Oleh: Made Supriatma
Saya agak terlambat menulis obituari Arief Budiman yang baru saja pergi meninggalkan kita minggu yang lalu. Dia meninggalkan jejak yang sangat besar. Tidak saja dalam dunia intelektual namun juga dalam jagat aktivisme.
Saya tidak pernah mengenal Arief secara pribadi. Mungkin beberapa kali bersalaman ketika bertemu. Umumnya pada saat seminar. Apalah saya ketika dibandingkan dengan banyak orang yang mengelilingi beliau ketika itu.
Kesempatan bertemu lebih dekat sebenarnya ada ketika di Cornell. Dia datang mengisi seminar rutin Brown Bag. Kalau saya tidak salah itu tahun 1999. Saya tidak ingat apakah saya bicara dengan dia atau tidak. Mungkin tidak. Saya terlalu sibuk dengan kuliah yang untuk saya beratnya setengah hidup itu.
Ada juga satu kesempatan lain dia datang ke Cornell. Sesudah ceramah Arief tinggal sebentar. Dia menunggu sore untuk mengisi satu ceramah lagi. Dia menunggu di ruang seminar Kahin Center. Mungkin itulah satu-satunya kesempatan saya bicara dengan Arief secara one on one.
Seingat saya, kami bicara tentang adiknya Soe Hok Gie. “Dia lebih nekat daripada saya,” katanya. Selain itu kita bicara tentang rumahnya. “Jangan pernah bikin rumah dengan cara seperti itu. Kelihatan murah tapi itu mahal sekali,” katanya. Rumahnya di Jl. Kemiri Salatiga itu diarsiteki oleh YB Mangunwijaya. Tentu saja, Arief bercerita dengan sedikit bangga. Rumahnya yang asri itu menjadi salah satu ikon arsitektur Indonesia.
Ketika hendak menulis obituari ini, saya bertanya pada diri saya sendiri: Dimana letak Arief Budiman dalam peta intelektual dan aktivisme Indonesia? Tidak terlalu sulit sebenarnya menjawab pertanyaan ini. Arief adalah wakil dari sebuah generasi.
Dia adalah generasi pertama paska-Revolusi kemerdekaan. Dia turut menggulingkan Soekarno. Namun berbeda dengan rekan-rekan segenerasinya yang dikenal dengan sebutan Angkatan 66 itu, dia segera menjadi pengeritik rejim militer ini.
Arief juga anti-PKI. Dia menjadi salah satu penandatangan Manifesto Kebudayaan. Namun, dalam masa dewasanya, Arief justru menjadi salah satu dari sedikit cendekiawan yang memperkenalkan pikiran-pikiran neo-Marxis (meminjam istilah kawan saya Coen Husain Pontoh).
Arief memperoleh doktoratnya di Harvard University. Saya kira, tidak ada yang Marxis dari Harvard. Namun teori-teori yang dia adopsi justru berasal dari kalangan yang jauh dari mainstream. Teori-teori Dependencia seperti yang diperkenalkannya itu adalah teori yang marjinal dalam sistem ilmu pengetahuan sosial di Amerika ketika dia belajar.
Saya kira, kontradiksi-kontradiksi itulah yang menarik dari Arief dan yang membedakannya dari generasi intelektual sejamannya pada umumnya.
Selain itu, Arief adalah seorang yang mengawinkan dunia aktivisme dengan kegiatan akademiknya. Namun sekali lagi saya menangkap nuansa lain disini. Arief melihat aktivisme hanya semata sebagai gerakan moral. Dia tidak pernah tertarik pada organisasi yang kaku, yang setia pada doktrin dan ideologi. Sehingga, menurut saya, Arief menjadi sangat tipikal aktivis Orde Baru. Aktivisme adalah soal orang, soal ketokohan, soal ‘resi’ yang turun dari pertapaan membela rakyat yang perlu dibela.
Setelah selesai menulis, saya kembali merefleksikan, apa yang membedakan Arief dengan generasi intelektual dan aktivis masa kini? Saya kira, untuk saat-saat sekarang saya melihat bahwa dua dunia ini semakin berjarak.
Jauh lebih banyak orang belajar dan mendapat gelar doktor ketimbang pada jaman Arief. Namun sangat sedikit orang yang mencoba mengawinkan daya inteleknya itu untuk aktivisme. Tidak sedikit yang sinis dengan aktivisme.
Namun yang paling penting adalah dunia intelektual menjadi semakin terspesialisasi. Kotak-kotak keilmuan menjadi semakin kaku. Orang menghindar bicara kepada publik. Para intelektual tidak menjadikan dirinya mudah dimengerti oleh publik. Sebaliknya, keruwetan teoritik menjadi simbol kecerdasan dan ketinggian derajat.
Sebaliknya yang terjadi pada dunia aktivisme. Disini kemerosotan juga terjadi. Tidak ada yang lebih buruk pada saat ini ketimbang mendapat gelar “aktivis” terutama yang kiri. Menjadi aktivis tidak ubahnya dengan menjadi preman. Sesungguhnya para preman pulalah yang telah membajak makna aktivisme. Betapa mudahnya mereka yang semula adalah aktivis kemudian terdistorsi menjadi sekedar operator politik.
Berdasarkan hal ini, saya kira, Arief Budiman adalah sebuah contoh dari apa yang dinamakan sebagai intelektual publik dalam pengertian sebenarnya. Profesi akademisnya tidak hanya berbicara pada kalangan terbatas di universitas. Dia berusaha merengkuh banyak segmen diluarnya. Arief memiliki keahlian menyampaikan sesuatu dengan sederhana tanpa kehilangan keeleganan dari apa yang disampaikannya.
Dengan tetap menjaga sebagai kekuatan moral, Arief juga tidak mudah jatuh untuk menjadi operator politik. Tidak harus mengabdikan diri untuk seorang politisi dengan dalih meneruskan idealisme perjuangan.
Dimanakah kuncinya? Saya kira itu ada pada satu hal: kemerdekaan. Termasuk kemerdekaan dalam hal keuangan. Yang terakhir ini mungkin paling sulit. Namun kriterianya lumayan gampang: Apakah yang memberikan uang itu mengontrol kemerdekaan saya dalam berpikir dan mengambil keputusan? Saya kira, sikap Arief Budiman sangat jelas dalam hal ini.
Selamat jalan Pak Arief!
*)Penulis adalah seorang pengamat militer