Berdasarkan data yang diperoleh dari sumber terpercaya yang sengaja redaksi tidak menyebutkan identitasnya mengatakan bahwa salah satu rumah makan di Bangkalan dengan satu cabang saja per hari minimal dalam keadaan paling sepi bisa melakukan transaksi sebanyak tiga ribu porsi makanan.
“Paling sepi, 3000 porsi di satu cabang,” tuturnya.
Maka dari itu penulis mencoba menghitung potensi pajak dari salah satu rumah makan dengan perhitunga sebagai berikut. Sepuluh persen dari Rp 28.000 (harga satu porsi nasi bebek) sama dengan Rp. 2.800 dikali 3000 (jumlah transaksi perhari) sama dengan Rp. 8.400.000 dikali 30 (jumlah hari dalam satu bulan) sama dengan Rp. 252.000.000 dikali 12 (Jumlah bulan dalam satu tahun) sama dengan Rp. 3.024.000.000 (Tiga Miliar Dua Puluh Empat Juta rupiah) merupakan potensi pajak dari hanya satu rumah makan di Bangkalan dalam keadaan paling sepi.
Sedangkan di Bangkalan terdapat lebih dari 300 rumah makan yang tercatat sebagai wajib pajak.
“Kalau wajib pajaknya terdiri dari restauran besar dan kecil lebih dari 300,” papar Ismed Senin (21/02/22) lalu.
Faktanya pemerintah hanya menargetkan pendapatan PAD dari sektor pajak hotel dan restoran atau rumah makan hanya sebesar Rp 5 Miliar saja, padahal potensi satu cabang rumah makan saja berdasarkan perhitungan diatas sudah mencapai Rp 3 Miliar lebih belum rumah makan lainnya dan belum juga dari realisasi pajak Hotel. Lalu bagaimana cara Pemerintah Bangkalan melakukan perhitungan dalam menentukan target PAD pajak hotel dan restoran sebesar 5 Miliar tersebut ?
Direktur Rumah Advokasi Rakyat, Risang Bima Wijaya beberapa waktu yang lalu sempat menanggapi bahwa setoran pajak di Bangkalan tidak masuk akal. Bagaimana tidak dari ratusan restoran dan rumah makan wajib pajak yang buka di Bangkalan, jumlah pajak yang terkumpul waktu itu hanya Rp 48 juta perbulan.
“Mestinya lebih dari itu (48 juta),” ucap Risang Senin (21/02/22).