah dan geografis. Nagari di Minangkabau dan komunitas-lokal seperti suku-suku di Indonesia barulah kesatuan kecil dan diradikalisasi Soekarno menjadi satu kesatuan organik yang lebih besar: “Natie Indonesia, bangsa Indonesia, ummat Indonesia djumlah orangnja adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 jang telah mendjadi satu…”.

   Konsepsi pertama yang diusulkan Soekarno berbasis Komunitas-karakter adalah Negara-kebangsaan. Nagari di Minangkabau bukan satu kesatuan dari daerah yang kecil tapi satu kesatuan geopolitik Indonesia dari ujung utara Sumatra sampai ke Irian (sekarang bernama Papua). Negara-kebangsaan mempunyai dasar bernama Pancasila yang digali oleh Soekarno dari pengetahuan sejarah Nusantara. Diskursus Pancasila (asas dan dasar berbangsa dan bernegara) merupakan sintesis dari perdebatan sebelumnya baik Pancasila (nilai-nilai) yang diungkap oleh Yamin dan Pantja Dharma (kewajiban-kewajiban) yang dikutip oleh Soepomo pada masing-masing pidatonya. Soekarno lebih mempertegas sila-sila dari Pancasila sebagai asas gerakan.

   Diskursus Pancasila sebagai dasar negara berlanjut pada gagasan Soekarno mengenai Negara Gotong-Royong. Spirit Gotong-royong mendinamisir semangat kekeluargaan atau semangat kekeluargaan yang diutarakan Soepomo sebelum Soekarno berpidato. Semangat kekeluargaan dan semangat Gotong-royong bersumber dari diskursus Desa. Gagasan Soekarno dan Soepomo memberikan ruang bagi diskursus Desa sebagai fundamen ketatanegaraan dari Desa yang semula komunitas-kultural menjadi komunitas-karakter. Tanpa adanya radikalisasi Soekarno kita tidak akan menjadi bangsa yang mengubah tradisi dan kultur menjadi kekuatan politik kebangsaan yang lebih besar.

  Disamping perdebatan antara Yamin, Soepomo, dan Soekarno, terdapat gagasan penting dari Hatta tentang kekeluargaan, ko-operasi, dan Desa. Hatta mengajukan gagasan penting baik berdasar keterangan dalam naskah yang disusun Yamin maupun tulisan-tulisannya mengenai hak perkauman di Desa. Hatta mengambil referensi tulisan hukum adat (van Vollenhoven) untuk melegitimasikan spirit ko-operasi pada hak komunal atau hak perkauman Republik Desa. Gagasan kolektivisme Hatta dilandasi spirit Ko-operasi dan bukan koperasi sebagai badan hukum privat. Interpretasi Hatta tentang Desa merupakan pandangan tata negara yang fundamental bahwa hukum adat merawat hak perkauman, hak komunal, atau hak ulayat yang tertanam didalam masyarakat Desa. Hak perkauman merupakan dasar ko-operasi sosial dan landasan untuk membangun ko-operasi ekonomi sebagai sendi perekonomian masyarakat (sosialisme Indonesia). Pemerintah Desa sebadan dengan ko-operasi Desa. Desa identik dengan Ko-operasi. Menurut penulis pendapat dari Hatta dapat dikaji dengan teori Genossenschaft dari Gierke:

Pertama, hak perkauman di Desa merupakan penanda atas personalitas-kolektif (Gesammtpersönlichkeit). Personalitas-kolektif pada hak ulayat atau hak perkauman merupakan dasar bagi ko-operasi sosial dan landasan untuk membangun ko-operasi ekonomi.

Kedua, Ko-operasi sosial dan ko-operasi ekonomi identik dengan kesatuan masyarakat hukum (Körperschaftsbegriff) untuk melakukan usaha bersama pada skala Desa maupun skala nasional.

Ketiga, Pemerintah Desa sebadan dengan ko-operasi Desa dalam artian Pemerintah Desa merupakan Organ atau Agent kolektivitas-sosial yang menyatu dengan Desa.

Keempat, Desa identik dengan Ko-operasi dalam artian Desa diakui dan dihormati sebagai komunitas-organik (Genossenschaft).

Kelima, kedudukan badan hukum dari Desa diakui melalui hukum formal sebagai badan hukum organik atau Korporasi-Organik.

Keenam, Koperasi diakui negara sebagai badan hukum organik sehingga tidak menjadi Unit atau bawahan pemerintah dan pemerintah Desa.

Ketujuh, Desa dan Koperasi setara sebagai badan hukum.

   Praktik diskursif Desa sebagai pemerintahan bawahan (Negara-Hukum adat) sebenarnya tidak tuntas dibahas maupun disepakati oleh penyusun UUD’45. Konsensus yang terjadi pada persidangan adalah Desa (Volksgemeinschaften) diakui dan dihormati sebagai komunitas yang memiliki keistimewaan berdasar hak asal-usul, berdampingan dengan keistimewaan kerajaan (zelfsbestuurende, Belanda; Kooti; Jepang). Sebab itu, pemikiran liberal-klasik atau liberal-konservatif (Montesquieu dan lainnya) yang mempengaruhi Yamin tidak mendapat tempat dalam UUD’45. Disisi lain teori integralistik Soepomo juga tidak utuh mengikuti dinamika pemikiran hukum di Jerman abad ke-19 (Gierke), sehingga tidak mudah meluaskan Desa sebagai Genossenschaft (komunitas-organik) pada konteks identitas bangsa, negara, dan warga negara.

   Kontestasi antara Desa (Volksgemeinschaften) dan pemerintahan semakin berlanjut hingga terbitnya peraturan perundang-undangan tentang Desa pada tahun 1948. Meskipun Soekarno sudah meradikalisasi konsep kekeluargaan melalui Pancasila, Negara-kebangsaan, dan Negara Gotong-royong, tetaplah harus diakui praktik diskursif desentralisasi administratif warisan kolonial sejak tahun 1903 lebih dominan mengkoloni Desa sedalam-dalamnya. Meskipun demikian nilai-nilai Pancasila dari Desa tetap hidup dalam batin warga Desa dengan segala hiruk pikuk perdebatan kritik ideologi di kalangan intelektual dan aktivis.*

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 8 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Tak Punya Surat Persetujuan Partai, Bisakah Calon DPR/DPRD “GUGAT” di MK ?

2 May 2024 - 14:55 WIB

Tidak Ada Makan Siang Gratis 

12 February 2024 - 13:29 WIB

Prosfektif Peningkatan Ekonomi Rakyat dari Berbagai Pendekatan, Madura Layak Jadi Provinsi

18 December 2023 - 08:20 WIB

Anomali Putusan, MK Milik Siapa ?

17 October 2023 - 14:37 WIB

Lo Punya Uang, Lo Punya Kuasa

16 October 2023 - 18:13 WIB

Pro dan Kontra Batas Usia Capres dan Cawapres

13 October 2023 - 06:00 WIB

Trending di OPINI