SIDOARJO, Lingkarjatim.com – Upaya penanganan virus corona (Covid-19) dengan berbasis desa di Sidoarjo dinilai tumpang tindih dan sengkarut. Hal ini dikemukakan oleh Listiyono Santoso akademisi dari Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, penanganan covid berbasis desa harusnya menguatkan konsep desa tanggap covid 19 yang sudah dibentuk.
“Bukan malah melemahkan apalagi membuat tumpang tindihnya kewenangan,” kata Listiyono Santoso, Jumat (05/06/2020)
Dijelaskan Listiyono, konsep kampung tangguh yang berbasis RW itu menguatkan desa tanggap covid bukan malah melahirkan konflik baru atau benturan. Seperti halnya bantuan kucuran dana Rp 3 juta untuk RW bisa sia-sia kalau kemudian hanya sekedar bantuan transport dan mamin.
“Dan harusnya kampung tangguh sesuai konsep pemkab diajukan oleh RW yang warga nya ada yang kena positif Covid. Lalu kemudian disahkan oleh desa, baru bantuan dari pemkab diberikan ke kampung tangguh yang disahkan oleh desa tersebut,” ujarnya.
Masih kata Listiyono, ini artinya, tidak setiap RW perlu dapat bantuan Rp 3 juta, melainkan hanya RW tertentu di desa tersebut yang memang harus memenuhi syarat kampung tangguh. Jadi bantuan Rp 3 juta sangat tak berefek apapun dalam penanganan covid 19.
“Seharusnya pemkab membuat kajian yang matang dalam konteks ini dengan bekerjasama desa, melibatkan praktisi lapangan yang sudah membantu suport penanganan covid 19” imbuhnya.
Ditambahkan Listiyono, jadi kampung tangguh yang diajukan oleh RW dan disahkan oleh desa itulah yang kemudian layak mendapatkan bantuan dari pemkab bukan hanya sebesar Rp 3 juta, akan tetapi malah ini dibagi rata tetapi tidak dianalisis kebutuhannya.
“Seharusnya pemkab meminta desa melakukan pendataan posko aktif di tingkat RT atau RW kepada desa apalagi yang mau ditetapkan sebagai basis kampung tangguh baru kemudian menganalisis kebutuhan anggaran operasional,” ucapnya.
Oleh karena itu, sehingga yang dibutuhkan sebagai posko penanganan covid 19 untuk benar-benar berfungsi melakukan check point secara menyeluruh. Bukan sekedar mengingatkan warga menggunakan masker saja.
“Dengan kondisi seperti ini harusnya tidak boleh terjadi,” tukas Listiyono yang juga ketua RT di wilayah Buduran. (Imam Hambali)