SUMENEP, Lingkarjatim.com — Keberadaan Pendamping Desa pada Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) di Sumenep, Madura, Jawa Timur disoal. Pasalnya, beberapa oknum pendamping diduga rangkap jabatan.
Indikasinya, ada beberapa oknum pendamping desa yang disinyalir merangkap guru dan mendapatan dana sertifikasi. Di mana, sertifikasi tersebut juga dibiayai oleh negara. Dampaknya, diperkirakan terjadi doubel counting atau penghitungan ganda anggaran.
“Dari hasil analisis dan temuan kami, masih ada oknum pendamping yang merangkap menjadi penerima sertifikasi guru. Kami ada datanya,” kata Aktifis DPD LAKI Jatim, Bagus Junaidi.
Otomatis, sambung dia, apabila ada pendamping desa yabg rangkap jabatan, maka diperkirakan ada dua penerimaan anggaran atau yang dikenal dengan istilah doubel counting. Hal ini akan membebani anggaran.
“Tentu dalam azas manfaat juga menjadi tidak baik, karena anggaran diperkirakan tidak tepat sasaran,” ungkapnya.
Selain itu, menurut Edy, pihaknya juga menemukaan dugaan oknum pendamping yang menjadi aktifis partai politik (parpol). Padahal, idelanya pendamping itu harus fokus dan tidak merangkap di manapun, termasuk parpol.
“Ini dugaan kami, ada juga yang jadi aktifis parpol,” tuturnya.
Padahal, Edy menegaskan, jika mengacu kepada kontrak kerja sebagai pendamping desa jelas merangkap jabatan dan aktif sebagai aktifis, anggota atau pengurus parpol tentu saja masuk yang terlarang bahkan bisa mengarah kepada pemutusan hubungan kerja.
“Dalam kontrak kerja, dalam pasal 8 huruf h dan i, yang intinya, ada penegasan jika menjadi pengurus parpol dan rangkap dengan pendanaan dibiayai negara, maka bisa ada pemutusan hubungan kerja,” ungkapnya.