Oleh: Zainuddin
OPINI, Lingkarjatim.com – Memaksakan FDS (Full Day School) dalam lingkup pendidikan, sama saja dengan bunuh diri terhadap karakter. Muhajir sebagai menteri yang berasal dari Jawa Timur, bagi saya hidupnya terperangkap pada kerangka teoritik kaku dalam dunia kampus, tanpa menyadari realitas pendidikan yang ada di pedesaan.
Bahwa pendidikan Madrasah Diniyah (Madin) yang ada di pedesaan itulah sebenarnya salah satu penyelamat penting keutuhan NKRI. Lewat Madin itulah generasi bangsa bisa diselamatkan dari ancaman radikalisme agama.
Hasil riset yang dilakukan oleh Ach. Taufiqil Aziz, salah satu pengurus koordinator cabang (PKC) PMII Jawa Timur, bagian kaderisasi menyebutkan, bahwa persebaran pemuda yang terlibat dalam radikalisme ini berlatar pendidikan umum. Kering masalah agama. Sehingga berpikir skriptualis, literer dan tekstual.
Tentu saja, menerapkan FDS yang lalu akan mengancam terhadap pendidikan madrasah diniyah yang ada di pedesaan ini akan kian menyuburkan adanya radikalisme yang berkembang di perkotaan.
Pada sisi yang lain, FDS akan mengkerangkeng anak didik di sekolah. Sementera kondisi sekolah kini telah mulai menjauh dari realitas yang sebenarnya. Sekolah kadang pada derajat tertentu tidak mampu menjadikan anak didik bisa menjawab tantangan sebenarnya. Sekolah terpaku pada teori. Realitas memerlukan praktek yang kongkret. Dengan waktu yang kian banyak di ruangan kelas akan menyebabkan anak didik gagap terhadap realitas. Yang lahir dari sekolah yang mengesampingkan realitas, adalah sosok seperti Muhajir dan yang sejenis, bukan sosok pejuang sebagaimana Soekarno, Gus Dur dan lain lainnya.
FDS yang dipaksakan diterapkan menjadi salah satu penanda atas sosok Muhajir yang tak paham sejarah. Tokoh tokoh bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan adalah produk madrasah. Kiai Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah juga jebolah dari Madrasah. Bahkan lewat Kiai Ahmad Dahlan, bangsa ini belajar untuk memdalami agama lewat madrasah. Jika FDS lalu diterapkan dan menepikan madrasah yang sudah berabad abad lamanya melahirkan para pejuang, tentu Permendikbud 23 Tahun 2017 perlu disikapi serius. Bahkan jika perlu, Muhajir sebagai menteri harus mundur dari jabatannya, jika ternyata dirinya tidak paham dunia pendidikan, tak menghargai sejarah dan bahkan tidak mengindahkan aspirasi, kritik dari masyarakat bawah. Karena kata Soe Hok Gie, guru yang tak mau terhadap kritiknya baiknya berada di tong sampah.
Penulis adalah Ketua Umum PKC PMII JAWA TIMUR