SURABAYA – Lingkarjatim.com,- Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur memasang target 85 persen partisipasi pemilih pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Target itu lebih tinggi sedikit dari Pemilu 2019 yang mencapai 83 persen.
“Kita menarget 85 persen partisipasi pemilih pada 2024, atau minimal bertahan 83 persen seperti tahun 2019,” kata Anggota KPU Jatim, Gogot Cahyo Baskoro, dikonfirmasi, Jumat, 28 Oktober 2022.
Berkaca pada pemilu tahun sebelumnya, Gogot optimistis partisipasi pemilih pada Pemilu 2024 bakal meningkat. Di mana partisipasi pemilih mencapai 83 persen pada Pemilu 2019, lebih tinggi dari 2014 mencapai 77 persen. “Kalau melihat kecendrungannya, kami optimis partisipasi pemilih pada 2024 bakal meningkat,” katanya.
Dari semua pemilu, lanjut Gogot, partisipasi pemilih pada 2019 didominasi oleh kaum perempuan sebesar 84 persen dan 80 persen pemilih laki-laki. Jumlah ini lebih tinggi dibanding pemilu tahun 2014, dengan jumlah partisipasi pemilih perempuan sekitar 77 persen. “Pada pemilu 2019 total pemilih mencapai 30.912.994 orang. Pemilih perempuan sekitar 15,686 juta orang, dan pemilih laki-laki 15,226 juta orang,” ujarnya.
Maka itu, Gogot mendorong para perempuan ini terlibat aktif dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu. Karena peran perempuan menjadi modal besar suksesnya Pemilu dan Pemilihan. “Melihat kecenderungan kami optimis pemilih perempuan dari tahun ke tahun meningkat di pemilu 2014 dibanding dengan pemilu 2019 juga mengalami peningkatan,” katanya.
Menurutnya, melakukan sosialisasi pemilu dengan segmen perempuan merupakan bentuk komitmen mempreoritaskan pemilih perempuan. “Hal ini sekaligus mendorong agar mereka berpatisipasi tidak hanya bisa menjadi pemilih, tetapi juga menjadi penyelenggara pemilu, maupun peserta pemilu,” katanya.
Mengenai tingkat pendidikan, Gogot tidak sepakat adanya anggapan bahwa tingkat pendidikan perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. “Sebanyak 76.804 perempuan sedang menempuh jenjang S1, sedangkan laki-laki sebanyak 61.861. Artinya, tingkat pendidikan perempuan kompetitif dengan laki-laki,” ujarnya.
Kendati demikian, kelebihan tersebut juga mempunyai berbagai kekurangan. Di antaranya pemilih perempuan mudah dimobilisasi, atau hambatan kultural yang yang mempenngaruhi cara pandang terhadap persoalan politik. Termasuk minimnya jumlah perempuan yang menduduki posisi strategis dalam Pemilu dan Pemilihan.
Agar pemilih perempuan tidak mudah dimobilisasi, mereka harus punya kemandirian politik. “Perempuan harus cerdas. Pemilih yang cerdas itu menentukan pilihannya tidak karena pertimbangan emosional, ideologis, sara dan juga bukan pertimbangan pragmatis,” ujarnya.
Lanjut Gogot, pemilih yang cerdas menggunakan hak pilihnya menentukan pilihan berdasarkan pertimbangan rasional dan objektif mencari calon pemimpin. “Yang sekiranya mampu membawa aspirasi dan kepentingannya. Diketahui programnya, track recordnya untuk bisa menntukan pilihan sesuai hati nurani,” katanya.
Dalam Undang-Undang Pemilu disebutkan bahwa komposisi penyelenggara pemilu harus memperhatikan 30 persen keterwakilan perempuan. Dalam hal kepengurusan partai politik, di tingkat pusat wajib menyertakan keterwakilan perempuan 30 persen, dan memperhatikan keterwakilan perempuan 30 persen untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota. (Amal/Hasin)