Pilkada Sumenep dan Cara Achmad Fauzi Memupus Stigma ‘Wakil Bupati Tak Pernah Jadi Bupati’

Wakil Bupati Sumenep Ahmat Fauzi

SUMENEP, lingkarjatim.com –  Menjelang Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sumenep akhir tahun 2020 ini, sejumlah nama sudah muncul, bahkan sejumlah nama sudah mendaftar sebagai bakal calon bupati maupun wakil bupati ke sejumlah partai.

Nama-nama itu, tinggal nunggu restu partai yang akan mengusung, tentunya setelah memenuhi syarat 20 persen keterwakilan di kursi legislatif.

Nama-nama itu, sebut saja Wakil Bupati Sumenep saat ini, Achmad Fauzi, Anggota DPRD Jatim, Nurfitriana, mantan Anggota DPRD Jatim, Malik Efendi, Ketua DPC PPP Sumenep, Moh Salahuddin A Warits, hingga mantan Kadishub Jatim berdarah Sumenep, Fattah Jasin, dan nama lainnya.

Menjelang Pilbup ini, sejumlah isu koalisi antar partai sudah mulai diperbincangkan. Bukan itu saja, isu yang muncul juga fenomena masalalu yang dianggap sebagai rentetan sejarah pemilihan pemimpin di kabupaten ujung timur Pulau Madura. Salah satunya, tercatat dalam sejarah, mantan Wakil Bupati, tidak pernah naik grade menduduki kursi nomor 1 di Pemkab Sumenep.

Pasca reformasi, memang benar adanya, tidak pernah ada mantan Wakil Bupati Sumenep yang bisa mencapai puncak kariernya hingga menjabat sebagai Bupati Sumenep. Dalam 20 tahun terakhir, hal itu tidak pernah terjadi di kabupaten berlambang kuda terbang.

Di awal reformasi, tahun 2020 silam, kala itu pemilihan masih keterwakilan, bukan pemilu langsung, tapi oleh DPR sebagai representasi rakyat. Lalu, Moh. Ramdhan Siradj dipilih dan didaulat sebagai Bupati Sumenep dan Abdul Muiz sebagai Wakil Bupati Sumenep periode 2002-2005 dengan diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dimana, PKB saat itu adalah partai penguasa di legislatif.

Melihat Ramdhan Siradj, sebelumnya, sosok ulama asal Kecamatan Bluto itu bukanlah wakil bupati. Dia tidak menjabat sebagai orang nomor dua di Sumenep mendampingi Bupati Sumenep Periode 1995-2000, Soekarno Marsaid. Ramdhan Siradj juga tidak pernah menjabat wakil bupati sebelum periode kepemimpinan Soekarno Marsaid.

Pada pemilu 2005, disinilah hal yang dianggap rentetan sejarah pasca reformasi itu dimulai. Abdul Muiz, yang mendampingi Ramdhan Siradj diperiode sebelumnya hadir sebagai salah satu penantang. Dia mencoba keberuntungannya nyalon sebagai Bupati Sumenep.

Di pemilu ini, terdapat lima pasangan calon yang berkontestasi. Ramdhan-Muiz yang sebelumnya berpasangan, hadir sebagai sisi yang berbeda, mereka bersebrangan beradu keberuntungan untuk berebut kursi nomor satu di Pemkab Sumenep.

Tahun 2005, lima pasangan yang berkontestasi yakni pasangan A. Busyro Karim-Moh. Ramli, Afif Hasan-Malik Effendi, Moh. Ramdlan Siraj-Moh. Dachlan, Abdul Muiz-Siti Aisyah, dan pasangan Abdul Madjid Tawil-A. Wakir Abdullah.

Dengan pemilihan langsung pertama waktu itu, pasangan Ramdhan-Dachlan jadi pemenang. Ramdhan menjabat bupati untuk ke dua kalinya. Sementara itu, Abdul Muiz, mantan Wakil Bupati Sumenep era Ramdhan, kalah dan gagal naik grade menjadi Bupati Sumenep periode 2005-2009.

Semenjak saat itu, memang tidak ada mantan wakil Bupati Sumenep yang naik menjadi Bupati. Permasalahannya, bukan karena kalah ketika pemilihan. Namun, para wakil Bupati Sumenep itu tidak ada lagi yang ikut kontestasi politik dengan mencoba keberuntungan sebagai calon bupati.

Di Pilkada tahun 2009 misalkan, saat itu, Ramdhan Siradj yang sudah dua periode, tidak bisa lagi maju sebagai calon. Begitupula dengan wakilnya, Moch. Dahlan, mengikuti jejak Ramdhan, dia tidak nyalon. Dengan begitu, benar Dachlan tidak pernah menjabat Bupati Sumenep.

Di Pilkada tahun 2009, ada 7 calon yang berkontestasi, baik pasangan calon yang diusung oleh partai, maupun mereka yang berangkat dengan perseorangan. Dari 7 calon itu, tidak ada nama Ramdhan maupun Dachlan.

Pasangan yang berkontestasi waktu itu, yakni pasangan Abuya Busyro Karim-Soengkono Sidik yang diusung PKB dan PDI Perjuangan, pasangan Azasi Hasan-Dewi Khalifah yang diusung PBB dan PKNU, dan pasangan Ilyas Siradj-Rasik Rahman yang berangkat dari perseorangan.
   
Adapun pasangan lainnya, Bambang Mursalin-M Saleh Abdullah diusung Golkar, Demokrat, PKS, dan partai nonparlemen, pasangan Malik Effendi-Rahmad diusung PAN dan Hanura, pasangan Sugianto-M Muhsin Amir diusung PPP dan PDP, pasangan Samarudin Toyib-Abdul Kadir dari perseorangan, dan pasangan M Kafrawi-Djoko Sungkono dari perseorangan.

Setelah pilkada berlangsung dua putaran, pasangan Abuya Busyro Karim-Soengkono Sidik terpilih sebagai Bupati dan Wakil Bupati Sumenep. Diputaran kedua, pasangan Abuya Busyro Karim-Soengkono Sidik menang melawan pasangan Azasi Hasan-Dewi Khalifah.

Soal wakil bupati, apa yang terjadi di Pilkada Sumenep 2009, juga terjadi di Pilkada Sumenep 2015. Soengkono Sidik juga tidak naik grade menjadi Bupati Sumenep. Senada, bukan karena dia kalah dalam kontestasi, melainkan dia memang tidak ikut dalam kontestasi lima tahunan tersebut.

Pada Pilkada tahun 2015, Busyro Karim tidak lagi berpasangan dengan Soengkono, dia berpasangan Achmad Fauzi. Sebagai label petahana, pasangan itu melawan penantang, pasangan Zainal Abidin-Dewi Khalifah. Setelah meraih kemenangan, Busyro Karim menjabat Bupati Sumenep kedua kalinya, dia bergandengan dengan Achmad Fauzi sebagai wakilnya.

Dari rentetan pemilihan bupati dan wakil bupati itu, memang tidak ada mantan wakil bupati yang menjabat bupati. Namun catatannya, mantan wakil bupati yang ikut nyalon sebagai bupati, hanya ada satu kali, yakni Abd Muiz. Sisanya, tidak pernah ada yang nyalon.

Lalu, bagaimana dengan Pilkada Sumenep tahun 2020 ini? dimana Abuya Busro Karim tidak bisa nyalon lagi karena terhadang regulasi, akankah Achmad Fauzi gagal nyalon?, ataukah jika sebagai calon, Achmad Fauzi akan menggenapi rentetan sejarah yang pernah terjadi pada Abd Muiz di tahun 2005 silam?

Sekretaris DPC PDI Perjuangan Sumenep, Abrari tidak menampik, sejak reformasi tidak ada mantan wakil bupati berhasil menjabat sebagai bupati. Namun masih dalam catatan, wakil bupati yang ikut nyalon sebagai bupati, yakni Abd Muiz.

Untuk itu, Abrari menganggap, apa yang terjadi satu kali itu, tidak semudah yang distigmakan. Kisah Abd Muiz tidak bisa dijadikan sebagai dasar pijakan bahwa rentetan itu adalah sejarah yang terulang. Jikalau tidak pernah ada, dua pilkada berikutnya, 2009 dan 2015, tidak ada mantan wakil bupati yang nyalon.

Abrari menganggap, stigma yang dibangun di tengah-tengah masyarakat itu hanya sebagai bumbu politik menjelang pilkada. Yang terpenting, adalah persaingan sehat dan fair dalam kontestasi politik mendatang.

“Momentum seperti ini, banyak cara yang dilakukan pihak lain yang ingin memberikan stigma yang begitu, dan itu sah menurut saya. Yang terpenting bagi saya itu adalah bertarung secara sehat. Meninggikan diri tanpa menjatuhkan orang lain itu kan penting,” katanya.

Yang pasti, saat ini PDI Perjuangan adalah pemenang pemilu dalam skala nasional. Bukan saja di legislatif, PDI Perjuangan juga mengantarkan kadernya, Joko Widodo sebagai presiden Republik Indonesia untuk kedua kalinya.

Dengan demikian, Abrari menilai, apa yang terjadi pada skala nasional itu, akan diimbangi dengan apa yang akan dicapai di daerah, khususnya di Sumenep. “Dalam skala nasional, PDI itu kan pemenang, jadi keyakinan politik saya, pemenang secara skala nasional ini, tidak akan membiarkan sekutunya yang ada di bawah terkalahkan,” tambahnya.

Setidaknya, ada tiga modal dasar yang harus dipenuhi partai politik, maupun calonnya dalam momentum pilkada ini. Yakni modal politik, modal jaringan atau networking, dan modal finansial. Kata dia, dari tiga modal dasar ini, PDI Perjuangan sudah siap dan terpenuhi, termasuk modal jejaring dengan dibuktikan raihan lima kursi di DPRD Sumenep.

“Saya kira tiga rukun iman politik yang ada pada PDI ini ikut memberikan peluang bahwa PDI pada akhirnya menjadi partai yang besar, terutama di daerah Kabupaten Sumenep ini, mengikuti daerah-daerah lain yang juga menjadi pemenang. Katakanlah seperti Bali, seperti Belitar, seperti Ngawi, dan beberapa kota lainnya seperti di Banyuwangi. Itukan keyakinan politik saya,” jelasnya.

Lagi-lagi Abrari membantah, apa yang terjadi di pilkada masalalu itu adalah dasar pijakan. Dia mengisahkan, eksperimen yang hanya dilakukan satu kali, dan menuai kegagalan, maka masih bisa dilakukan eksperimen berikutnya. Sehingga apa yang terjadi di pertama itu, bisa diulang bahkan menuai keberhasilan di eksperimen berikutnya.

“Kalau teori penelitian, minimal kan dua sampai tiga, jadi misalkan saya melakukan eksperimentasi terhadap sesuatu, ketika eksperimen pertama itu tidak berhasil, kemudian eksperimen yang hanya satu kali ini, dibuat secara ilmiah dan dijadikan dasar pijakan, bahwa ini sejarah, dari saya berdiri, ini melawan dirinya sendiri. Jadi minimal dua sampai tiga kali, ini yang disebut sejarah terulang. Namun kan cuma terjadi satu kali,” ucap Abrari.

Lalu, mungkinkah Achmad Fauzi diusung PDI Perjuangan sebagai calon Bupati Sumenep?. Saat ini, Fauzi sendiri menjabat sebagai Ketua DPC PDI Perjuangan Sumenep. Sejak pendaftaran hingga penutupan penerimaan bakal calon Bupati Sumenep di DPC PDI Perjuangan Sumenep beberapa waktu lalu, Achmad Fauzi adalah satu-satunya orang yang mendaftar ke PDI Perjuangan sebagai bakal calon bupati.

Persoalannya, di DPRD Sumenep, PDI Perjuangan hanya memiliki 5 kursi, sehingga masih kurang 5 kursi untuk mencapai 20 persen keterwakilan sebagai syarat mutlak bagi partai mengusung calon bupati maupun wakil bupati. Untuk itu, PDI Perjuangan masih membutuhkan partai lagi, solusinya, berkoalisi dengan partai lain.

Untuk memenuhi syarat itu, Abrari mengaku sudah melakukan komunikasi dengan sejumlah partai untuk membentuk lingkaran koalisi. Hanya saja, partai apa saja yang sudah komunikasi itu, mantan Anggota DPRD Sumenep itu masih enggan membeberkannya.

Tapi yang pasti, pada saatnya nanti, dia akan membuka calon koalisi PDI Perjuangan itu. Termasuk kemungkinan, calon wakil bupati yang akan mendampingi Fauzi pada Pilbup Sumenep yang direncanakan dihelat 23 September 2020 mendatang. (Abdus Salam).

Leave a Comment