JAKARTA, LingkarJatim.com- Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet Nenden Sekar Arum berpendapat, kasus meme stupa yang menjerat pakar telematika Roy Suryo merupakan bukti bahwa pasal karet di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dapat menyasar siapa saja.
“Ini buktilah bahwa pasal karet itu bisa menyasar siapa saja. Jadi mau anggota legislatif, mau ibu-ibu yang jual sayur di pasar, sangat bisa banget dikenai UU ITE”, ucap Nenden dalam acara Gaspol Kompas.com, Selasa (9/8/2022). Seperti yang telah sebelumnya di tulis di Media Kompas.com.
Padahal menurut Nenden, pemerintah melalui pedoman implementasi UU ITE sudah membatasi hal-hal mana saja yang bisa disebut sebagai penghinaan agama maupun ujaran kebencian.
Nenden pun menyoroti Pasal 28 Ayat (2) UU ITE yang disangkakan kepada Roy karena perbuatan Roy dianggap merupakan bentuk ujaran kebencian terkait isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
“Di situ dijelaskan bahwa yang dimaksud dalam ujaran kebencian itu adalah ketika ada upaya menghasut dan mengajak orang untuk melukai kelompok atau angggota SARA tertentu”, lanjutnya.
Sementara itu, ia juga menilai, aparat penegak hukum semestinya mencermati betul apakah gambar meme yang diunggah oleh Roy benar menghasut orang lain untuk membenci agama maupun kepercayaan tertentu atau tidak.
“Kalau ada hasutan, itu yang kemudian bisa banget kena Pasal 28 Ayat (2)”, kata Nenden.
Penyidik juga menjerat Roy Suryo dengan Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penodaan Agama dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, hingga Roy Suryo dijerat Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Adanya hal tersebut, ia dilaporkan ke polisi karena mengunggah meme gambar stupa Candi Borobudur yang bagian wajahnya diedit menjadi wajah Presiden Joko Widodo, hingga Roy dianggap melecehkan dan mengolok-olok Patung Sang Buddha karena mengunggah ulang gambar tersebut disertai kata “lucu” dan “ambyar”. (Lut).