Oleh: Musthofa Aldo
Sepulang dari Banyuwangi, Bupati Bangkalan Abdul Latief terkesima oleh Mall Pelayanan Publik (MPP) di kabupaten yang dulu dikenal karena persantetan itu.
Wajar bila bupati tertarik. Sebab MPP memudahkan segala ihwal perizinan. Ngurus KTP cuma hitungan menit. Ngurus IMB, amdal dan izin lainnya bisa ditunggu.
Dan posisi dalam Mall bertujuan agar warga tak jenuh menunggu. Mereka bisa jalan-jalan dan belanja kebutuhan harian sembari menunggu semua urusannya kelar.
Maka, sepulang dari Banyuwangi, Bupati memanggil Ainul Gufron. Ia tugasi Kepala Perizinan itu untuk belajar langsung tentang MPP ke Pemkab Banyuwangi. Agar bisa diterapkan di Bangkalan.
Sepulang belajar, Ainul meyakinkan bupati bahwa MPP bisa diadopsi, apalagi sudah ada Bangkalan Plaza. Kalkukasi Ainul, MPP bisa direalisasikan mulai 2020.
Sayang, ada kabar tak sedap dari birokrasi. Konon ada yang tak setuju penerapan MPP.
Mendengar kabar Penolakan semacam ini, saya jadi teringat cerita Jokowi saat pertama kali jadi Walikota Solo, persis dialami Bupati Bangkalan, bila kabar penolakan MPP itu bukan isapan jempol.
Saat periode pertama jadi Walikota, Jokowi membuat “rembug Solo”. Pentolan-pentolan masyarakat ia undang sampai tingkat kelurahan. Ada 600 orang dalam setiap pertemuan.
Meski temanya ‘rembugan’ tapi isinya caci maki dan mencurahkan kekesalannya kepada pemerintah. Jokowi hanya diam dan mencatat semua keluhan itu.
Salah satunya soal KTP.
Warga Solo mengeluh karena proses membuat KTP bisa sampai dua bulan, itupun harus nyogok petugas dengan uang tak sedikit. Jokowi berjanji pembuatan KTP maksimal satu jam dengan biaya administrasi Rp 5.000.
Ia kumpulkan pejabat di bawahnya dan menyampaikan gagasan itu. Tak sedikit yang menolak meski sudah dijelaskan manfaatnya.
Pejabat yang plintat-plintut dengan rencana itu ia ganti. Hanya sekali mereka yang menolak diajak rembugan. Ia cari orang yang setuju dengan gagasannya. Dan membuat KTP kini tak kurang satu jam.
Begitulah, Jokowi menjinakkan birokrasi yang lelet. Hasil mengefektifkan manajemen birokrasi itu, Solo bisa menambah pendapatan asli daerah dari Rp 50 miliar menjadi Rp 176 miliar.
“Itu hanya merapikan, loh, bukan menambah pos seperti menaikkan restribusi,” kata Jokowi dikutip dari blog catataniseng.com.
Bagaimana Jokowi menaklukkan Solo hingga di periode ke dua terpilih lagi dengan peroleh suara 96 persen, bisa ditiru Bupati Bangkalan.
Memecat bukan berarti membenci. Sebab pejabat seyogyanya adalah pembantu bupati. Maka mereka tak berhak menolak gagasan bupati demi pelayanan publik yang lebih baik.
*) Pemimpin Redaksi lingkarjatim.com