BANGKALAN, Lingkarjatim.com – Anggota Komisi E DPRD Jawa Timur, Mathur Husyairi menyebut program pemerintah provinsi Jawa Timur belum maksimal selama satu tahun kepemimpinannya.
Ada beberapa poin yang disoroti dewan asal Bangkalan itu terkait program gubernur Jatim, mulai dari program Gratis Berkualitas (tistas), PKH Plus hingga Big Data.
Terkait program Tistas, Mathur mengatakan, pada kenyataannya program di bidang pendidikan itu belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan.
“Faktanya program itu belum benar-benar gratis, karena Biaya Ppenunjang Operasional Penyelenggaraan Pendidikan (BPOPP) belum bisa memenuhi kebutuhan, meskipun ditopang dengan dana BOS,” kata dia, Kamis (13/02).
Hasil serap aspirasi dengan mengunjungi beberapa di Jawa Timur (Mojokerto, Lumajang, Jember, Tuban dan Bojonegoro), lanjut dia, semua kepala sekolah baik negeri maupun swasta, masih banyak keluhan di pembiayaan pendidikan.
“Idealnya biaya pendidikan SMA/SMK per anak per tahun adalah Rp. 4 juta. Tetapi dengan jargon TisTas masyarakat memahami semuanya gratis tis, dan itu menjadi dilema bagi Kepala Sekolah,” lanjut dia.
Menurut Mathur, program tistas itu masih belum terukur hasilnya, karena belum ada kajian evaluasi yang komperehensif. Kata dia, dalam realisasi janji kampanye, seperti seragam gratis juga masih gagal dan membohongi masyarakat.
“Gratisnya saja masih memunculkan masalah baru, bagaimana bisa berkualitas?,” tanya dia.
Selain itu, Mathur juga menyoroti di bidang sosial, menurut dia, program Gubernur di bidang sosial juga masih belum berhasil, masih banyak ditemukan masyarakat yang membutuhkn tetapi belum tercover.
“PKH plus juga terkesan masih senyap. Penentuan kabupaten prioritas untuk PKH plus dan program 15 Kabupaten juga belum manunjukkan hasil yang terukur,” kata dia.
“Seharusnya Pemprov Jatim tidak hanya fokus di 15 Kabupaten, tetapi 38 Kabupaten/Kota, meskipun dengan proporsi alokasi yang menyesuaikan,” tambah dia.
Kemudian, Mathur juga menyoroti program Big Data yang dijanjikan untuk meningkatkan layanan maupun transparansi. Menurut dia, program itu juga belum terbukti secara riil.
“OPD-OPD terkesan setengah hati untuk mendukung Big Data. Publik sangat sulit mengakses informasi, UU Nomor 14 Tahun 2008 seolah mau dikebiri dengan Pergub Nomor 8 Tahun 2018. Saya sebagai pegiat keterbukaan informasi publik, minta Gubernur untuk mencabutnya,” pinta dia.
Masih kata Mathur, berdasarkan pengamatannya, beberapa program seperti Milenial Job Center di bakorwil-bakorwil juga belum jalan. Bukti koordinasi dengan OPD tak jalan.
Mathur juga mengatakan, untuk program One Pesantren One Product (OPOP) juga belum ada dampak yang nyata. Menurut dia, seharusnya pesantren bukan di dorong untuk hasilkan produk melainkan menghasilkan Sumberdaya Manusia (SDM) yang berkualitas. Sehingga produk menjadi bagian dari hasil SDM yang berkualitas itu.
“Apa yang terjadi saat ini dengan OPOP hanyalah kegiatan formalitas membranding produk yang sudah go publik. Kesannya hanya tebar dana hibah layaknya Sinterklas, sekedar memenuhi janji saat kampanye,” kata dia.
Politisi Fraksi PBB itu juga menyampaikan, Gubernur dan Wakil Gubernur terlalu banyak mengeluarkan akronim-akronim program yang tidak bisa segera dieksekusi karena tidak sinkron dengan anggaran yang direncanakan dan dianggarkan di masing-masing OPD.
“Ada pos anggaran besar di rekening hibah dan bagi hasil dengan nilai trilyunan, tapi tidak ada data yang terukur tentang dampak bagi kesejahteraan dan meningkatkan ekonomi,” ujar dia.
Tak hanya itu, Mathur juga menyoroti terkait kontribusi dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Menurutnya, belum ada perbaikan yang signifikan dalam pengelolaan dan kontribusi BUMD.
“Diluar Bank Jatim, seperti BUMD yang mengelola Puspa Agro, PWU dan sebagainya,” ucap dia (Moh Iksan)