Meski begitu, petugas masih melakukan penyidikan lanjutan terhadap upaya penyelundupan tersebut. Hingga saat ini, masih belum diketahui asal BBL termasuk siapa pelaku utamanya. Seluruh informasi masih terputus dan masih terus ditindak lanjuti.
Atas perbuatannya, ST diduga melanggar pasal 102A UU No. 17 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. Yaitu dengan ancaman pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 10 tahun.
“Selain itu, pidana denda paling
sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 5 miliar,” jelas Heru.
Kepala Balai Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Surabaya 1 Suprayogi mengatakan, sejatinya benih lobster boleh ditangkap. Namun sesuai dengan aturan yang ada hanya boleh dibudidayakan di Indonesia.
Sementara sebagian barang bukti yang berhasil diamankan telah dikirim ke Akademi Perikanan Sidoarjo (APS) untuk diteliti dan untuk dibudidayakan. “Kalau dulu kan enggak boleh ditankap. Sekarang boleh tapi harus dibudidayakan di wilayah Indonesia,” paparnya.
Sehingga jika ada masyarakat yang membawa baby lobster, maka harus punya surat keterangan asal barang. Surat itu dikeluarkan eleh dinas perikanan kabupaten setempat. Sehingga dilarang untuk diekspor ke luar wilayah Indonesia.
“Boleh kalau keluar, tapi setelah ukuran 150 gram untuk lobster jenis pasir, dan di atas 200 gram untuk jenis mutiara. Nah, ini baru boleh diekspor. Ketentuannya seperti itu,” katanya.
Kepala Kanwil Bea Cukai Jawa Timur I, Padmoyo Tri Wikanto menyebut, pelarangan ekspor baby lobster bukan tanpa alasan. Hal tersebut agar nilai ekonominya ada di Indonesia. Sehingga dari ketentuan yang ada wajib dibudidayakan di wilayah Indonesia kecuali jika sudah mencapai batas ukuran tertentu.
“Kalau mengenai tindak lanjut, kami sudah tetapkan tersangkanya. Tapi ini penyidikan masih terus berlanjut. Kami report terus nanti perkembangannya dan berkasnya,” jelasnya. (Imam Hambali/Hasin)