Pengamat Sayangkan NU Pecah di Pilgub Jatim

Khofifah dan Gus Ipul

SURABAYA, Lingkarjatim.com – Majunya dua kader terbaik NU di Pilgub Jatim yaitu Khofifah Indar Parawansa (Ketum PP Muslimat NU) dan Saifullah Yusuf (Salah Satu Ketua di PBNU) berdampak membelah warga nahdliyin Jatim dalam dua kelompak besar, dan tentunya hal itu sulit dihindarkan.

Bahkan memasuki masa kampanye Pilgub Jatim, upaya intimidasi dan saling ancam pengurus NU berserta Banom NU supaya mendukung salah satu pasangan Cagub-Cawagub Jatim kian transpasan dan vulgar. Terbukti, dua orang Ketua PC Muslimat NU secara tiba-tiba mundur tim pemenangan pasangan Gus Ipul-Mbak Puti dengan mengajukan surat pernyataan mundur.

Tidak menutup kemungkinan setelah Hj Ainun Jariyah (Ketua PC Muslimat Sidoarjo) dan Hj Khofidah (Ketua PC Muslimat Malang), akan segera menyusul PC-PC Muslimat lainnya bahkan bisa merembet ke Banom NU yang lain, seperti GP Ansor, Fatayat hingga IPNU dan IPPNU.

Patut diduga, mundurnya beberapa anggota tim pemenangan pasangan nomor urut 2 itu lantaran adanya intimidasi maupun ancaman. Sebab beredar di media sosial foto surat tugas dari PW Muslimat NU Jatim kepada dua orang bernama Hj Musrifah Hadi dan Hj Anisah Mahfud asal Malang supaya mensosialisasikan dan memenangkan Ketua Umum PP Muslimat NU sebagai Cagub Jatim 2018-2023 di lingkungan Muslimat NU.

Surat tugas dengan kop surat PW Muslimat NU Jawa Timur beralamat Jl. Masjid Al Akbar Timur No.9 Surabaya bernomor 289/A/PWM-NU/III/2018 tertanggal 5 Maret 2018 dibubuhi tanda tangan Dra Hj Masruroh Wahid selaku ketua PW Muslimat NU Jawa Timur.

Sebelumnya, Ketua PW Muslimat NU Jatim Hj Masruroh Wahid saat menanggapi mundurnya Hj Ainun Jariyah dan Hj Khofidah dari tim pemenangan Gus Ipul-Mbak Puti mengatakan bahwa kedua kader Muslimat itu sudah menghadap dirinya dan diminta agar tidak merangkap sebagai ketua PC Muslimat NU sekaligus tim pemenangan salah satu paslon di Pilgub Jatim.

“Saya yang meminta mereka (Ainun dan Khofidah) untuk tidak merangkap, Muslimat NU kok merangkap jadi ketua pemenangan (paslon), apalagi tidak non-aktif. Makanya saya minta memilih tetap di Muslimat NU atau tim pemenangan,” tegas Masruroh Wahid.

Tidak cukup itu, pihaknya juga meminta mereka berdua membantu pemenangan ketua umumnya, Khofifah Indar Parawansa di Pilgub Jatim jika masih tetap di Muslimat NU. “Ya pastilah saya minta membantu Bu Khofifah. Kalaupun mereka terikat dengan PKB, saya minta minimal diam, tidak melakukan apapun untuk kompetitornya (Saifullah-Puti),” beber mantan anggota DPRD Jatim.

Terpisah, Sekretaris PWNU Jatim Prof Ahmad Muzakki ketika dikonfirmasi terkait beredarnya surat tugas dari PW Muslimat NU Jatim mengatakan bahwa intruksi seperti itu tidak diperbolehkan karena sama saja menyeret Banom NU ke politik praktis. “Itu jelas tidak boleh,” jawab guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya itu  saat dikonfirmasi, Selasa (6/3).

Sementara itu pengamat politik dari UIN Sunan Ampel, Fathoni Hakim mengatakan bahwa kekuatan NU di Jatim terbelah sulit dihindari lantaran komitmen pengurus NU maupun Banom NU untuk menjaga khittah nahdliyah masih diragukan. “Harusnya sejak NU berkomitmen kembali ke khittah 1926, realitas seperti ini tidak boleh terjadi. Hanya gara-gara politik praktis NU jadi terbelah,” ujar Fathoni.

Senada, Dekan FISIP Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam menyatakan majunya dua kader NU yang memiliki basis dukungan dalam Banom NU tetap berpotensi menyeret dukungan ke arah politik praktis. “Demi menjaga marwah dan khittah NU, saya pikir libido politik para pengurus Banom NU Perlu dikendalikan dan terus diingatkan,” ujarnya.

Kendati demikian, pihaknya meyakini masyarakat pemilih NU sekarang mulai cerdas membaca politik praktis. Siapa saja yang sengaja memanfaatkan NU sekadar untuk politik praktis akan dititeni dan dicatat oleh pemilih NU dan itu bukan investasi politik yang elegan. Seyogyanya semua pihak khususnya Banom NU yang terkait langsung dengan dua kader yang maju bisa menahan diri untuk tidak memanfaatkan dan mempolitisasi struktural formal organisasi banom untuk sekadar politik praktis.

“Saya pikir ini berlaku untuk semua pihak agar NU dan Banomnya sebagai institusi tetap terjaga marwah khittahnya. Sebab akan berbahaya bagi NU dan akan menjadi trend jika Banom hanya akan dijadikan kendaraan politik praktis,” ungkap Surokim.

Ia berharap akan lebih elegan jika para pengurus yang punya libido politik tinggi itu bisa nonaktif dan tidak memanfaatkan struktur formal NU dan Banomnya itu untuk semata mata kegiatan politik praktis. “NU sejauh ini masih sering dimanfaatkan untuk memuaskan libido politik yang meninggi jangka pendek dalam pilkada dan tidak berfikir jangka panjang terkait tugas mengabdi kepada warga nahdliyin. Semua harus intropeksi agar tetap bisa elegan dan terhormat dimata warga NU,” tegas Surokim.

Diakui Surokim, dalam posisi seperti ini kadang kita selalu merindukan peran para kiai khos yang bisa mengingatkan dan ditaati oleh semua pihak. “Kita merindukan keberadaan beliau-beliau dalam posisi seperti ini yang jumlahnya semakin langka. Titah dan petuah kiai khos diperlukan dalam Pilkada untuk bisa menjaga khittah NU sebagai benteng pertahanan akhir,” pungkasnya. (mal/lim)

Leave a Comment