SURABAYA, lingkarjatim.com – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan surat edaran berupa imbauan kepada umat Islam dan pejabat atau para pemangku kebijakan untuk tidak mengucapkan salam dari agama lain saat berpidato atau membuka acara resmi.
Imbauan MUI Jatim itu tertuang dalam surat edaran yang ditandatangani Ketua MUI Jatim KH. Abdusshomad Buchori dan Sekretaris Umum Ainul Yaqin.
Dalam surat itu, MUI Jatim berfatwa bahwa mengucapkan salam semua agama, merupakan sesuatu yang bid’ah, mengandung nilai syubhat, dan patut dihindari oleh umat Islam.
“Mengucapkan salam pembuka dari semua agama yang dilakukan oleh umat Islam adalah perbuatan baru yang merupakan bid’ah, yang tidak pernah ada di masa lalu. Minimal mengandung nilai syubhat, yang patut dihindari,” bunyi surat imbauan MUI Jatim.
Ketua MUI Jatim KH. Abdusshomad Buchori, saat dikonfirmasi membenarkan bahwa surat itu memang resmi dikeluarkan olehnya.
Ia menjelaskan bahwa imbauan tersebut merupakan tindak lanjut dari rekomendasi Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI di Nusa Tenggara Barat, 11-13 Oktober 2019 lalu.
“Ini begini (hasil) pertemuan MUI di NTB ada rakernas, rekomendasinya tidak boleh salam sederet itu semua agama yang dibacakan oleh pejabat,” kata Abdusshomad, Senin (11/11/2019).
Menurut Abdusshomad, apabila pengucap salam ini beragama Islam, lebih baik ucapkan salam sesuai agama Islam, yakni Assalaamualaikum.
Sebaliknya, apabila pengucap salam beragama lain, juga mengucapkan dengan salam sesuai agama yang dianut.
“Kalau misalnya pejabat itu muslim ya ucapkan Assalamualaikum. Tapi kalau agamanya Hindu, dia pakai salam (agama) Hindu,” ujar dia.
Karena itu, ia tidak setuju dengan pengucapan salam semua agama dilakukan sekaligus dalam acara-acara resmi.
Meski ada yang memiliki pandangan mengucapkan salam semua agama sebagai bentuk toleransi, bagi Abdusshomad hal itu justru merusak ajaran angama, karena mencampur adukkan salam berbagai agama.
“Kaitannya dengan toleransi, kita setuju dalam perbedaan, saling menghormati, menghargai. Tapi, bukan berarti kalau orang salam nyebut semua itu wujud kerukunan. Itu perusak kepada ajaran agama tertentu,” katanya.
Dalam Islam, kata dia, salam merupakan doa dan doa adalah bagian tak terpisahkan dari ibadah.
Sementara di agama lain, Abdusshomad juga memiliki pandangan bahwa salam di agama lain mengandung makna dan doa tersendiri.
“Agama lain juga punya, misalnya Hindu, Buddha, Kristen, dan kelompok aliran tertentu,” ujar dia.
Berikut delapan poin imbauan MUI Jatim terkait pengucapan salam semua agama yang tertuang dalam surat imbauan:
- Bahwa agama adalah sistem keyakinan yang didalamnya mengandung ajaran yang berkaitan dengan masalah akidah dan sistem peribadatan yang bersifat eksklusif bagi pemeluknya, sehingga meniscayakan adanya perbedaan-perbedaan antara agama satu dengan agama yang lain.
- Dalam kehidupan bersama di suatu masyarakat majemuk, lebih-lebih Indonesia yang mempunyai semboyan Bhinneka tunggal ika, adanya perbedaan-perbedaan menuntut adanya toleransi dalam menyikapi perbedaan.
- Dalam mengimplementasikan toleransi antar umat beragama, perlu ada kriteria dan batasannya agar tidak merusak kemurnian ajaran agama. Prinsip tolerasi pada dasarnya bukan menggabungkan, menyeragamkan atau menyamakan yang berbeda, tetapi toleransi adalah kesiapan menerima adanya perbedaan dengan cara bersedia untuk hidup bersama di masyarakat dengan prinsip menghormati masing-masing pihak yang berbeda.
- Islam pada dasarnya sangat menjunjung tinggi prinsip toleransi, yang antara lain diwujudkan dalam ajaran tidak ada paksaan dalam agama (QS. al-Baqarah [2]: 256); prinsip tidak mencampur aduk ajaran agama dalam konsep “Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku sendiri”. (QS. al-Kafirun [109]: 6), prinsip kebolehan berinteraksi dan berbuat baik dalam lingkup muamalah (QS. al-Mumtahanah [60]: 8), dan prinsip berlaku adil kepada siapapun (QS. al-Ma’idah [8]: 8).
- Jika dicermati, salam adalah ungkapan do’a yang merujuk pada keyakinan dari agama tertentu. Sebagai contoh, salam umat Islam, “Assalaamualaikum” yang artinya “semoga Allah mencurahkan keselamatan kepada kalian”. Ungkapan ini adalah doa yang ditujukan kepada Allah Swt, Tuhan yang Maha Esa, yang tidak ada Tuhan selain Dia. Salam umat Budha, “Namo buddaya”, artinya terpujilah Sang Budha satu ungkapan yang tidak terpisahkan dengan keyakinan umat Budha tentang Sidarta Gautama. Ungkapan pembuka dari agama Hindu, “Om swasti astu”. Om, adalah panggilan umat Hindu khususnya di Bali kepada Tuhan yang mereka yakini yaitu “Sang Yang Widhi”. “Om”, seruan ini untuk memanjatkan doa atau puja dan puji pada Tuhan yang tidak lain dalam keyakinan Hindu adalah Sang Yang Widhi tersebut. Lalu kata swasti, dari kata su yang artinya baik, dan asti artinya bahagia. Sedangkan Astu artinya semoga. Dengan demikian ungkapan Om swasti astu kurang lebih artinya, “Semoga Sang Yang Widhi mencurahkan kebaikan dan kebahagiaan”.
- Bahwa doa’ adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah. Bahkan di dalam Islam do’a adalah inti dari ibadah. Pengucapan salam pembuka menurut Islam bukan sekedar basa basi tetapi do’a.
- Mengucapkan salam pembuka dari semua agama yang dilakukan oleh umat Islam adalah perbuatan baru yang merupakan bid’ah yang tidak pernah ada di masa yang lalu, minimal mengandung nilai syubhat yang patut dihindari.
- Dewan Pimpinan MUI Provinsi Jawa Timur menyerukan kepada umat Islam khususnya dan kepada pemangku kebijakan agar dalam persoalan salam pembuka dilakukan sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Untuk umat Islam cukup mengucapkan kalimat, “Assalaamu’alaikum. Wr. Wb.” Dengan demikian bagi umat Islam akan dapat terhindar dari perbuatan syubhat yang dapat merusak kemurnian dari agama yang dianutnya. (Eddy Aryo)