H. Syafiuddin, S.Sos *
..Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak)”
“Bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itoe djadi fardloe kifayah (jang tjoekoep kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…).”
Inilah Petikan pidato Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari dalam resolusi jihad NU di Surabaya 22 Oktober 1945.
Pidato ini mampumenggugah dan menggertarkan semangat perjuangan para pemuda dalam melawan penjajah, yang kemudian ini disebut sebagai cikal bakal peristiwa 10 Nopember di Surabaya dan sampai hari ini diperingati sebagai hari pahlawan.
Jika di zaman itu seruan kewajiban untuk berjihad melawan penjajah bahkan seruan mati syahid di medan perang demi kemerdakaan bangsa Indonesia. Maka di zaman millenial sekarang ini, Fatwa seorang kiai yang sangat fenomenal Sangatlah perlu di gelorakan kembali oleh para kiai dan tokoh NU kepada para pemuda dan santri di zaman sekarang ini.
Menggelorakan nilai-nilai dan Ghiroh Resolusi jihad 45 dalam konteks hari ini, bukan lagi berperang di medan tempur seperti dahulu kala. sekalipun kita sudah merdeka sebagai bangsa namun bagi saya tidak melunturkan kewajiban kita berjihad dalam berperang.
Namun konteks hari ini kita semua utamanya kaum santri, ustad, dan semua elemen masyarakat wajib memerangi kebodohan, kemiskinan, ketidak adilan social serta ideologi keagamaan yang merongrong pancasila dan NKRI.
Bukan hal baru bahwa pesantren telah memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan SDM di negeri ini, jihad yang dilakukan untuk mencerdaskan manusia di negeri telah dilakukan sejak bangsa ini belum merdeka.
Namun jihad kita utamanya kaum nahdliyin harus tetap berkobar melawan kebodohan sebab tidak semua pesantren mau membuka diri untuk keilmuan-keilmuan yang hari ini dibutuhkan dalam persaingan memajukan bangsa dan hal ini saya masih bisa melihat dan merasakan uatamanya di pesantren Madura.
Saya masih melihat pola pikir dikotomi pendidikan di Madura. Upaya penyadaran di kalangan masyarakat dan dunia pesantren di Madura harus kita lakukan bersama bahwa pendidikan itu tidak melulu pendidakan yang berbasis keagamaan.
Hifdul Aql yang biasanya dijadikan prinsip oleh kalangan nahdlyin harus di maknai secara luas bahwa itu adalah bagian dari prinsip kebebasan untuk kita semua mempelajari ilmu apapun.
Betapa mirisnya dua kabupaten Kota di Madura masuk pada kabupaten/kota dengan indeks SDM terendah se jawa timur. ini kewajiban kita semua dalam memerangi dan mengentaskan kebodohan generasi bangsa utamanya kaum santri Madura.
Yang kedua menjadi kewajiban kita semua dalam memerangi dan mengentaskan kemiskinan, saya juga masih melihat angka kemiskinan yang begitu besar di Madura.
Saya berharap dengan pengentasan kebodohan berbanding lurus dengan pengentasan kemiskinan di Madura ini.
Dan yang Ketiga perang melawan ketidak adilan social juga perlu digalakan bersama, bagaimana ketimpangan dan disparitas social di pangkas sekecil mungkin, baik itu dari segi pendidikan, hokum, ekonomi dan pembangunan.
Terakhir menjadi tugas kita bersama melawan dan memerangi ideology yang tidak sejalan dengan ideology pancasila. Hari ini benih-benih ideology islam eklusif yang selama ini tidur dan senyap meraka terbangun dan melakukan ajakan secara terang-terangan.
Tugas “para santri” dan kita semua melawan dan membendung ideology semacam itu. Pesantren harus menjadi benteng dalam menjaga tradisi islam moderat,yang menjung tinggi nilai-nilai keislaman yang sesuai kompetble dengan nilai-nilai tradisi nusatara.
*)Penulis adalah Putera Madura, kini Anggota DPRI RI dari PKB