SUMENEP, Lingkarjatim.com — Selama ini, Desa Karduluk, Kecamatan Peragaan, Kabupaten Sumenep dikenal dengan nama kota ukir. Bukan tanpa alasan, sebutan ini, karena di desa Karduluk, hampir semua masyarakatnya berpencaharian seni ukir.
Jika ke desa di kecamatan yang berbatasan dengan Kabupaten Pamekasan ini, disetiap emperan warga akan terlihat tumpukan batangan kayu. Tumpukan itu bukan kayu bakar, melainkan kayu yang digunakan sebagai bahan dasar seni ukir.
Aktifitas mengukir di desa ini adalah aktifitas turun temurun sejak dulu kala. Sejak nenek moyang masyarakat ini, rata-rata memang pengusaha meubel. Maklum, jika pesanan ukiran mulai dari kursi, lemari, ranjang, kusen rumah, hingga ukiran untuk pajangan setiap hari berdatangan. Calon pembeli bisa datang sendiri ke desa ini, dan memesan ukiran sesuai keinginan.
Salah satu pengusaha meubel di desa ini, Arifin mengungkapkan, dari saking ramainya pemesan, dalam sebulan bisa berpendapatan hingga Rp 30 juta. Jika agak sepi, tak menurun jauh, dikisaran Rp 20 juta.
“Omset perbulan sih tidak tentu, kadang Rp 15 juta, bahkan kadang sampai Rp 30 juta, tergantung pada banyaknya pesanan dari pelanggan,” kata lelaki 29 tahun asal Dusun Somangkaan itu.
Ternyata, ukiran masyarakat Desa Karduluk tidak hanya diminati warga lokal. Banyak dari luar kota, bahkan luar provinsi memesan ukiran pada pengrajin asal desa ini. Disamping kulitasnya yang memang menakjubkan, harganya juga relatif terjangkau.
Kualitas hasil ukiran di desa ini memang tidak perlu diragkukan. Maklum, para pemuda di Desa Karduluk, sudah mulai memperlajari seni ukir sejak di bangku sekolah. Seperti Arifin misalkan, ia sudah menekuni seni ukir sejak duduk di bangku Madrasah Aliah (MA) di daerah setempat.
Anak-anak yang masih sekolah ini, disamping mengasah kemampuan untuk mengukir, tentu hal lain yang bisa didapatkan adalah penghasilan finansial. Karena hasil ukiran mereka senantiasa laku terjual. Hitung-hitung bisa digunakan biaya pendidikan meringankan beban orang tua.
Dulu, Arifin belajar memahat dan mengukir pada orang tua dan pamannya. Kini, dia sudah memiliki usaha meubel sendiri. Selain Arifin, juga banyak pemuda disini yang dulunya tidak punya usaha, kini punya usaha meubel.
“Seya belajar sejak usia 20 tahun, banyak manfaatnya, selain memang mengasah kemampuan, juga bisa dapat uang dari penjualan ukiran yang dihasilkan,” kata Arifin mengakhiri ceritanya. (Abdus Salam).