Oleh: Misdar Mahfudz
OPINI, Lingkarjatim.com – Secara resmi pada tanggal 4 November 2002, kabupaten Pamekasan Madura mendeklarasikan satu upaya bersama menuju syariat Islam, yang dikemas dalam Gerakan Pembangunan Masyarakat Islami (Gerbang Salam). Kabupaten Pamekasan Madura memilih sebagai kota Gerbang Salam sebagai wujud pembangunan masyarakat islami, berperadaban, dan menolak segala bentuk perilaku melawan hukum: tindakan kriminal, asusila pun juga korupsi yang sangat membahayakan bagi masa kini dan masa depan bangsa. Setelah resmi dideklarasikan berdirilah gapura besar sebagai simbol Pamekasan kota islami yang bertuliskan, Anda Masuk Kota Pamekasan Bumi Gerbang Salam. Tak pelak, masyarakarat pun memberikan julukan kota Gerbang Salam.
Sebagai gerakan konkret pemerintah kabupaten Pamekasan membuat beberapa Perda yang mengatur usaha-usaha di Pamekasan, guna meminimalisir aktifitas asusila, salah satunya adalah Perda perhotelan, yang mengatur tentang pengunjung hotel bila membawa pasangan harus menunjukkan surat keterangan pernikahan, larangan menjual minuman keras, dan masih banyak Perda lainnya untuk melegitimasi julukan tersebut.
Namun, semenjak Gerbang Salam itu diproklamirkan masyarakat Pamekasan yang berada di pulau Madura ini, tidak mengalami perubahan yang signifikan dalam mewujudkan masyarakat yang islami. Bahkan, berbagai kasus bermunculan. Misal, salah satunya, tindakan asusila yang dilakukan oleh oknom pelajar-mahasiswa kumpul kebo di rumah kos, kota Pamekasan, yang tertanggap basah oleh Satpol PP Pemkab Pamekasan (Republika, 20/11/13), bahkan, Polisi Pamong Praja (Pol PP) mengindentifikasi terdapat 26 warung remang-remang yang dijadikan tempat transaksi esek-esek. Warung tersebut menyebar di beberapa lokasi. Salah satu tempat yang jadi sarang transaksi esek-esek yakni di pasar 17 Agustus kelurahan Bugih dan kecamatan kota Pamekasan (timesindonesia.co.id, 3/3/2016).