Pengelolaan Kemiskinan antara “Paradoks” dan “Sontoloyo”

Oleh : Moh. Nizar Zahro*

BANGKALAN, Lingkarjatim.com – Pengelolaan kemiskinan menjadi uatu hal yang prinsip dan utama dalam mengelola Negara. Karena pengelolaan Negara kalau dikembalikan kepada tujuan utamanya tidak lebih dari sekedar untuk mengantarkan manusia sebagai penghuni untuk menjadi manusia yang sebenarnya, yaitu terpenuhinya segala yang menjadi kebutuhan. Hal ini juga selaras dengan tujuan berdemokrasi – sistem yang dianut Indonesia- mengantarkan rakyatnya untuk menjadi rakyat yang sejahtera.

Pemaknaan kemiskinan, disadari betul sampai saat ini masih terjadi debatable di kalangan akademisi, namun untuk Indonesia paling tidak sudah ada standar operasional yang dipakai pemerintah dalam mengelola kesmiskinan tersebut, yaitu merujuk kepada Program Keluarga Harapan (PKH) yang ada di Kementerian Sosial.

PKH kalau dilihat di website resmi Kemensos dijelaskan sebagai berikut “Program Keluarga Harapan yang selanjutnya disebut PKH adalah program pemberian bantuan sosial bersyarat kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang ditetapkan sebagai keluarga penerima manfaat (PKH). Sebagai upaya percepatan penanggulangan kemiskinan, sejak tahun 2007 Pemerintah Indonesia telah melaksanakan PKH. Program Perlindungan Sosial yang juga dikenal di dunia internasional dengan istilah Conditional Cash Transfers (CCT) ini terbukti cukup berhasil dalam menanggulangi kemiskinan yang dihadapi negara-negara tersebut, terutama masalah kemiskinan kronis.”(sumber: https://www.kemsos.go.id/program-keluarga-harapan). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PKH adalah rujukan resmi untuk mengetahui upaya sejauh mana pemerintah dalam menangani kemiskinan.

Bagaimana dengan jumlah penduduk miskin di Indonesia? Menurut data Badan Pusat Statistik sebagai berikut: “Pada bulan Maret 2018, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 25,95 juta orang (9,82 persen), berkurang sebesar 633,2 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2017 yang sebesar 26,58 juta orang (10,12 persen).” (Sumber: https://www.bps.go.id/pressrelease/2018/07/16/1483/persentase-penduduk-miskin-maret-2018-turun-menjadi-9-82-persen.html). Dari data BPS ini menunjukkan bahwa angka kemiskinan dari tahun 2017 menurun pada tahun 2018 dan salah satu faktor angka kemiskinan menurun dapat dikatakan sebagai dampak dari adanya PKH Pemerintah melalui Kemensos.

*Fenomena Paradoks dan Sontoloyo*

Tidak berlebihan di bagian awal sub tema tulisan ini mengatakan bahwa menilai kemajuan suatu negara dan suatu bangsa bisa dilihat dari keberadaan PKH yang lagi dijalankan oleh pemerintah. Karena dengan PKH-lah keberhasilan pemerintah dalam menangani kemiskinan dapat dilihat, seperti pada bagian awal saya sebut sebagai tujuan utama dalam bernegara dan berdemokrasi. Selain itu, besaran anggaran PKH akan menjadi perhatian publik untuk bersama-sama dijadikan bahan kajian baik secara akademis maupun secara praktis.

Namun demikian, ada ketidaksinkronan antara menurunnya angka kemiskinan yang menurun dengan anggara PKH yang justru pada tahun 2019 yang akan datang pemerintah berencana akan menaikkan anggaran tersebut. Ketidaksikronan ini justru menjadi bahan politik pemerintah yang kebetulan Presidennya kembali mencalonkan diri sebagai Calon Presiden. Sebut saja pada rapat kabinet pada bulan Maret 2018 lalu, dimana Bapak Presiden Joko Widodo berencana akan menaikkan anggaran PKH menjadi sekitar 20 triliun. (sumber: https://bisnis.tempo.co/read/1066849/jokowi-akan-tingkatkan-anggaran-pkh-dua-kali-lipat-pada-2019).

Rencana ini jangan hanya sepenggal dilihat dari besaran anggaran yang seakan pemerintah pro terhadap rakyat miskin dalam mengelola APBN. Hal ini justru akan melahirkan masalah ketidak konsistenan Pemerintah yang satu sisi mengaku telah berhasil memberantas kemiskinan dengan bukti data BPS yakni angka kemiskinan menurun, tetapi anggaran dalam mengentaskan kemiskinan itu sendiri justru dinaikkan.

Pertunjukan sikap ketidaksinkronan pemerintah ini mengajarkan sikap tidak konsisten dalam mengelola negara dan dari sikap ini pula pemerintah lebih mengedepankan dimensi politis dan popularitas dari pada substansi dari pengelolaan APBN itu sendiri, padahal masih banyak aspek lain perlu perhatian pemerintah.

Kemungkinan yang kedua, kalau tidak mau dianggap didasari sahwat politik, pemerintah saat ini telah banyak menunjukkan ketidak beresannya dalam mengelola negara terutama dalam mengelola anggaran. Sebut saja seperti amburadulnya pengelolaan uang BPJS, pembangunan infrastruktur dengan memakai dana haji baik setoran awal,nilai manfaat, dan dana abadi umat di investasikan untuk pembagunan infrastruktur seperti jalan dan tol sebesar 80 Trilyun dan lain sebagainya. Sederetan persoalan keuangan negara ini menunjukkan betapa pemerintah berada pada kondisi kebingungan sehingga melahirkan sikap yang paradoks seperti mengaku angka kemiskinan menurun tetapi bersahwat menaikkan anggaran PKH untuk orang miskin itu sendiri, sekalilagi ini adalah sikap yang paradoks.

Kemungkinan yang lain dan sebagai penutup dari tulisan ini, ada fenomena yang menarik ahir-ahir ini yang muncul dari pemerintah, yaitu keluarnya kata “Sontoloyo” dari Bapak Presiden Joko Widodo. Kata ini dapat kita artikan sebagai gambaran dari keberadaan pemerintah yang sesungguhnya, karena di satu sisi mengaku telah berhasil dalam upaya menurunkan angka kemiskinan tetapi anggaran PKH naik. Praktis ini adalah bentuk prilaku sotoloyo, kalau tidak mau dibilang sebagai sikap paradoks atau karena adanya sahwat politik.

*Ketua Umum Satuan Relawan Indonesia Raya

Leave a Comment