BANGKALAN, Lingkarjatim.com – Sejak tahun 2009 UNESCO menetapkan batik sebagai sebagai warisan budaya Indonesia. Batik merupakan bagian dari kehidupan bangsa Indonesia, yang tidak bisa ditiru oleh bangsa lain. Batik digunakan dalam berbagai bagian kehidupan manusia Indonesia, sejak kelahiran bayi dalam bentuk selendang penggendong bayi, kain panjang untuk pemuda dan gadis remaja, kain untuk pasangan pengantin, hingga kain untuk penutup jenazah. Motif-motif batik mengandung filosofi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Demikian pula ketrampilan membatik.
Tanjungbumi merupakan Kawasan sentra batik Madura yang terkenal karena tingkat kedetilan dan motif serta pewarnaan yang khas dan disukai. Salah satu jenis batik di Tanjungbumi yang sangat menonjol adalah ‘batik gentongan’, yang dibuat menggunakan pewarna alami dengan masa pembuatan lebih dari 10 bulan, dengan perendaman dalam ‘gentong’ atau bejana dari tanah liat yang dibakar. Harga batik ‘gentongan’ bisa mencapai 25 juta rupiah per lembar. Hal ini berarti, masyarakat Madura sebenarnya memiliki kearifan tradisional dalam hal pewarnaan alami batik. Akan tetapi, tidak semua pembatik di Tanjungbumi memproduksi batik gentongan yang sudah mulai langka pengrajinnya itu. Sebagian besar pembatik menggunakan bahan pewarna sintetik.
Adalah Farikha Intan Kusworo, mahasiswa Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, yang mengamati iritasi kulit dan masalah pernafasan di kalangan pembatik di Tanjungbumi, yang menggunakan pewarna sintetik. Bekerjasama dengan Ibu Suhartini, pengusaha batik Tanjungbumi dengan merek “SIAR”, serta mengajak kawan-kawannya, Rossa Renintan AG, Wila Wulantika, Indriana M. Ghooniyah, Ulfa Nor Faizah, dan Besori Alwi, ia menyusun proposal Program Kreatifitas Mahasiswa bidang Pengabdian kepada Masyarakat, untuk mengenalkan teknik ecoprinting dan pewarnaan alami untuk pembatik, guna mengatasi masalah kesehatan akibat penggunakan pewarna sintetik pada batik.
Proposal tersebut berhasil didanai oleh Kemendikbud Ristek, tahun 2023. Langkah pertama yang diambil adalah sosialisasi program kepada masyarakat pembatik, tentang ecoprinting dan pewarnaan alami. Dalam sosialisasi itu, para mahasiswa memberi informasi beberapa manfaat ecoprinting, dan bahaya pewarna sintetik bagi kesehatan pembatik. Selain itu, juga dilakukan kesepakatan kegiatan yang akan dilakukan. Selanjutnya, para mahasiswa bekerjasama dengan Aliansi Muslimah Pengusaha (ALISA), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Timur, mengenalkan beberapa teknik ecoprinting dan pewarnaan alami batik. Pemandu kegiatan praktek tersebut adalah Ibu Siti Sa’adah Heru yang adalah pengurus Alisa ICMI Jatim bidang UMKM naik kelas, dan praktisi batik pewarna alami. Kehadiran Alisa ICMI Jatim dalam kegiatan ini tidak hanya melatih pewarna alami batik, namun juga melakukan survei technososiopreneurship di UMKM Madura. Survei ini dilakukan oleh Dr. Amaliyah dari Fakultas Vokasi Universitas Airlangga yang juga Ketua I Alisa ICMI Jatim, dengan dibantu oleh tim mahasiswa Farikha dan kawan-kawan.
Dalam kegiatan ini, dipraktekkan teknik menggunakan rumput laut dikombinasikan dengan bahan lain, sehingga menghasilkan warna yang terang memukau, elegan. Bahan pewarna alamnya diambil dari lingkungan sekitar, seperti mangrove, daun jati, kayu secang, kunyit, kulit bawang merah, yang kemudian digunakan untuk mewarnai batik mereka. “Tidak mengira bisa dihasilkan warna indah seperti ini dari dhu’-oddhu’ (mangrove),” kata ibu Cici salah satu pengusaha batik Tanjungbumi, “Bahan pewarna alami ini mudah dan murah, serta aman”. Sesi belajar bersama itu juga dihadiri Hj. Watik, pengusaha pimpinan batik “Potre Koneng” yang juga memiliki minat pada pelestarian batik ‘gentongan’ yang berpewarna alami.
Kegiatan yang dimulai Agustus itu hingga kini masih terus berlangsung, untuk praktek dan eksplorasi penggunaan pewarna alami dan ecoprinting. Kegiatan ini diharapkan selain memberi manfaat bagi pengrajin batik, juga untuk menjadi kegiatan yang sangat berharga dan “precious” bagi mahasiswa untuk ikut serta menyelesaikan masalah di masyarakat melalui transfer teknologi, sebagaimana disampaikan Koordinator Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Mojiono, S.TP., M.Sc. “Kegiatan ini juga merupakan salah satu upaya pelestarian lingkungan”, ungkap Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Dr. Agus Romadon. Dosen pembimbing dalam kegiatan ini adalah Prof. Umi Purwandari, PhD. (*)