Menu

Mode Gelap

OPINI · 19 Nov 2020 06:11 WIB ·

Pembelajaran Sastra Berbasis Produk


Pembelajaran Sastra Berbasis Produk Perbesar

Oleh : Abdul Halim, S.Pd *

Sudah saatnya pembelajaran sastra di ruang pendidikan seperti di sekolah-sekolah tidak sekadar pembahasan kognisinya (pengetahuan) saja. Guru mata pelajaran dalam hal ini yang bertugas di bidang sastra menuntut orientasinya menghasilkan produk kekaryaan dari dan oleh peserta didik.

Para siswa pun tidak semestinya hanya cukup paham dan mengerti tentang materi sastra lalu enggan untuk mengembangkan. Melainkan harus mampu menjadikan pengetahuan dan pemahamannya kemudian menjadi keterampilan yang akan dimunculkan sebagai ajang kreatifitas.

Tentu saja karya tersebut nantinya selain sebagai edukasi juga sebagai pembentukan karakter lintas generasi dalam hal ini yaitu peserta didik. Sastra yang baik selalu mengajak masyarakat menjunjung tinggi norma-norma moral, bahkan sastra dipandang sebagai sarana pendidikan moral (Darma, 1985:105).

Ada dua fokus penting bagaimana kegiatan belajar mengajar dengan materi sastra berjalan dengan baik, terletak pada korelasi antara guru sebagai motivator di kelas dengan peserta didik sebagai capaian indikator untuk menciptakan.

Korelasi dua pihak ini senantiasa menjadi kesamaan tujuan agar jalannya pembelajaran sastra menjadi materi yang menyenangkan. Tetapi tidak sedikit dalam kasus pembelajaran ditemukan bahwa materi sastra dianngap kurang menarik.

Nah, terkait permasalahan ini Olivia (2009: 7) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa dalam proses pembelajaran siswa terkesan pasif dikarenakan memungkinkan cara guru dalam menyampaikan materi kurang inovatif. Sedangkan bagi siswa menuntut perhatiannya untuk bagaimana minat dan keinginannya tinggi dalam mengikuti mata pelajaran.

Khusus untuk materi sastra dengan indikator capaian pengetahuan, sebenarnya siswa cukup menguasainya dari beberapa aspek saja. Misalnya, materi puisi. Siswa hanya dikenalkan dan dijelaskan pengertian puisi, ciri-ciri puisi, kebahasaan puisi, dan hal lainnya yang menyangkut aspek pusi.

Begitu juga pada cerpen, novel, hikayat, dan naskah kreatif lainnya yang memungkinkan hanya membutuhkan waktu sebentar muntuk memahami dan mengetahuinya. Persoalannya adalah, langkah apa yang akan dilakukan agar peserta didik mampu dan terampil untuk tujuan membuat atau menciptakan karya?

Dalam pembahasan ini mencoba mengidentifikasi dari dua pihak sebagai komponen penting dalam lingkungan belajar, yaitu guru sebagai subyek penentu keberhasilan dan peserta didik atau siswa sebagai objek tujuan dan harapan pemebelajaran terkait materi sastra.

Pada sekelumit wacana di atas disinggung persoalan guru bidang studi bahasa dan sastra untuk melaksanakan pembelajaran yang inovatif dan kreatif agar materi tersampaikan dengan baik dan lancar. Apalagi bagi guru yang mempunyai latar belakang pendidikan yang utama tentang materi sastra. Artinya, linieritas guru pada suatu materi khusus dianggap lebih mumpuni dari segala aspek pengajaran dan tujuan. Lalu, langkah apa yang dipelukan?

Setidaknya ada tiga hal penting yang harus dipertimbangkan guru. Pertama, guru berusaha memberikan contoh produk karya baik secara tertulis maupun lisan tentang materi yang diberikan. Sebisa mungkin, guru memberikan pancingan kepada siswa bahwa segalanya bisa dilakukan dan dicoba. Misalnya, guru memberikan hasil tulisan puisi karya sendiri dengan segala analisis isinya daripada menyajikan materi puisi dari karya orang lain.

Begitupun membaca puisi. Guru mampu mempraktikkan contoh baca puisi di hadapan siswa sebelum mencari contoh membaca puisi dari hasil orang lain pula. Begitu pula materi sastra lainnya, yang mengidealkan hasil karya guru terlebih dahulu sebelum memperluas wahana karya dari luar meskipun hanya beberapa hasil karya.

Kedua, guru berusaha menyeimbangkan motivasi dan psikis anak. Kemampuan berpikir antar siswa tentu saja berbeda. Apakah faktor siswa sedang mengalami emosi berlebihan atau ringan, guru sebaiknya bisa menebaknya. Dalam artian, ketika penugasan materi diberikan, tidak perlu menemukan tema yang terlalu berat.

Berusaha menemukan tema lingkungan yang ada di sekitar dianggap sudah cukup daripada tema yang telalu berat seperti politik, hukum, kritik sosial dan tentang lainnya yang membuat siswa butuh waktu panjang bereksperimen.

Mengapa begitu? Langkah ini pernah disinggung oleh Prof. Suwarsih (http://ganeca.blogspirit.com), beliau mengatakan pengajaran sastra dapat memberikan andil yang signifikan terhadap keberhasilan pengembangan manusia yang diinginkan, asalkan dilaksanakan dengan pendekatan yang tepat, yaitu pendekatan yang dapat merangsang terjadinya olah hati, olah rasa, olah pikir dan olah raga.

Ketiga, pemanfaatan digitalisasi. Konteks inovatif dan kreatif masa kini tak bisa dipungkiri karena unsur digitalisasi yang diprlukan. Dalam hal penugasan materi sastra kepada siswa, khususnya bagi siswa pemalu, pendiam, dan beban psikologi lainnya, dapat memanfaatkan media audio, visual, atau keduanya sekaligus yaitu audio visual.

Konteks siswa dengan beban psikologi tidak perlu dipaksakan dengan cara sistemik. Misalnya, siswa malu menampilkan dirinya secara lisan di hadapan orang banyak, dapat melalui video yang akan disampaikan. Siswa yang tidak percaya diri, dapat dilakukan dengan jarak jauh. Yang penting ada minat siswa dari tugas yang hendak dicapai.

Menambah semangat literasi Apakah maksudnya? Kemungkinan siswa butuh tambahan literasi, maka dukungan penguatan literasi harus dipenuhi. Ketika siswa butuh buku bacaan mengenai sastra, maka buku diusahakan ada.

Bisa jadi imajinasi anak perlu satu tulisan meski dianggap rawan plagiat. Tetapi dampingan guru sangat diperlukan untuk menuntun, membantu mengolah, dan memberikan masukan terkait materi.

Tak kalah penting, yaitu adanya wadah ekpresi dan apresiasi. Selain pembelajaran di dalam kelas, bisa memfungsikan diri di luar kelas atau di luar sekolah. Misalnya ekstrakurikuler, komunitas, dan wadah lainnya yang berhubungan dengan mentalitas.

Kurang percaya diri bisa diselamatkan dengan adanya banyak teman yang memberi masukan. Sehingga keinginan untuk mengembangkan akan terasa lebih berkeinginan.

Persolan psikis seorang anak hanya bisa dikendalikan dengan motivasi, pengayoman dan memberi kepercayaan. Anak akan berani tampil atau menunjukkan hasil sesuatunya di permukaan umum, jika tanpa melihat sejauhmana hasil yang diperagakan. Dalam artian yang penting berani tampil apapaun hasilnya harus diapresisasi sebagai sikap penghargaan.

Jika sudah demikian, setidaknya memancing rasa penasaran anak dalam hal ini adalah siswa untuk menemukan jati dirinya melakukan lebih baik lagi dan lebih percaya diri mencari tantangan menuju hal kreatifitas.

Ruang pendidikan ternyata tidak cukup hanya sebatas mendapatkan pengetahuan. Konteks abad-21 harus meyakinkan seseorang untuk berbuat atau melakukan sesuatu. Diiringi pula pada masa kini dengan era digitalisasi yang mestinya mengurangi hambatan dan alasan untuk tidak menghasilkan sesuatu hal.

Dalam pembelajaran, korelasi dan siswa harus berbasis pada tujuan dengan capaian proyek. Baik materi yang berhubungan dengan narasi (teks) atau nonteks (praktik). Kaidah pembelajaran berbasis proyek pada hakikatnya pada bagaimana mengukur mental terlebih dahulu dan bukan hasil baik.

Karena hasil baik akan terasa ketika adanya evaluasi dan refleksi diri. Maka pengembangan adalah bagian penting dari rencana tindak lanjut.

*Salah satu pengajar di SMKN 1 Labang

Facebook Comments Box
Artikel ini telah dibaca 5 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Memperluas Perspektif dalam Membaca Putusan MA Terkait Batasan Usia Cakada

3 June 2024 - 08:45 WIB

Memaknai Kalimat “Pj Bupati Bukan Tukang Sulap”

15 May 2024 - 13:48 WIB

Tak Punya Surat Persetujuan Partai, Bisakah Calon DPR/DPRD “GUGAT” di MK ?

2 May 2024 - 14:55 WIB

Tidak Ada Makan Siang Gratis 

12 February 2024 - 13:29 WIB

Prosfektif Peningkatan Ekonomi Rakyat dari Berbagai Pendekatan, Madura Layak Jadi Provinsi

18 December 2023 - 08:20 WIB

Anomali Putusan, MK Milik Siapa ?

17 October 2023 - 14:37 WIB

Trending di OPINI