Ia menjelaskan, bahwa dalam UU TPKS, ada pasal yang menyatakan terdapat tiga alat bukti. Yakni 1 saksi atau korban, 1 alat bukti lain, dan keyakinan hakim.
“Pertama, tadi saya katakan keterangan saksi termasuk korban validitasnya sangat meragukan, berarti keyakinan hakim (dapat) tumbang, berarti tinggal 1 alat bukti lain, hadirkan ke persidangan ada tidak bahwa sudah terjadi kejahatan seksual itu, kalau tidak ada ya maaf kata, hakim dengan berat hati harus mengatakan tidak terbukti dakwaannya,” tuturnya.
Selain itu, lanjut Reza, keterangan saksi yang rapuh, seyogyanya tidak bisa meyakinkan hakim. Pun dengan tidak adanya alat bukti lain yang meyakinkan terdakwa bersalah, seperti halnya visum. Oleh karena itu, Reza menerangkan bila visum adalah alat bukti lain yang bisa meyakinkan hakim dan memperkuat dakwaan.
“Silakan diajukan hasil visumnya, meyakinkan atau tidak. Kalau meragukan, 3 hal yang dibutuhkan sesuai UU TPKS ya tidak tersedia,” katanya.
Selain itu, ihwal keterangan yang disampaikan setiap saksi yang dihadirkan, menurutnya hal tersebut rapuh. Artinya, mustahil bisa meyakinkan hakim sebelum menjatuhkan putusan.
“Kita bicara per individu, baik saksi A, B, C dan seterusnya, baik itu pengakuan korban secara umum psikologi forensik sampai pada sebuah kesimpulan bahwa keterangan yang mengandalkan daya ingat manusia itu rapuh serapuh-rapuhnya, itu kata psikologi forensik,” sambungnya.
Kendati demikian, ia meminta khalayak untuk tidak salah kaprah dengan pernyataan yang ia sampaikan. Meski, seolah kontra atau tidak berpihak ke korban.
“Saya berulang kali katakan, kalau ada korban kejahatan seksual, maka seluruh keperluannya harus terpenuhi. Tapi, agar bisa definitif, punya status korban, tentu saja proses penegakan hukumnya harus benar,” paparnya.