Oleh : Jamil, S.H., M.H.*
Belakangan ini perjalanan pemilu tahun 2024, dihebohkan oleh Putusan MA No. 24 Tahun 2023 yang membatalkan cara pengitungan dengan pembulatan kebawah untuk keterpenuhan kuota 30% bagi calon legislative Perempuan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2023 (PKPU Pencalonan).
Aturan ini sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari feminist legal theory sebuah gerakan teori hukum yang ingin menghilangkan hubungan sosio yuridis yang patriarkis, (Bernard L.Tanya, 2013). Berangkat dari teori ini kemudian muncul gerakan affirmative (affirmative action) yaitu sebuah gerakan untuk memperlakukan Perempuan secara istimewa dibandingkan kaum laki-laki atau dengan kalimat lain gerakan diskrimatif untuk menghilangkan keadaan yang diskriminatif.
Gerakan ini muncul diberbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Dibidang pemilihan umum, Indonesia sudah memberlakukan konsep affirmative action sejak pemilu langsung pertama tahun 2004, (Psl 65 UU 12/2003). Kemudian mengalami penyempurnaan dari pemilu ke pemilu berikutnya.
Untuk pemilu tahun 2024 mendatang, penormaan affirmative action terlihat jelas dalam Pasal 245 UU 7/2017 (UU Pemilu) yang mensyaratkan daftar calon yang diusulkan Partai Politik memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen).
Adresat dari aturan ini memang Partai politik akan tetapi KPU sebagai penyelanggara pemilu yang bertugas melakukan verifikasi kelengkapan syarat calon juga harus memedomaninya, sehingga bila terdapat salah satu partai politik yang tidak memenuhi ketentuan syarat 30% keterwakilan Perempuan, KPU berwenang dan wajib memberikan status TMS sebagai bentuk pemberian sanksi atas ketidak patuhan peserta pemilu (Parpol) kepada UU Pemilu dan PKPU Pencalonan.
Lemahnya Komitmen KPU
Lemahnya komitmen KPU dalam menerapkan keterwakilan perempuan sebanyak 30% dalam daftar calon legislative (caleg) yang diusulkan partai politik, terlihan dari pengaturan teknis pemenuhan 30% Perempuan dalam daftar calon yang diatur dalam PKPU Pencalonan. Penggunaan rumus pembulatan kebawah sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) PKPU Pencalonan, berpotensi menyebabkan syarat 30% keterwakilan Perempuan dalam dafatar calon tidak terpenuhi terutama bagi pencalonan di daerah pilihan (dapil) yang hanya menyediakan kursi maksimal 4,7,8 dan 11.
Aturan yang mengabaikan Pasal 245 UU Pemilu ini menuai banyak kritikan dari pemerhati pemilu dan Perempuan. Atas derasnya kritikan tersebut 3 penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP) sempat berkomitmen akan melakuakan perubahan dihadapan para wartawan, namun komitmen itu tak kunjung ditindak lanjuti oleh KPU sehingga sejumlah Masyarakat melakukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA).
Atas gugatan tersebut, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan No, 24 P/HUM/2023 yang pada intinya mengabulkan permohonan dan memerintahkan kepada KPU untuk mencabut pasal 8 ayat (2) PKPU Pencalonan karena bertentangan dengan UU No.7 Tahun 2017.
Merespon Putusan tersebut hingga saat ini KPU tak kunjung mengeksekusi putusan MA dengan mencabut Pasal 8 ayat (2) PKPU Pencalonan. KPU hanya mengeluarkan surat (beleid) No. 1075/PL.01.4-SD/05/2023 yang pada pokoknya menyuruh Partai Politik memedomani putusan MA tanpa mencabut PKPU pencalonan.
Melalui sebuah media, ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan bahwa KPU tidak perlu mencabut dan mengubah PKPU pencalonan karena MA sudah langsung mengatur teknis pengitungan pemenuhan kuota 30% Perempuan, dengan pembulatan keatas, hal lain yang dikatakan ketua KPU adalah undang-undang tidak menentukan sanksi bagi parpol yang tidak dapat memenuhi kuota 30%, sehingga menurut Hasyim, KPU tidak dapat memberikan status TMS kepada Partai Politik yang tidak dapat memenuhi kuota 30% Perempuan.