SUMENEP, lingkarjatim.com – Peraturan Bupati (Perbup) Sumenep tentang pelaksanaan pemilihan kepala desa semakin menuai polemik. Setidaknya, Perbup Pilkades telah berubah tiga kali dalam rentan waktu yang relatif singkat.
Pertama, pelaksanaan Pilkades diatur dalam Perbup Sumenep nomor 27 tahun 2019 tentang pencalonan, pemilihan, pengkatan, pelantikan dan pemberhentian kepala desa, tak lama kemudian, Perbup itu mengalami perubahan menjadi Perbup nomor 39 tahun 2019.
Belum lama berubah, Perbup tersebut masih menjadi polemik di masyarakat, terutama pasal yang mengatur skoring ketika calon kades lebih dari lima orang.
Sebagai solusi, akhirnya pemerintah kembali merubah sebagian Perbup tersebut. Pemerintah mengambil solusi untuk memberlakukan tes kepemimpinan bagi desa yang memiliki calon kades lebih dari lima orang. Hal itu diatur dalam Perbup Sumenep nomor 54 tahun 2019.
Keluarnya Perbup 54 tahun 2019 itu belum juga menyelesaikan persoalan, sejumlah fraksi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumenep mulai mengajukan hak interpelasi ke pimpinan DPRD terkait Perbup tersebut.
Hak interpelasi merupakan hak DPRD kabupaten/kota untuk meminta keterangan kapada bupati/wali kota mengenai kebijakan panerintah daerah kabupaten/kota yang penting dan strateggis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hak interpelasi minimal diajukan oleh dua fraksi di DPRD.
Hak interpelasi itu salah satunya diajukan Fraksi PDI Perjuangan. Partai berlambang banteng menganggap keberadaan Perbub 54 tahun 2019 memuat kandungan sabotase terhadpap demokratisasi.
Fraksi PDI Perjuangan juga menganggap Perbup tersebut melampaui otoritas paraturan daerah yang di beri amanat langsung oleh Undang-Undang nomnr 06 tahun 2014 tentang Desa.
Sealin itu, Perbup tersebut juga dianggap melampaui Undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan, serta Permendagri nomor 80 tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
“Pemberlakuan Peratuan Bupati tersebut di berlakukan tanpa melalui konsultasi publik, sehingga memantik kontroversi di tangah masyarakat,” kata Darul Hasyim Fath, anggtota DPRD Sumenep fraksi PDI Perjuangan Sumenep.
“Itu sebabnya anggota DPRD memiliki kewajiban konstitusional untuk mempertanyakan kebijakan pemerintah daerah yang menuai kontroversi di tengah masyarakat,” tambah anggota legislatif asal Pulau Masalembu itu.
“Berdasarkan hak-hak tersebut, maka anggota DPRD berhak mengajukan hak interpelasi kepada saudara Bupati untuk memberikan keterangan melalui sidang paripurna,” tambahnya.
Senada dengan fraksi PDI Perjuangan, hak interpelasi juga diajukan oleh Partai Demokrat. Menurut partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono itu, Perbub 54/2019 tidak menyelesaikan masalah, namun malah menimbulkan kegaduhan ditengah masyarakat.
Bahkan, saat ini anggota DPRD Sumenep fraksi Demokrat sudah menandatangani surat permintaan interpelasi tersebut. “Hari ini surat untuk mengajukan hak interpelasi harus masuk. Hampir semua anggota sudah tandatangan,” kata Sekretaris DPC Demokrat Sumenep yang sekaligus wakil Pimpinan DPRD Sumenep, Indra Wahyudi.
Senada dengan PDI Perjuangan dan Demokrat, PAN juga mengajukan hak interpelasi. “Hak interpelasi itu sudah dipastikan jalan. Kami sudah memasukkan surat pengajuan kepada pimpinan DPRD. Dan, kami instruksikan kepada fraksi PAN untuk mengawal hak Interpelasi ini,” kata Sekretaris DPD PAN Sumenep, Hosaini Adhim kepada media.
Menurutnya, perubahan berapa kali peraturan itu ternyata membuat bingung, dan patut dipertanyakan sandaran yuridisnya. “Perbup itu kebablasan. Maka, perlu dipertanyakan dasar hukumnya. Sehingga, perlu jawaban dari pihak eksekutif,” ucapnya.
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun media ini, selain fraksi PDI Perjuangan, Demokrat, dan PAN, hal yang sama juga diajukan fraksi Gerindra, fraksi gabungan Nasdem Hanura Sejahtera. (Abdus Salam)