Oleh : Abdul Mukhlis*
Berawal dari perubahan nama dari Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) menjadi Koalisi Indonesia Maju (KIM) pada acara puncak peringatan HUT ke-25 Partai Amanat Nasional (PAN) di Hotel Sultan tanpa adanya kesepakatan para anggota koalisi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merasa ditinggalkan dan tidak dihargai keberadaannya sebagai anggota koalisi. Koalisi yang awalnya diisi oleh Partai Gerindra dan PKB bertambah dengan masuknya Partai Golkar dan PAN berimbas pada awal hengkangnya PKB dari koalisi itu.
Persoalannya bukan terletak pada perubahan nama koalisi namun lebih fundamental yaitu tidak ada musyawarah mufakat yang mengindikasikan bahwa keberadaan PKB sudah tidak dibutuhkan atau dipandang sebelah mata seiring tambahan tiket pencalonan pasangan capres-cawapres.
Masuknya Partai Golkar dan PAN tidak terlepas dari hidden agenda dalam mempersiapkan kandidat cawapres selain A Muhaimin Iskandar seperti yang didorong oleh PAN misalnya Erick Tohir yang sejak awal digadang-gadang sebagai sosok yang tepat mendampingi Prabowo Subianto sebagai cawapres dari koalisi itu. Sebelumnya, PAN juga menawarkan nama itu kepada PDIP untuk dijadikan cawapres Ganjar Pranowo.
Koalisi yang cenderung dipaksakan menyisakan residu dalam dinamika politik koalisi. Itu berbanding terbalik di awal mula penambahan anggota koalisi yang akan mengedepankan asas musyawah mufakat dalam setiap pengambilan keputusan termasuk dalam memutuskan cawapres yang akan mendampingi Prabowo.
Musyawarah mufakat menjadi dua kata yang sering diucapkan dalam membuat keputusan penting namun faktanya tidak semudah itu dalam implementasinya. Mempertemukan dan mendialogkan kepentingan yang sama-sama kuat membutuhkan tenaga, pikiran dan waktu yang tidak sedikit. Apalagi Tarik ulur kepentingan itu sudah sangat kuat sebelum bergabung dengan koalisi tanpa didasari pada percobaan pikiran untuk menentukan asas-asas yang perlu menjadi landasan bersama dari suatu koalisi.
A. Muhaimin Iskandar, aktor sentral di PKB yang sudah malang-melintang di dunia politik praktis pasti sangat menyadari dan peka terhadap fenomena politik itu. KKIR yang sudah terbangun sejak lama, masih mengulur-ulur waktu dalam mendeklarasikan pasangan capres cawapres dengan alasan menunggu waktu yang tepat dan menunggu partai politik lain untuk bergabung menjadi suatu indikasi kuat bahwa pilihan cawapres dari PKB menjadi opsi terakhir.
PKB dihadapkan oleh dua pilihan. Pertama, tetap bertahan walaupun pada akhirnya harus merelakan posisi cawapres beralih kepada yang lain. Kedua, keluar dari koalisi dan membangun koalisi baru atau bergabung dengan koalisi yang sudah terbentuk.
Satu koalisi terbentuk dua koalisi bubar momentum itu dimanfaatkan oleh Partai NasDem untuk mengajak PKB dalam kerja sama politik setelah ada pertemuan khusus antara Surya Paloh dan Presiden Joko Widodo. Walaupun secara tegas keduanya menampik pembahasan koalisi baru antara Partai NasDem dan PKB namun banyak pihak ‘menilai’ ada skenario politik karena ada benang merah dari sisi kronologisnya.
Manuver Partai NasDem yang mengajak kerjasama PKB, akhirnya melahirkan koalisi baru dan dalam waktu yang sangat singkat dideklarasikan pasangan Capres-Cawapres, Anies R. Baswedan dan A. Muhaimin Iskandar di Surabaya. Koalisi itu tidak pernah diprediksi sebelumnya baik oleh KIM maupun KPP.
Yang sering dilupakan, PKB dan PKS pernah membangun Koalisi Semut Merah dalam menghadapi pemilu 2024. Kesamaan arah perjuangan politik antara PKB dan PKS walaupun akhirnya bubar dengan sendirinya, paling tidak sudah ada pembahasan tertentu yang mendekatkan antar keduanya. Itu menjadi salah satu alasan PKS tidak terlalu mempermasalahkan siapapun yang menjadi cawapres Anies R. Baswedan.
Kondisi itu tidak berlaku bagi Partai Demokrat (PD) yang masih menyisakan kekecewaan di Koalisi Perubahan dan Perbaikan (KPP) yang akhirnya memilih untuk memutuskan keluar dari koalisi karena merasa dikhianati oleh Partai NasDem khususnya Surya Paloh dan Anies R. Baswedan atau tidak terima atas masuknya A. Muhaimin Iskandar sebagai Cawapres Anies R. Baswedan.
PD lupa bahwa politik adalah seni kemungkinan. Apapun bisa terjadi dalam dinamika politik termasuk dalam menghadapi pemilu 2024. Koalisi yang baru terbangunpun tidak mustahil akan ada perubahan atau semakin solid dalam memenangkan kontestasi lima tahunan itu. KKIR yang sebelumnya beranggotakan Partai Gerindra secara otomatis bubar dengan sendirinya pasca keluarnya PKB walaupun ada beberapa partai politik lain yang bergabung seperti PAN, Golkar, PBB dan terakhir Partai Gelora.
Begitupun juga KPP buyar pasca Partai NasDem, PKB dan PKS (tanpa PD) mengusung pasangan Anies R. Baswedan dan A. Muhaimin Iskandar.
PD yang sejak awal mendorong AHY, sang putra mahkota sebagai cawapres Anies R. Baswedan harus kecewa dengan perjanjian kerja sama Partai NasDem dan PKB. Pertanyaannya, kemana PD akan berlabuh? Apakah ke gerbong Koalisi Indonesia Maju yang dinahkodai oleh Prabowo atau memilih ke Koalisi PDIP?