Dia memaparkan, di Madura khususnya di Bangkalan dan Sampang selama ini ada tiga patron, yakni patron ulama yang direpresentasikan oleh kiai, patron umaro yang direpresentasikan oleh pemimpin pemerintahan dan patron blater yang direpresentasikan oleh tokoh yang sangat berpengaruh dan bisa mengkontaminasi perilaku masyarakat.
Menurut dia, sejauh ini patron blater dipandang sebagai sosok atau bahkan kelompok yang identik dengan hal-hal yang negatif. Padahal blater itu adalah sosok yang suka menolong.
Bahkan jika dilihat dari sejarahnya, kata dia, kemunculan blater ini berawal dari kebuntuan komunikasi masyarakat dengan dua patron lainnya (ulama dan umaro) ketika ada permasalahan sosial, karena untuk bertemu dengan dua patron itu harus menunggu waktu tertentu.
Sehingga akhirnya masyarakat mendatangi tokoh yang sekarang dikenal dengan istilah blater ini karena dinilai lebih mudah melakukan komunikasi ketika ada permasalahan.
“Dengan buku ini saya ingin meluruskan persepsi masyarakat tentang blater yang dikonotasikan terhadap bajingan seperti yang ditulis oleh beberapa tokoh dan akademisi,” katanya.